Menyoal Keunikan Kader IMM versi Mas Nug, kolom oleh Abd. Sidiq Notonegoro, Ketua pertama IMM Komisariat Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Terus terang saya tergelitik oleh artikel Mas Nug—sapaan akrab saya dengan Nugraha Hadi Kusuma—yang mekithik dalam mempersepsi kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Mas Nug, yang mungkin masuk kategori senior saya di persyarikatan Muhammadiyah, mohon perkenan jika sebagai alumni IMM saya mencoba memperbaiki beberapa pandangan Mas Nug yang kurang pas dalam tulisannya berjudul Lima Keunikan Kader IMM.
Kali pertama saya bergabung di IMM sekitar tahun 1990. Meski tercatat sebagai mahasiswa peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), namun satu tahun pertama ini saya bergabung dengan IMM Komisariat Pertanian UMM karena memang IMM Komisariat Peternakan belum terbentuk.
Baru pada tahun kedua (1991), tepatnya bulan Oktober 1991, saya dengan beberapa teman berinisiatif mendirikan IMM Komisariat Peternakan. Saya sebagai inisiator pertama, akhirnya didaulat oleh teman-teman untuk menjadi ketua umum.
Sejak awal bergabung dan dalam perjalanan selanjutnya, saya banyak mengenal senior-senior IMM—yang saat ini beberapa tampil menjadi tokoh publik.
Saya mengenal Mas Nurbani Yusuf (kini menjadi Ketua MUI Kota Batu dan Pengasuh Padepokan Padang Mahsyar), Mas Fauzan (kini rektor UMM), Mas Ramliyanto (Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur), Saadih Sidik yang beken dipanggil Bang Dicky (Pengawas Pendidikan Agama Islam Malang).
Juga almarhum Arief Hutoro (pakar ekonomi Islam Universitas Brawijaya), Daeng Muhammad Faqih (Ketua Pusat Ikatan Dokter Indonesia, merupakan aktivis HMI dan IMM). Tak lupa juga Mas Mirwanuddin, Mas Suryawan Ekananta, Mas Marianto, dan masih banyak lagi yang kini juga menjadi tokoh-tokoh penggerak yang menurut saya sangat bisa menjadi teladan.
Tahun 1994 akhir saya wisuda, namun hingga tahun 2000-an masih sering berinteraksi dengan kader aktivis IMM Malang, baik dalam kegiatan diskusi di komisariat maupun menjadi pemateri pengkaderan awal “Darul Arqam Dasar”.
Belum Kenal Mas Nug
Ironisnya, sejak 1990 sampai 2000 saya belum mengenal Mas Nug. Saya kenal beliau justru setelah saya dan istri beliau (Mbak Uzlifah) masuk dalam Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim. Padahal, menurut pengakuan Mas Nug, intens berinteraksi dan berdialektika dengan kader IMM sejak tahun 1991. Bahkan kediaman orangtua Mas Nug yang konon menjadi jujugan kader-kader persyarikatan, ditambah aktivis PII dan HMI.
Era 90-an, gerakan literasi menjadi gerakan sunyi IMM. Mas Suryawan, Mas Arief Hutoro, Mas Ramliyanto, dan beberapa yang lain merupakan tokoh penting di balik gerakan literasi di IMM. Kebiasaan membaca dan diskusi menjadi menu harian di kos-kosan yang sekaligus menjadi tempat berkumpul, maupun saat di kantor sekretariat IMM di kampus. Sayangnya, budaya menulis saat itu belum tumbuh sama sekali.
Mekithik dari Sisi Mana?
Meski membaca dan diskusi telah menjadi tradisi, saya tidak menemukan sikap yang mekithik — yang dimaknai sombong oleh Mas Nug—dari kader IMM. Jadi, saya pun kesulitan untuk memahami sisi mekithik tersebut.
Menjadi hal lucu jika ngeyel dalam diskusi atau berinteraksi ilmiah dikategorikan sebagai sikap sombong. Dan jika kita amati, gaya ngeyel itu juga bukan menjadi khas aktivis IMM, namun menjadi rata-rata aktivis mahasiswa. Justru Mas Nug menjadi kelihatan mekithik karena mengobjektifikasi pandangan subjektifnya kepada aktivis IMM.
Immawati Oriented?
Tidak dipungkiri bahwa sebagian mantan aktivis IMM akhirnya menikah dengan sesama aktivis IMM. Bahasa gaulnya di kalangan teman-teman IMM adalah: “IMMawan … dapat IMMawati …”.
Namun Mas Nug tidak pernah mencermati berapa aktivis IMM yang justru banyak yang menikah dengan alumni HMI, alumni PII, dan bahkan alumni PMII. Namun jika pun ada yang menikah dengan sesama kader IMM, tentu bukanlah aib. Justru menjadi hal lumrah jika meminjam pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino”. Toh fenomena seperti itu juga berlaku di organisasi-organisasi yang lain.
Namun, sekali lagi bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang sudah dikondisikan oleh organisasi. Tidak ada larangan menemukan jodoh di dalam IMM, sama halnya juga tidak diharamkan berjodoh dengan yang ada di luar IMM. Maka, merupakan pandangan yang aneh jika menganggap ada upaya sistematis dalam perjodohan itu.
Grusa-Grusu dan Fanatik?
Juga tentang grusa-grusu dalam hal mengambil keputusan dan langkah politik, dengan mengambil contoh dinamika pemilihan ketua komisariat atau cabang. Menurut Mas Nug, konon kadang berdampak pada terjadinya konflik antar-faksi dan terbawa sampai seumur hidup. Ini rasanya kesimpulan yang mengada-ada.
Faktanya, setelah menjadi alumni IMM dan saat bertemu kembali dalam Forum Komunikasi Alumni (Fokal) IMM, justru dinamika selama menjadi aktivis IMM dapat memberikan kontribusi positif bagi persyarikatan Muhammadiyah.
Hingga saat ini tidak ditemukan ‘dendam’ akibat dari dinamika di IMM dalam rana politik. Sebaliknya, dengan dinamika tersebut banyak kader IMM yang memiliki pengalaman dalam berpolitik sehingga tidak mudah dijebak atau digiring untuk memenuhi hasrat politik tertentu.
Mungkin benar bahwa pada akhirnya, banyak kader IMM yang “fanatik” dalam mengawal kepentingan persyarikatan. Namun fanatisme kader IMM bukan fanatisme buta.
Akhirnya, bagaimana pun catatan pihak luar—karena meski mengaku banyak berinteraksi dengan kader IMM, Mas Nug tidak pernah masuk dan tentu tidak mungkin mengenal jerohan IMM secara totalita—tetap memberi nilai positif bagi perjalanan IMM ke depan.
Semoga kado Milad ke-57 IMM dari Mas Nug menjadikan kader IMM semakin matang dan dewasa. (*)
Menyoal Keunikan Kader IMM versi Mas Nug, Editor Mohammad Nurfatoni