Kisah Inspiratif, Kala Kuasa Allah Dekat Terasa, oleh Yusro Ilyas, dokter gigi dan tinggal di Kota Batu, Jawa Timur.
PWMU.CO – Malam itu, di April 2016, aku menerima pesan WA dari Rina Ambarwati. Dia sahabatku saat sama-sama kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unair. Kini si dokter gigi itu turut mengelola sebuah biro perjalanan haji dan umrah yang berkantor di Jakarta.
“Yus, maaf, ini masih ada sisa dua kursi. Jika Yusro mau umrah, sila manfaatkan,” begitu isi WA dari Rina.
“Baik, insyaallah. Aku mau berangkat bersama putriku,” demikian jawabku. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingat putriku. Dia baik, diam tak iri ketika tahun 2012 adiknya aku berangkatkan umrah.
“Alhamdulillah, tapi putrimu sudah punya paspor ya? Soalnya, empat hari lagi dokumen sudah harus masuk ke Kedutaan Besar Saudi Arabia.”
“Insyaallah punya, Rin.”
Doa Ibu
Malam itu kebetulan putriku dengan suaminya dan cucuku bermalam di Rumah Dinas Direktur RS. Telah tujuh tahun kami tempati rumah itu sejak pelantikanku pada 20 Januari 2010 sebagai Direktur RSUD satu-satunya di Kabupaten Bangkalan, Madura.
“Za, mau-kah kamu umrah berdua dengan Ibu,” tanyaku sembari masuk ke kamar Fairuza Afada, anakku
“Doakan Bu semoga aku punya rezeki”, respon Izza yang juga seorang dokter gigi.
“Ibu yang membayarkan, Nak,” kataku sambil tersenyum.
“Ibu berangkat sama ayah saja. Aku belakangan kalau sudah punya rezeki,” sahut Izza.
“Ayah tak mau, Nak. Ibu sudah mengajak Ayah tadi sebelum Ibu ke kamarmu ini. Ibu tiba-tiba ingin berdua denganmu. Semoga Nabi Ibrahim mengundangmu Nak, tahun ini.”
“Amin. Tapi, mengapa ayah tak mau? Mungkin ayah tak fokus ketika Ibu ajak,” jawab Izza sambil senyum. Tampak, Izza berusaha menyembunyikan kegirangannya. Aku lihat sampai memerah pipinya. Berkaca-kaca matanya yang bulat dan tajam. Dia memandangku.
“Ibu tak bisa jawab tentang itu, Nak. Insyaallah sekarang undangan Nabi Ibrahim jatuh ke Izza. Teringat dua tahun yang lalu, ketika Ibu berdoa untuk para tamu yang ziarah ke Ibu dan Ayah atas kedatangan kami dari ibadah umrah. Ibu lihat Izza turut mengucap ‘amin’ sambil menangis. Insyaallah saat inilah undangan Nabi Ibrahim datang datang untuk Izza,” kataku sambil menahan haru.
Hatiku terbawa situasi. Kupeluk putriku.
“Ya Allah, terima kasih. Kami telah engkau beri amanah merawat seorang putri nan sempurna fisiknya, cantik putih mulus kulitnya. Semoga menjadi putri yang shalihah sepanjang hidupnya, menjadi ahli surga kelak. Amin,” demikian doaku.
Di Meja Makan
Di rumah, kegiatan rutin yang aku wajibkan pada suami dan putra-putriku adalah selalu menyisihkan waktu untuk sarapan pagi bersama. Di meja makan, itulah silaturahmi keluarga yang paling tepat. Di saat-saat itu, kami bisa bertukar pikiran, ‘curhat’, dan senda-gurau. Hal ini, karena siang dan malam masing-masing memiliki kesibukan sehingga tidak memungkinkan bisa makan bersama-sama.
Pagi itu, saat sarapan bersama.
“Mengapa Izza sepertinya sedih,” aku mulai membuka perbincangan
“Maaf Bu, mungkin aku tak bisa berangkat umrah bersama Ibu kali ini. Semoga di lain waktu bisa,” sahut Izza.
“Hal apakah yang menyebabkannya, Nak,” tanyaku yang mulai ikut sedih.
