Penyesalan Hamba Dapat Respon Cepat oleh Anisah Machmudah, dokter gigi dan tinggal di Gresik.
PWMU.CO – Allah memang benar dengan segenap ajaran dan janji-Nya. Allah, lewat Rasul-Nya, meminta untuk mengganti kesalahan-kesalahan yang kita perbuat dengan berbagai kebaikan.
Allah meminta, selalulah mempersiapkan bekal untuk hari esok: akhirat. Sungguh, jika setidaknya dua hal itu sudah kita lakukan, berbagai kemudahan insyaallah akan kita dapatkan.
Sebuah Sesal
Di sebuah malam, pada 2013. Kulirik Kitab Suci tebal itu. Kertas-kertasnya berdebu dan lusuh, teronggok di rak kokoh di sudut kamar. Kapan terakhir aku menyentuhnya? Iya, aku hanya membacanya saat shalat saja, tak lebih. Itupun selalu surat-surat pendek yang mudah.
Kapan terakhir aku membaca al-Quran? Itu, sangat lama! Mungkin beberapa tahun, bahkan puluhan tahun lalu.
Mengingat hal itu, ada perih di dada! Mengapa aku selalu berdalih tak ada waktu untuknya? Hah, waktu habis begitu saja, hingga tak terasa 50 tahun usiaku sudah berlalu.
Aku menunduk, dalam-dalam! Sepuluh tahun lagi aku pensiun. Di saat itu, aku tak akan lagi berkantor. Juga, anak-anak akan pergi, menapaki hidupnya masing-masing. Jika begitu, apa lagi yang akan dicari?
Bukankah tubuh makin lemah? Bukankah mata mulai mengabur, uban makin banyak, langkah kaki melemah, dan punggung kian tak tegak? Terakhir, bukankah jatah umur kian berkurang?
Di usia separuh abad, di kesunyian malam, berputar kembali “video kehidupan” sedari awal. Aku segera menyadari situasi dan lalu bertekad: Perlu melakukakan amal shalih yang istikamah, yang semoga bisa mengganti “detik-detik tak bermakna dari kehidupan” yang telah aku jalani. Harus ada pengganti atas jejak kehidupanku yang “kosong dari amal shalih”.
Benar, aku bertekad akan mengganti “detik-detik tak bermakna dari kehidupan” dan “kosong dari amal shalih”. Tekad ini harus aku wujudkan agar kelak tak termasuk sebagai fihak yang sangat merugi kala pada saatnya menghadap Ilahi Rabbi.
Tekad Itu
Baiklah! Apa yang perlu aku persiapkan? Aku harus serius memegang komitmen untuk mengisi sisa-sisa hari dengan sebanyak mungkin amal shalih. Lisanku, tak boleh berhenti melafalkan puja-puji kepada-Nya. Tanganku, harus ringan dalam menyantuni kalangan yang butuh termasuk mereka yang tak hendak meminta-minta demi menjaga marwah.
Siapa kalangan “yang perlu dibantu meski mereka tak meminta”. Mereka, lihatlah misalnya, warga desa yang wilayahnya selalu kekurangan air. Perhatikanlah, misalnya, banyak masjid yang belum berdiri sempurna karena kekurangan dana. Cermatilah misalnya, tak sedikit langgar yang hampir roboh, sementara di dalamnya banyak anak-anak yang sedang menghafal al-Quran.
Semua yang disebut itu—termasuk contoh lain yang serupa—butuh uluran tangan. Maka, di posisi manakah aku harus berdiri? Pantaskah aku nanti menghadap Allah tanpa bekal amal shalih yang cukup?
Setelah pikiran melayang-layang, kuambil Kitab Suci itu. Kuusap debu yang menempel. Mungkin, inilah sebagian tambahan amal shalih yang aku pilih dalam mengisi hari-hari sejak sekarang yaitu dengan rajin membaca al-Quran. Semoga, setelah ini, tak akan terlihat lagi Kitab Suci itu berwajah kusam karena jarang atau malah tak pernah aku sentuh.
Seseorang Datang
Sekitar empat hari setelah tekad itu terpateri di hatiku, seorang lelaki mengetuk pintu ruang kerjaku. Dia lalu memulai percakapan.
“Bolehkan saya masuk?”
“Sila,” jawabku dengan iringan senyum.
“Saya menawarkan al-Wasim yang lengkap. Di al-Quran ini, arti ayat ada di bawahnya di tiap kata. Memudahkan kita dalam usaha mengerti dan memahami makna secara utuh,” terang tamuku itu.
Allahu-Akbar! Allah telah memudahkan urusanku. Allah mengirimiku seseorang yang dengan perantaraannya aku mudah mendapatkan al-Qur’an. Lewat kejadian itu, yakin aku bahwa niat mendekati Allah dengan “berjalan” menuju-Nya akan segera berbalas. Apa itu? Allah akan menghampiri kita dengan “berlari”.
Brosur Itu
Masih ada kejadian lain yang berkesan. Tiba-tiba, tak jauh dari tekadku untuk lebih istikamah dalam mendalami al-Quran, ada brosur undangan di meja. Isinya, tawaran “Cara Mudah Menghafal Al-Quran”. Tentu saja, langsung aku catat tanggal pelaksanaannya.
Allahu-Akbar, Allah buka lagi jalan kemudahan. Allah dekatkan jarak yang semula jauh.
Kiriman Ananda
Karunia Allah kepadaku belum selesai. Di sebuah hari aku bertandang ke rumah anak. Di sana, dari kejauhan kudengar suara yang menarik, menggema dan syahdu. Iya, suara bacaan seorang hafidh lewat pengeras suara.
“Bunda, sukakah dengan yang sedang kita dengar,” tanya anakku.
Atas pertanyaan anakku yang disampaikannya sambil mencolek tanganku itu, kujawab dengan senyum dan anggukan kepala.
Tiga hari kemudian, di rumah, ada paket barang datang. Rupanya, kiriman dari anakku, sebuah ‘kotak kecil’ yang sangat bermanfaat. Lewat media itu kita bisa dan mudah berdekat-dekat dengan al-Quran. Di dalamnya, ada tilawah dan artinya. Lengkap, dengan tata-cara mudah menghafal al-Qur’an. Mudah di ulang-ulang, dengan hanya kita klik nomornya.
Singkat kata, paket kiriman anakku itu, insyaallah akan menuntunku untuk lebih lebih cinta al-Quran. Di situ, ada suara indah dengan makhraj dan tajwid yang terjaga. Pendek kata, dengan media itu serasa kita sedang diajari oleh seorang ustadz. Mudah dan dekat, alhamdulillah!
Sejak itu, mulailah hari-hari aku hiasi dengan tilawah. Dengan media itu, terasa ringan dan mudah. Bisa dilakukan di rumah atau di jalan. Sungguh terasa membantu dan tak menimbulkan rasa lelah.
Pinta Hamba
Kini, delapan tahun kemudian, di 2021. Ya Robbi, mudahkanlah semua urusanku, dalam menapaki hari-hari yang tersisa.
Sekarang, di usiaku yang sudah 58 tahun, tentu tidaklah muda lagi. Bila mirip usia Rasulullah SAW, ‘jatah umur’ ada lima tahun lagi bagiku. Masa itu, tentu tak lama. Maka, berilah karunia-Mu yang utama, kecintaan akan al-Quran. Semoga kecintaan itu selalu terpelihara di dada dalam meniti usia hingga akhir hayat tiba. (*)
Gresik, jelang dini hari 21 Maret 2021
Editor Mohammad Nurfatoni