PWMU.CO – Selain Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) sebagai bagian dari organisasi otonom Persyarikatan, banyak juga generasi muda yang menjadi simpatisan Muhammadiyah. Layaknya seorang anak yang senantiasa merindukan belaian kasih sayang, mereka juga butuh untaian nasehat. Generasi ini telah mengidolakan dan menokohkan personal-personal pimpinan di setiap jenjang, mulai ranting sampai pusat.
Pengidolaan ini telah membawa anak anak muda pada “kultus” individu seperti pada Pak Amin Rais atau Buya Syafii Ma’arif, meski Persyarikatan ini menghindarkan diri dari upaya mengkultuskan tokoh tertentu. Karena itu, organisasi kita ini disebut Persyarikatan atau gabungan dari berbagai individu yang saling melengkapi.
(Baca: Fenomena Ghazwul Fikr dan Ketidaksiapan Generasi Bangsa)
Namun, trend ‘taqlid buta’ telah berganti baju dalam bentuk ‘pengidolaan individual’. Tidak sedikit anak muda yang menokohkan siapa saja yang dianggap popular dan memiliki keluarbiasaan dalam catatan kekinian.
Fenomena Buya Syafii Maarif bukanlah satu-satunya yang terjadi di sekitar kita. Ribuan pimpinan Muhammadiyah secara sadar atau tidak, telah menjadi tokoh yang diidolakan oleh generasi baru Persyarikatan. Konsekuensinya, diperlukan kesadaran membangun pola hubungan keteladanan, sehingga tidak terjadi keterkejutan massal sebagaimana fenomena Buya Syafii Ma’arif.
Tokoh yang sudah ditokohkan harus menetapkan hubungan sebagaimana ‘murid dengan guru’ maupun antara ‘anak dengan orang tua’. Hubungan inilah yang mempunyai ikatan emosional erat, yang dalam kitab klasik Ta’lim al-Muta’allim disebutkan murid harus mempunyai rasa hormat atau takzim pada seorang guru. Sebab, rasa hormat merupakan kalimat kunci untuk mendapatkan ilmu dan derajat bagi orang yang berilmu. Disampaikan dalam kitab itu akhlak dalam pola hubungan guru dan murid serta orang tua dan anak diletakkan sebagai dasar kemanfaatan ilmu. Bersambung ke halaman 2 ….