“Pasporku tak memenuhi syarat. Peraturannya minimal enam bulan paspor masih berlaku saat menjalani umrah. Sementara, pasporku hanya berlaku sampai tiga bulan ke depan. Dihitung sejak sekarang, hanya kurang dari empat hari untuk mengurus paspor. Tak cukup waktu untuk mengurus perpanjangan pasporku, Bu,” kata Izza. Berkata demikian, Izza menunduk seakan-akan tak boleh ada orang lain yang melihat air matanya.
“Subhanallah, Nak. Empat hari itu terlalu panjang buat Allah. Ibu yakin insyaallah akan ada saja jalan bila Allah menghendaki. Izza yakin juga-kah kan,” kataku setengah bertanya seraya menahan isak. Selanjutnya, air mataku sudah tak bisa lagi ditahan, jebol. Menangis bersama Izza.
“Iya Bu, aku yakin,” kata Izza sambil mengangguk pelan.
“Amin. Bersama restu Ibu dan Ayah serta Mas Arif—sebagai suami—yang telah mengizinkan, insyaallah bisa,” kataku.
“Aku sudah tanya MBak Dyah sepupuku, bisa perpanjangan paspor secara online,” kata Izza.
“Alhamdulillah, segera Nak tindak lanjuti.”
“Iya Bu, setelah sarapan langsung aku download aplikasinya”.
Di Menit-Menit Akhir
Turun dari masjid setelah shalat Dhuha, aku ambil HP di meja riasku. Aku membiasakan diri buka WAG keluargaku, sebelum buka WA suami dan WAG Ilyas Family, keluarga besarku.
Ada pesan WA dari putriku yang memohon sambung doa dari semua keluarga.
“Mohon doa Bu, aku akan ambil paspor, hari ini insyaaAllah selesai. Kemudian ke KKP untuk ambil kartu kuning tanda telah imunisasi Meningitis,” tulis Izza.
“Iya, Nak. Bismillah, semoga semua berjalan lancar,” jawabku.
“Menurut Tante Rina—penyelenggara umrah—besok dokumen yang diperlukan sudah harus sampai di Kedutaan Besar Saudi Arabia,” kata Izza.
“Hati-hati di jalan. Teruslah berdoa dan membaca shalawat Nabi,” pesan WA dari ayah Izza turut memberi semangat.
Kesibukanku di rumah sakit membuat aku lupa putriku sedang berjuang berkejaran dengan waktu. Tiba-tiba HP-ku berdering. Putriku menelepon, berkabar: “Alhamdulillah, Bu, lancar di menit-menit akhir. Truk XYZ (sebut saja begitu) yang hampir berangkat aku berhentikan.
‘Pak, tolong tunggu lima menit saja, ini sangat penting. Paspor ini harus sampai di Jakarta malam ini’. Demikian, aku berteriak ke sopirnya. Itu kulakukan sambil menunjukkan pasporku yang sudah terbungkus rapi dan beralamatkan biro haji dan umrah yang dikelolal Tante Rina di Jakarta. Sopirnya senyum-senyum sambil dan bilang, ‘Iya Mbak. Tapi, apakah Anda tak takut tertabrak truk. Masyaallah, Mbak’.”
Dekat, Dekat!
Di Madinah. Setelah keluar dari Raudhah, jam masih menunjukkan pukul 14.00 waktu Madinah. Shalat Ashar masih satu jam lagi. Waktunya membaca al-Quran.
Aku keluarkan HP dari dalam tas ranselku. Dengan suara lirih aku membaca al-Quran dari HP-ku. Tidak berapa lama aku membaca, ada galau menyelinap di dadaku. Apakah ayat-ayat al-Quran di HP-ku ini ada yang dipalsukan dengan sengaja?
Belum selesai kegalauan terbersit di hatiku, tiba-tiba seorang wanita berkebangsaan Arab—sepertinya penduduk asli Madinah—meminjam HP-ku dengan isyarat tangannya. HP aku berikan kepadanya dengan penuh tanda tanya dalam hati, untuk apa? Aku melihat wanita itu menggeser-geser layar HP-ku, tetap di ‘lembar-lembar’ al-Quran yang terbuka.
