Detik-Detik Terakhir Wafatnya Cak Jen (Ahmad Jainuri), tokoh Muhammadiyah Malang Raya yang berpulang, Kamis (11/ 3/21).
PWMU.CO – Sejak pagi rumah duka yang berada di Padepokan Hizbul Wathon Jetak, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, berdatangan petakziah.
Sebagaian besar mereka adalah anak-anak muda: aktivis mahasiswa dan angkatan muda Muhammadiyah. Beberapa dosen dan Rektor UMM Dr Fauzan terlihat sibuk membantu menerima tamu.
Seperti layaknya suasana sehari-hari di Padepokan Hizbul Wathan itu, suasana takziyah penuh kekeluargaan, persaudaraan, dan kehangatan. Satu sama lain terlihat sangat akrab. Di setiap sudut padepokan itu mereka bercengkerama, menceritakan pengalaman masing-masing tentang Cak Jen—sapaan akrab Ahmad Jainuri—saat menggerakkan Muhammadiyah selama hidupnya. Sementara sebagian melakukan shalat jenazah di masjid Padepokan.
Setelah mengikuti shalat jenazah, saya sejenak menyahuti sapaan beberapa pelayat. Kemudian mata saya tertuju pada bangunan rumah mungil paling depan pojok kanan. Di sepanjang halamannya, tampak beberapa tamu: mulai usia remaja hingga ibu-ibu.
“Ini semuanya ‘anak-anak’ Cak Jen. Mereka semua punya kenangan yang sangat manis sama Cak Jen dalam bermuhammadiyah,” ujar suami saya, Nugraha Hadi Kusuma, sembari mengangkat tangan menunjukkan rumah Cak Jen, tanda menyuruh saya untuk menemui Muhtadawati, istri almarhum yang lebih akrab disebut Mbak Ida.
Terlihat, seseorang memanggilkan Mbak Ida dari dalam. “Ibu baru saja masuk. Sebentar ya Bu,” katanya sambil mempersilakan saya duduk.
Keluarga Cak Jen Sangat Tegar
Tidak lama Mbak Ida keluar menemui saya. Kami memang sudah sangat akrab karena selalu bersama menggerakkan Aisyiyah–tepatnya, Mbak Ida merupakan guru saya dalam beraisyiyah.
Airmata saya yang sudah menetes sejak melangkahkan kaki dari rumah menuju rumah duka, sesaat langsung terhenti ketika melihat Mbak Ida yang keluar dengan senyum yang meneduhkan.
“Maafkan Bapak ya Mbak bila ada salah. Saya tahu Bapak kalau omong itu sakarepe dewe (semaunya),” ucapnya sembari tersenyum dan mengajak saya duduk kembali.
Mbak Ida lalu menceritakan saat terakhir dia menemani Cak Jen dalam menghadap Sang Maha Kuasa.
“Beliau punya riwayat penyakit jantung. Sudah pasang tiga ring. Dan akhir-akhir ini sering bilang sakit tapi tetap beraktivitas seperti biasa. Kemarin pun begitu. Bapak pulang jam 22.00 lebih, kemudian istirahat. Sekitar pukul 01.00 saya terdengar suara. Saya lalu melihatnya. ‘Ya Allah suara Bapak.’,” dia bercerita.
“Saya perhatikan Bapak yang mendengkur keras. Dalam hati saya bergumam, ‘Ya Allah ini Bapak saakaratul maut. Saya pun menuntunnya (talkin, mengucapkan lailahaillallah) sambil saya elus-elus hingga hembusan nafas yang terakhir,” kenang Mbak Ida.
“Alhamdulillah Mbak, saya sangat bersyukur masih diberi Allah kesempatan mendampingi Bapak hingga akhir hayatnya. Saya tidak bisa bayangkan bila Bapak di akhir nafasnya, saya sebagai istri tidak tahu,” ucapnya.
Bagi saya yang mengenal Cak Jen, sangat memahami apa yang disampaikan Mbak Ida, mengingat aktivitas Cak Jen sangat banyak. Selain mengajar di UMM, dia menghabiskan sisa waktunya untuk mengurusi persyarikatan, terutama AMM.
Ingin Umur Panjang seperti KH Abdullah Hasyim
Mbak Ida menceritakan, Cak Jen punya keinginan bisa berumur panjang seperti bapaknya. “Bapak saya (KH Abdullah Hasyim) sampai umur 96, tapi Bapak (Cak Jen) kini baru berumur 57 sudah dipanggil Allah. Beginilah kalau Allah sudah berkehendak,” ujar Mbak Ida, yang lagi-lagi membuat saya kagum dan bangga karena ketegarannya.
“Jadi semalam hanya saya yang mendampingi. Setelah tidak bernafas lagi baru saya panggil anak saya yang paling tua. Satu per satu saya panggil. Saya beritahu dan alhamdulillah semua tegar dan ikhlas,” cerita Mbak Ida.
Mbak Ida juga mengatakan kalau proses kuliah S3-nya, Cak Jen kurang sedikit lagi. “Ini masih revisi. Sedikit lagi tuntas kuliahnya,” ujarnya
Siap Menggantikan Perjuangan sang Ayah
Di sela perbincangan kami, muncullah remaja putri yang didampingi dua ustadzahnya. Dialah Adinda Syakura Prima Romadhona bungsu dari pasangan Mbak Ida dan Cak Jen. Dia santri Aisyiyah Boarding School Malang (ASBM) yang telah menghasilkan banyak karya buku.
“Ini anak saya yang ke-7 di ABSM. Insyaallah semua sudah siap menggantikan perjuangan bapaknya,” ujar Mbak Ida mengenalkan putri bungsunya pada para petakziah termasuk pada Bu Rini, istri Prof Thohir Luth, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur .
Rini pun menyahuti, “Pokoknya Pak Jen ini orang yang selalu menemani Pak Anwar membantu Bapak. Kalau ada apa-apa Pak Thohir selalu minta tolong Pak Anwar dan tiga teman lainnya. Salah satunya ya Pak Jen,” tuturnya.
Bukan hanya Mbak Ida, wajah cantik Adinda pun terlihat sangat tegar di depan semua tamu. Dia tersenyum manis sembari menghampiri tamu satu per satu untuk memberi salam. Meski tidak bisa dibohongi ada kesedihan yang sangat mendalam di raut wajahnya.
Bapaknya para aktivis muda Muhammadiyah itu telah pergi meninggalkan Muhtadawati, istri tercintanya, dan tujuh anak-anaknya. Yaitu: Nasyiatul Ula, Muhammad Akbar Ariadi( menantu), Tsiqatun Nasyiah, Roiyatul Ummah, Badrul Ummah, Junnah Mujadid, Faiqotul Muna, dan Adinda Syakura Prima Romadona.
Almarhum dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Jetak, setelah beberapa gelombang shalat jenazah di masjid kompleks Padepokan HW dan Masjid AR Fachrudin. Shalat di masjid kampus itu atas permintaan Rektor UMM Fauzan, dosen, dan seluruh karyawan UMM.
Selamat jalan Cak Jen!
Penulis Uzlifah Editor Mohammad Nurfatoni