Negeri yang Retak, kolom ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Selama, paling tidak, 20 tahun terakhir sejak reformasi, kita menyaksikan Republik ini mengalami deformasi berkepanjangan menjadi semakin asing bagi warganya sendiri.
Bersama gelombang globalisasi, oleh kekuatan- kekuatan nekolimik, rakyat dipaksa hidup menjadi orang lain yang makin jauh dari jati dirinya sendiri yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa 75 tahun lalu. Negeri yang kaya ini tidak pernah dibiarkan begitu saja tanpa dijarah oleh asing.
Selama lima tahun terakhir ini, pengasingan itu makin menjadi-jadi melalui serangkaian kudeta konstitusi sebagai kesepakatan agung para negarawan pendiri bangsa. Adalah UUD 1945, bukan versi palsunya, yang mendefinisikan sebuah negara baru sebagai alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaannya. UUD 2002 hasil operasi amandemen ugal-ugalan itu kini semakin terbukti keampuhannya menyesatkan bangsa ini.
Pada saat negeri ini semakin menjadi satelit negara asing, negara proklamasi itu kini retak setelah terdeformasi makin besar. Kehidupan politik sebagai kebajikan publik dimonopoli secara radikal oleh partai politik penganut pragmatisme, untuk dijadikan alat kekuasaan dan disalahgunakan demi kepentingan jangka pendek sekelompok elite.
Hukum dibuat dan ditafsirkan serta ditegakkan oleh aparat untuk kepentingan elite tersebut, bukan untuk kepentingan publik. Terjadi maladministrasi publik dalam skala yang makin mencengangkan.
Kekayaan sumberdaya alam diserahkankan begitu saja untuk dieksploitasi asing. Agama dan ormas-ormas tertentu diposisikan sebagai musuh Pancasila sebagai dasar negara. Ekspresi keagamaan mudah dituduh sebagai aksi intoleran, bahkan anti Pancasila dan NKRI.
Pembunuhan warga sipil secara semena-mena oleh aparat keamanan dibiarkan begitu saja tak terurus. Terakhir, Partai Demokrat diperebutkan secara terang-terangan untuk kepentingan politik praktis murahan. Lagi-lagi demi kekuasaan.
Makin Jauh dari Proklamasi
Setelah pelemahan KPK, penggusuran Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila melalui UU HIP, UU Omnibus Law Cipta Jongos beserta regulasi liberal kapitalistik lainnya, Perpres Miras No 10/2021, serta Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, negara ini makin menjauh dari cita-cita proklamasi melalui monopoli politik oleh oligarki Parpol yang didukung para cukong pemilik modal.
Pada saat yang sama, utang negara justru makin menggunung dan korupsi masih berlangsung di banyak sektor. Semua ini justru berlangsung selama pandemi Covid-19 merajalela, saat masyarakat disibukkan untuk menyelamatkan diri dari keterpurukan kesehatan dan ekonomi serta kepungan bencana dari hampir segala penjuru.
Melalui serangkaian aksi oligarki parpol secara brutal di berbagai dimensi kehidupan berbangsa tersebut, operasi semburan kebohongan oleh para buzzer bayaran di jagad maya, partisipasi politik warga negara telah dilumpuhkan secara terstruktur, sistemik dan masif.
Daya kritis media arus utama dan kelompok-kelompok kritis nyaris mati. Kemampuan masyarakat yang bhinneka untuk menarasikan Indonesia sebagai rumah bersama secara terus menerus dikerdilkan. Pengalaman berIndonesia terasa semakin traumatik, tragis dan memuakkan bagi banyak lapisan masyarakat.
Disibukkan oleh obsesi profesionalisasi sempit, banyak intelektual kehilangan kewaspadaan bahwa eksistensi Indonesia secara perlahan sedang digerus oleh segelintir elite yang makin kaya saat mayoritas rakyat justru makin miskin.
Jika trajektori buruk ini tidak segera diubah oleh para patriot bangsa, maka negeri yang sesungguhnya telah diberkati Allah Tuhan YME ini tidak sekadar akan retak, tapi bakal hancur berantakan karena diserahkan pada kuasa fir’aunik yang dirasuki iblis.
Jember, 6 Maret 2021
Editor Mohammad Nurfatoni