Kemudian, tak seberapa lama, beliau mengembalikan HP-ku sambil memberi isyarat jempol, diarahkan kepada HP-ku. Bahasa tubuh itu, saya maknai bahwa dia menilai ayat-ayat al-Quran yang ada di HP-ku bagus, tak ada yang dipalsukan.
“Allahuakbar,” ucapku lirih. Allah kontan menjawab kegalauanku terhadap keaslian al-Quran di HP-ku.
Peristiwa serupa terjadi lagi ketika menunggu shalat Isya’ di Masjidi al-Haram. Sambil mengaji, hatiku tergerak bertanya, apakah bacaanku sudah sesuai dalam hal mahraj dan tajwid-nya?
Tiba-tiba seorang wanita berkebangsaan Arab menyolek lengan kananku sambil berkata dalam bahasa Inggris, “Keraskan bacaanmu!”
Aku memandangnya sambil berkata, “What?”
“Iya, keraskan,” ulang dia.
Tanpa bertanya lagi, aku teruskan mengaji dengan suara yang lebih keras. Selang satu ayat dua ayat, wanita tersebut menunjukkan dua jempolnya sambil berkata, “Very good.”
“Masyaallah, really?”
“Yes!”
Dialog lalu berlanjut. Terasa dekat hubungan kami.
“Indonesia-kah,” tanya dia tetap dalam bahasa Inggris dan dengan iringan senyum.
“Ya. Terima kasih,” jawabku sambil bernamaste kepadanya.
Kemudian aku memohon izin melanjutkan mengaji. Tak terasa ada air yang mengalir di pipiku. Yaa Allah, sungguh begitu dekat Engkau Ya Allah. Terima kasih, Ya Allah.
Semakin deras air mataku mengalir, merasakan keagungan Allah yang begitu sayang kepada hamba-Nya; Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Doa Kami
Pagi hari, di Jumat. Setelah sarapan, kami bergegas berkumpul untuk bersama-sama melaksanakan thawaf wada‘. Kami sedih, sebentar lagi kami akan meninggalkan Tanah Haram yang mulia. Dalam hatiku, di Tanah Air tidak akan aku dapati lagi shalat dengan pahala 100.000 kali.
Sambil menunduk kami berangkat. Sesampainya di Madjid al-Haram kami bergegas turun lewat ekskalator menuju depan kakbah.
“Mari, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu berniat tawaf wada‘. Kemudian ikuti saya,” kata ustadz pembimbing kami.
Tidak terasa tujuh putaran telah selesai. Terdengar suara ustadz memberi aba-aba untuk berkumpul di tempat yang lurus dengan Multazam.
“Mari, sila duduk, hadapkan hati kepada Allah. Saya berdoa dan Bapak-Ibu mengamini. Setelah selesai doa dan bacaan al-Fatihah saya, sila Bapak-Ibu berdoa lagi sendiri-sendiri. Minta saja apa yang Bapak-Ibu inginkan. Insya-Allah mustajabah,” kata Pak Ustadz.
“Iya, Ustadz,” jawabku.
Setelah selesai si ustadz berdoa, aku mulai membuka doaku dengan ta’awudz dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Aku berdoa mohon diundang kembali bersama suami karena umroh bersama putriku kegiatannya hanya ikut rombongan saja, tak berani berangkat sendiri untuk ambil miqat.
Doa yang kupanjatkan: ‘Jika nanti Engkau perkenankan kami ke Tanah Suci bersama suami, semoga aku bisa thawaf di lantai1, 2, dan 3. Jika mungkin, bersama Izza kami bisa shalat di basement—jalur terdekat dari hotel menuju Kakbah. Jika kelak bersama suami, semoga bisa ziarah ke kediaman Rasulullah SAW.
Begitulah doaku sambil menangis tersedu-sedu berusaha khusyuk menghadap ke Hadirat Allah. Aku benar-benar pasrah kepada Allah, sebagai manusia-seorang hamba-yang tidak memiliki apa-apa.
“Bapak-Bapak tetap di sini bersama saya untuk melaksanakan shalat Jum’at. Sedangkan Ibu-Ibu kembali ke hotel, untuk persiapan pulang. Kita berangkat ke Jeddah setelah shalat Ashar. Kita berjamaah ashar di mushalla hotel saja, pahalanya sama karena hotel masih di Tanah Haram,” demikian petunjuk Pak Ustadz dari kejauhan.
Subhanallah, Terpisah!
Tanpa bertanya, kami, yang wanita, langsung bergerak. Kami berjalan berurutan melewati celah-celah yang bisa kami masuki karena jamaah bapak-bapak sudah mulai duduk memenuhi shaf menunggu shalat Jumat.
Tiba-tiba ada yang menarik lengan saya.
“Bu Yusro, boleh saya berada di depan Anda? Saya ini pendek, tak kelihatan rombongan karena tertutup Anda,” kata Dokter Novi, Direktur RS Pasar Rebo Jakarta. Dia satu rombongan umrah bersamaku.
“Mari Bu, sila,” kataku sambil mundur mempersilakan beliau berjalan di depanku.
Baru bergerak untuk berjalan dengan posisi baru, ada lelaki tinggi besar yang menyelinap di barisan kami. Dia berjalan persis di depanku. Tentu, pandanganku terhalang, sulit untuk bisa melihat rombongan di depanku. Sedang putriku sudah di depanku, jauh.
Sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri, aku berusaha mengikuti rombonganku. Selang beberapa langkah, aku menengok lagi. Alhamdulillah masih tampak rombonganku.
Aku terus melangkah mencari jalan yang bisa kami lewati. Akhirnya sampailah kami di posisi lepas dari bapak-bapak yang duduk memenuhi shaf. Tapi sejurus kemudian, betapa terkejutnya aku ketika pas di belokan, belok kanan atau kiri-kah rombonganku? Di mana mereka?
Cepat sekali mereka menghilang dari pandanganku. Aku coba kejar ke kanan tak ada. Aku balik lagi mencoba belok ke kiri, juga tak terlihat. Ya Allah, ke mana mereka?
Kalau pintu keluar, benar yang belok kanan, gumamku. Berpikir demikian, sambil aku mempercepat langkah dengan harapan ketemu rombongan.
Saat Introspeksi
Aku mulai cemas. Dengan sambil membaca shalawat aku berjalan terus dengan sesekali menundukkan kepala karena aku merasa malu melewati bapak-bapak di shaf shalat. Yaa Allah, pertemukan aku dengan ibu-ibu rombonganku, demikian pintaku kepada Allah.
Rasa takut mulai menyelinap di dadaku. Semakin kupercepat langkahku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Yaa Allah, dimanakah aku ini sekarang? Muncul ingatanku, cerita kakakku yang kesasar tak tahu kemana. Tahu-tahu dia sudah di luar Masjidil Haram dan sampai ke Ma’la, kuburan di Mekkah.
“Kamu jangan sok tahu di Tanah Haram, karena nanti kamu bisa kesasar kemana-mana seperti aku,” tiba-tiba pesan kakakku terngiang kembali. Ceritanya, kakak yang merasa hafal dan merasa tidak akan kesasar karena sudah lebih dari sekali menunaikan haji dan umroh, merasa percaya diri. Ternyata, malah kesasar ke Ma’la.
Yaa Allah, apakah tadi aku merasa sok tahu dengan menolong Bu Dokter yang minta berposisi di depanku? Aku hanya memberi pertolongan, ya Allah. Apakah aku salah ya Allah? Maafkan aku ya Allah?
Jawaban Doa Pertama
Mulailah air mataku menetes membasahi pipi. Di mana aku sekarang? Ke mana kakbahnya, kok tidak tampak?
Sambil bingung aku lihat pagar di sisi kiriku. Aku berjalan mendekati pagar itu. Betapa terkejutnya aku. Ya Allah, ini aku berada di lantai 3 Masjid al-Haram. Kapan aku naiknya? Aku tidak naik ekskalator, kenapa bisa sampai ke lantai 3?
Sontak aku kaget, apakah doaku di akhir tawaf wada’ tadi langsung terkabulkan. MasyaaAllah, jangan sekarang ya Allah. Jangan sekarang dikabulkannya. Apakah aku akan meninggal, ya Allah sehingga doaku Engkau kabulkan sekarang?
Respon Doa Kedua
Bertambah deras air mataku mengalir, sambil terus aku berjalan mencari ekskalator untuk turun. Aku lihat ekskalator di kejauhan. Bergegas aku menghampirinya.
Ekskalator yang saya tumpangi itu terasa bergerak pelan. Meski begitu, sampai juga akhirnya aku di bawah. Aku merasa lega. Kini haus mulai terasa. Aku cari tempat air Zamzam.
Kok sepi ya? Oh iya, bukankah shalat Jumat hampir dimulai. Tapi di mana ini?
Selagi aku melamun, ada suara laki-laki, “Ya Hajjah, ya hajjah.”
Aku kaget dan merasa takut karena sepi. Aku lihat sekeliling sambil minum air Zamzam. Betapa kagetnya aku, setelah aku sadar bahwa aku telah berada di basement. Subhanallah, aku turun satu kali dari lantai 3, kok ini langsung ke basement. Yaa Allah, mohon ampun, doaku yang kedua terkabul juga ya Allah. Semakin lemas kakiku karena aku mulai gemetaran. Akankah aku benar-benar akan meninggal?
Isyarat Doa Ketiga
Aku cari lagi ekskalator untuk naik ke lantai 1. Alhamdulillah, aku lihat sinar matahari di sisi kiri ekskalator. Segera aku keluar. Masyaallah, bukan jalan untuk keluar. Tapi kemudian, terbelalak mataku ketika dari kejauhan aku lihat kediaman Rasulullah SAW dengan tembok berwarna orange. Warna itu, masih tetap. Ya Allah ini doaku yang ketiga, Engkau kabulkan juga. Alhamdulillah!
Aku langsung berdoa dari kejauhan sambil melihat tembok orange itu. Yaa Allah, hamba ikhlas seandainya hamba harus meninggal sekarang. Tapi apabila boleh memohon yaa Allah, berilah hamba kesempatan berumur panjang sehingga bisa menuntun putra-putri dan cucu-cucu hamba ke jalan-Mu yaa Allah. Singkat doaku.
Kembali Selamat
Aku lalu berbalik mencari pintu masuk Masjid al-Haram lagi yang masih buka. Persis di belakangku ada pintu. Aku berjalan menuju pintu itu sambil berdoa, yaa Allah berilah kemudahan sehingga petugas yang menjaga pintu membolehkan aku masuk Masjid al-Haram lagi.
Alhamdulillah, petugas mempersilakan aku masuk. Di balik pintu itu, aku lihat ekskalator turun. Sesampai di bawah aku lihat ada keluarga berkebangsaan Arab bersama istri dan dua anaknya sedang berbicara dengan petugas. Bapak itu sepertinya mencari pintu keluar juga.
Aku ikuti saja, semoga dugaanku benar dan ternyata memang benar. Akhirnya aku menemukan pintu 92 di mana pintu itu yang selalu kami lewati. Alhamdulillah.
Sambil senyum aku buka payung. Dengan setengah berlari aku menuju hotel tempat aku menginap. HP-ku yang berdering tidak aku hiraukan. Kiranya baru sekarang HP-ku berbunyi sebab dari tadi mungkin tidak ada sinyal.
Lega, aku sudah sampai. Aku cari kursi di lobby hotel.
“Halo, di manakah Ibu,” tanya putriku setengah menangis di ujung telepon.
“Anggota rombongan cari-cari Ibu. Kami menyebar, mencari Ibu,” masih kata putriku di ujung telepon.
“Ibu sudah di hotel, Nak. Baru saja sampai. Maafkan Ibu, ya,” sahutku.
“Masya-Allah, Bu. Ibu yang kami cari, malah lebih dulu sampai di hotel. Kami hampir satu jam mencari Ibu,” kata putriku dengan nada kesal tapi senang.
“Allah Maha Besar,” ucapku lirih.
Pelajaran Besar
Alhasil, apa hikmah yang aku dapatkan? Memang, terpisah dari rombongan di sebuah wilayah yang tidak begitu kita kuasai jalan-jalanya, tentu hal itu sangat tidak nyaman dan bahkan bisa menimbulkan rasa takut.
Tapi, ternyata, ada hikmahnya. Bahwa, justru dengan cara itu Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya. Allah kabulkan doa-doaku secara langsung. Allahuakbar wal-hamdulillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni