PWMU.CO– Naskah Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) ternyata ada empat yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ternyata semuanya tidak orisinal. Naskah asli masih dicari keberadaannya.
Menurut kliping berita Suara Karya yang didokumentasikan menpan.go.id, mantan Kepala ANRI M Asichin menjelaskan, empat naskah Supersemar itu berasal dari tiga instansi. Yaitu Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan.
Dia menjelaskan arsip naskah Supersemar itu ketika menjadi pembicara Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta, Selasa (21/5/2013) delapan tahun lalu.
Dari Puspen TNI AD dan Akademi Kebangsaan masing-masing satu versi satu lembar. Sedangkan dari Setneg ada dua versi. Versi satu lembar dan dua lembar. ”Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik,” kata Asichin.
Jadi, sambung dia, dari segi histori, perlu dicari terus di mana naskah Surat Perintah 11 Maret yang asli itu berada. Tim penelusur harus terus dijalankan.
Produk Cetak
Asichin menerangkan, empat naskah Supersemar setelah uji forensik di Mabes Polri menyatakan dokumen-dokumen itu hasil produk cetak, baik berupa tulisannya maupun lambang garuda, termasuk tanda tangannya bukan merupakan goresan langsung.
Asichin tidak mau menyebutkan itu sebagai pemalsuan. ”Saya tidak menyebutkan itu pemalsuan. Pertanyaannya, apakah Supersemar itu dihilangkan atau hilang, saya tidak tahu persis. Tapi, itu semuanya palsu atau tidak asli,” katanya.
Versi Supersemar dari Puspen TNI AD tanpa pemeriksaan dari Labfor sudah diketahui bukan naskah asli. ”Supersemar versi TNI AD itu sudah dibuat dengan teknologi mesin komputer. Padahal tahun 1966 belum digunakan mesin komputer. Masih menggunakan mesin ketik manual. Berarti dokumen itu palsu, dibuat setelah tahun 1970-an. Karena otomasi masuk Indonesia tahun 1970-an,”katanya.
Dia yakin naskah Supersemar asli itu ada. Karena Bung Karno pada pidato 17 Agustus 1966 menyatakan Supersemar bukan transfer of authority. Bukti lain hasil wawancara yang dilakukan ANRI tanggal 20 April 2008 dengan Moerdiono, bekas Menteri Sekretariat Negara zaman Soeharto.
Moerdiono menyatakan pernah melihat Supersemar. ”Pak Moerdiono mengatakan Supersemar yang asli itu terdiri dari dua lembar,” kata Asichin.
Sekarang ini, menurut Asichin, persoalan autentik atau tidak Supersemar sudah tidak memiliki implikasi politik karena sudah menjadi sejarah masa lalu. Pelaku sejarahnya sudah meninggal semua. Yaitu Jenderal Yusuf, Basoeki Rachmat, dan Amir Machmud. Juga Bung Karno dan Soeharto. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto