Peta Jalan Sekulerisasi Pendidikan Nasional 2020-2035 ditulis oleh M Yazid Mar’i, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bojonegoro.
PWMU.CO – Pada tanggal 11 Desember 2020 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Dalam Visi Pendidikan Indonesia 2035 berbunyi, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Rumusan ini cukup menarik, karena hilangnya frase “agama”. Seperti ada sisi historis dan sosiologis yang sedang hilang di bangsa ini. Agama, budaya, dan Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah satu kesatuan historis dan sosiologis yang tak terpisahkan.
Nilai-nilai budaya bangsa adalah nilai yang lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan agama yang ada dan secara resmi diakui oleh negara: Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu.
Kita pun bisa melihat bagaimana budaya secara sosiologis menjadi bagian dari beberapa agama di daerah. Bali dengan Hindu-Budhanya, Minangkabau-Aceh dengan Islamnya, NTT dengan Kristen-Katoliknya, Bangka Belitung-Semarang dengan Konghucu-nya.
Hilangkan Eksistensi Agama
Jika hilangnya frase “agama” dalam peta jalan pendidikan terdapat unsur kesengajaan, maka bisa disebut ada pula kesengajaan menghilangkan eksistensi “agama” di negeri yang lahir dan berkembang atas nilai-nilai agama.
Jauh hari para pendiri bangsa memahami ini semua. Dan ini adalah nilai historis yang tidak bisa ditinggalkan. Indonesia bukan “negara agama”, tetapi perlu diingat dan dipahami bahwa Indonesia juga tidak rela bila “nilai-nilai agama” yang telah menyatu dalam urat nadi setiap warga bangsa ini hilang dari Indonesia.
Perlu dicatat bahwa secara sosiologis Indonesia bukanlah Amerika, bukan Arab, dan bukan pula Cina. Indonesia adalah negara yang lahir atas nilai-nilai budaya yang diilhami oleh agama dan kepercayaan yang dimiliki bangsa dan diikat dengan Pancasila yang ber-Keuhanan Yang Maha Esa.
Maka peniadaan agama sebagai nilai adalah seperti halnya peniadaan “Pancasila” sebagai ideologi bangsa dan sekaligus sebagai peresmian “Negara tanpa Tuhan” Ateis-Sekuleris sebagai “Model Baru Bangsa Indonesia”.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan ini mengisaratkan bahwa keunggulan manusia Indonesia yang dikehendaki adalah yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai manifestasi dari agama dan kepercayaan yang ada untuk diimplemetasikan secara demokratis dan dipertanggubgjaeabkan secara akademis “keilmuan” dan moral ‘keimananan dan ketakwaan”.
Bagaimana dengan Muhammadiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir baru-baru ini menyindir dengan sangat santun bahwa Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 31.
Sebagai organisasi sosial keagamaan Islam, Muhammadiyah sangat tegas, bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia muslim yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, berdisiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, memajukan serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT serta menghasilkan SDM yang handal.”
Dengan demikian secara historis, sosioligis kultural “model baru pendidikan Indonesia” sebuah tawaran yang inkonstitusional unhistorical and cultur. Ternoda secara hukum normatif dan hukum publk. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni