PWMU.CO – Presiden yang Terhormat atau Presiden yang Saya Hormati? Perhatikan contoh pembukaan sebuah pidato ini: “Kepada Presiden Joko Widodo, yang saya hormati. Pada kesempatan ini izinkan saya melaporkan bla-bla-bla ….”
Contoh lain: “Yang terhormat Presiden Joko Widodo. Yang terhormat Menteri PMK Muhadjir Effendy. Yang terhormat bla-bla-bla …”
Pada contoh dua kalimat di atas ada perbedaan penyebutan kata keterangan atau pada tokoh yang disebut. Contoh kalimat pertama menggunakan frasa kata yang saya hormati dan yang kedua memakai yang terhormat.
Dalam pidato, penggunaan dua frasa itu tidak ada yang menghiraukan. Karena sudah lazim dan dianggap sama artinya. Mau pakai yang saya hormati atau yang terhormat, suka-suka pemakainya saja.
Beda Filosofi
Benarkah demikian? Kedua frasa kata itu ternyata memiliki filosofi yang berbeda. Hal itu pernah dibahas Nurcholish Madjid alias Cak Nur—almarhum seorang cendekiawan Muslim—dalam tulisan berjudul “Bapak Bupati yang Terhormat” dalam buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan terbitan Yayasan Paramadina, Jakarta.
Cak Nur membedakan dua frasa itu dengan sebuah kisah sebagai berikut:
Suatu hari sebuah pesantren di Jawa Timur kedatangan bupati setempat. Pak Kiai pesantren itu cukup akrab dengan Pak Bupati, sehingga tidak saja kedatangan pejabat itu disambut dengan hangat olehnya, bahkan percakapan antara keduanya pun berlangsung tanpa formalitas yang kaku.
Pak Kiai memberi kesempatan kepada Pak Bupati untuk berceramah kepada para santri dan guru. Maka terjadilah sedikit adegan yang walaupun santai dan rileks namun amat menarik dan mengandung makna yang kiranya patut kita renungkan.
Dalam ceramahnya, setelah mengucapkan salam, Pak Bupati memulai dengan kalimat yang kedengaran wajar dan semestinya saja. Katanya: “Bapak Kiai yang saya hormati …”.
Tiba-tiba Pak Kiai berdiri dan menghampiri mikrofon, dan lalu berkata, “Nanti dulu, Pak Bupati. Saya memang sudah tahu bahwa Pak Bupati menghormati saya, dan untuk itu saya ucapkan terimakasih.
Tapi, soalnya, apakah saya ini memang terhormat, ataukah hanya kebetulan dihormati oleh Pak Bupati? Dan kalau saya memang terhormat, mengapa Pak Bupati tidak mengatakan saja, Bapak Kiai yang terbormat?
Dan saya tidak peduli apakah Pak Bupati atau orang lain menghormati saya atau tidak, kalau memang benar-benar saya ini terhormat, dan tidak sekadar kebetulan dihormati orang tertentu saja!”
Maka Pak Bupati pun, dengan penuh pengertian, meralat ucapannya, dan dia pun berkata, “Bapak Kiai yang terhormat …”
Kehotmatan Itu Melekat Pribadi
Demikian pula Pak Kiai. Ketika gilirannya tiba untuk memberi sambutan, setelah salam, dia memulai dengan ungkapan penuh tulus, “Bapak Bupati yang terhormat….” (bukan: “Bapak Bupati yang saya hormati…”)
Dan Pak Kiai masih merasa perlu menerangkan perihal hormat-menghormati ini. Dia menjelaskan, dengan mengatakan “Bapak Bupati yang terhormat”, Pak Kiai hendak menunjukkan suatu kualitas pada Pak Bupati yang tidak tergantung kepada siapa pun, termasuk kepada Pak Kiai sendiri.
Karena itu Pak Bupati tidak usah mengharap penghormatan orang tertentu. Sebab kehormatan Pak Bupati itu melekat pada diri pribadi Pak Bupati, tanpa peduli apa sikap orang lain kepadanya.
Pak Kiai malah mengatakan bahwa dia sedikit tersinggung dengan ucapan, “Bapak Kiai yang saya hormati”. Sebab seolah-olah dia mengharap dihormati oleh Pak Bupati, atau kehormatan Pak Kiai itu ada hanya karena dihormati oleh Pak Bupati.
Apalagi dalam bahasa asing, seperti Arab atau Inggris, tidak ada ungkapan yang sepadan dengan yang saya hormati. Hanya ada yang sepadan dengan yang terhormat.
Para Kiai memang sering menunjukkan kepekaan dan kehalusan perasaan yang menakjubkan. Karena merenungi berbagai segi ajaran agama secara mendalam, juga karena pergaulan yang akrab dengan masyarakat luas, para kiai sering mampu menangkap hal-hal dalam hidup ini yang tidak tertangkap oleh orang kebanyakan.
Dalam hal kehormatan itu, misalnya, para kiai tidak mengharap agar orang menghormatinya. Sebab mereka yakin bahwa kehormatan itu hanya datang dari Allah, karena adanya itikad baik dan amal saleh.
Firman Allah, “Dan barang siapa menghendaki kebormatan, maka (ketahuilah bahwa) kehormatan itu seluruhnya milik Allah. Kepada-Nya menaik perkataan (itikad) yang baik dan Dia pun menjunjung amal yang saleh…,” (Fatir:10).
Tentu saja firman itu tidak hanya berlaku bagi kiai, tapi juga bagi semua kita orang yang beriman. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni