PWMU.CO – Nadjib Hamid telah pergi, tetapi karya-karyanya tetap abadi. Dengan gaya puitis, Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni menyampaikan hal itu dalam Takziyah Virtual Mengenang Almarhum Drs Nadib Hamd MSi, Sabtu (10/4/21).
Dalam testimoninya, dia mengatakan: Pak Nadjib, ragamu memang telah pergi, tetapi karya-karyamu tetap akan abadi. Menurut dia, jejak-jejak Nadib Hamid sangat banyak dan akan abadi. Termasuk yang fenomenal adalah yang berkaitan dengan literasi.
“Itulah yang akan mengabadikan pikiran-pikiran kita, ide, dan gagasan-gagasan kita, agar turun-temurun menjadi pengetahuan untuk membangun peradaban manusia,” ujarnya.
Sosok Pelopor
Soal literasi dia mengungkapkan Nadjib Hamid adalah pelopor majalah Matan, penerbitan buku di Jatim dengan bendera Hikmah Press, dan portal berita PWMU.CO.
Fatoni—sapaan akrabnya—menjelaskan bukan hanya pelopor, Nadjib Hamid berjuang dari bawah. “Saya mengalami dengan Pak Nadjib bagaimana beliau itu ketika menerbitkan Matan itu ikut ke tempat desain grafis sampai malam-malam. Bahkan berkali-kali beliau tidur di kantor. Tidak tidur sih tapi Pak Nadjib menemani desian layout untuk menerbitkan buku-buku Hikmah Press,” ungkap da.
“Begitulah beliau. Tidak hanya mendirikan tapi ikut membangun dari bawah. Itulah yang akan abadi. Maka sepertinya Pak Nadjib belum pergi,” ujarnya.
Sebab, kata Fatoni, amal jariah Nadjib Hamid masih bisa kita nikmati sampai sekarang. “Maka, jangan heran saat beliau telah meninggal beragam tulisan datang kepada redaksi PWMU.CO. Tokoh sekaliber Pak Haedar Nashir maupun dari teman-teman ranting semua menulis kesan bersama Pak Nadjib yang begitu mendalam,” ungkapnya.
Pemimpin Merakyat
Mohammad Nurfatoni mengatakan Nadjib Hamid adalah sosok merakyat. Pemimpin yang merakyat. Pemimpin yang tidak segan-segan menyapa satu per satu kontributor PWMU.CO untuk sekadar bersilaturahmi, atau meminta tulisan dan meliput berita.
“Karena itulah perjuangan kami begitu sangat kuat karena inspirasi Pak Nadjib. Pak Nadjib berjuang dari nol. Kemudian itulah yang dicontohkan Pak Nadjib. Jadi betul-betul dari nol kita harus berkorban. Makanya Pak Nadjib menyebut teman teman dari PWMU.CO sebagai relaban,” terangnya.
“Bukan hanya relawan tetapi juga rela berkorban untuk kemajuan Muhammadiyah untuk dakwah Islam untuk kemajuan Indonesia,” ungkapnya.
“Itulah Pak Nadjib. Itu kesan pertama tentang Pak Nadjib seorang pioner, yang tidak hanya mendirikan tetapi mengawal dengan dirinya sendiri. Bahkan hal hal terkecilpun beliau lakukan. Termasuk merevisi kata demi kata, buku, matan, PWMU.CO yang akan terbit dan sudah terbit,” ungkap pria kelahiran Keduyung, Laren, Lamongan, 22 Januari 1969 itu.
Rangkul Orang Pinggiran
Selain merakyat, Fatoni mengungkapkan kesan kedua tentang Nadjib Hamid sebagai orang yang pandai merangkul orang-orang ‘pinggiran’ Muhammadiyah ke dalam jantung Muhammadiyah.
“Meski saya DNA Muhammadiyah. Lahir dari bapak dan ibu Muhammadiyah dan sekolah di Muhammadiyah, tetapi saya tidak pernah di organisasi otonom. Tidak pernah di ranting tidak pernah di cabang. Tetapi Pak Nadjib langsung membawa saya ke jantung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di PWMU.CO,” ujarnya
Fatoni mengenal Pak Nadjib sebagai orang yang memuallafkan orang-orang yang belum Muhammadiyah atau orang-orang yang Muhammadiyah terpinggirkan dan dibawa kembali ke tengah.
Itulah, lanjutnya, yang ada di Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) yang kebanyakan diisi wartawan ber-DNA Muhammadiyah tetapi tidak punya jabatan struktur apapun, sehingga dibawa untuk membesarkan Muhammadiyah lewat media.
Mobilitas Tinggi
Fatoni menjelaskan, Nadjib Hamid juga adalah contoh sabda nabi tentang pentingnya silaturahmi. “Saya tahu ternyata Pak Nadjib itu tidak bisa naik mobil, nyetir mobil. Tidak bisa nyetir sepeda motor. Tetapi mobilitas Pak Nadjib luar biasa,” jelasnya.
Dia melanjutkan, mobilitas luar biasa Nadjib Hamid itu termasuk pada ‘rakyat jelata’ di Muhammadiyah. Rumah Fatoni yang jauh di Menganti pun sudah pernah dikunjungi oleh Nadib Hamid bersama istrinya: Luluk Hamidah.
Dia juga mengungkapkan, kalau Nadib Hamid sedang berkunjung ke daerah, pasti memanggil teman-teman daerah. “Saya di sini bisa silaturahmi?” ujarna menirukan Nadjib Hamid.
Mobilitas Nadjib Hamid bahkan dibuktikan dengan entengnya saat mengisi pengajian dengan hanya dibonceng sepeda motor. “Bahkan tidak jarang Pak Nadjib itu naik angkot, naik bis. Itu sudah Wakil Ketua PWM (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) Jatim,” jelasnya.
“Suatu saat pernah ke daerah Pandaan. Pak Nadjib harus naik bisa karena nginep di sana. Ya Allah Pak Nadjib luar biasa mobilitasnya. Tidak bisa nyetir mobil, tapi mobilitasnya sangat tinggi,” imbuhnya.
Disiplin dan Bersih
Fatoni menjelaskan hak keempat yang menjadi karakter Nadjib Hamid adalah teladan tentang kebersihan dan kedisiplinan.
“Pak Nadjib ini orang yang selalu minta acara tepat waktu. Beliau ingin menerapkan Islam itu secara substansi. Mengapa Islam itu nilai-nilainya diterapkan orang lain tetapi kita sendiri tidak menerapkan. Maka Pak Nadjib adalah contoh nyata dari sabda nabi tentang kebersihan dan kedisiplinan,” ungkapnya.
“Saya senang di rumah Bu Luluk, karena bersih tertata rapi. Itulah Pak Nadjib. Bahkan pak Nadjib sendiri ikut menata kursi kalau ada acara-acara yang tidak beres. Pak Nadjib ikut mengatur jika acara-acara itu tidak rapi kursi-kursinya. Bahkan Pak Nadjib ikut menata foto bagaimana yang bagus untuk tampil di media. Itulah Pak Nadjib,” dia menambahkan.
Menurut Fatoni Nadjib Hamid adalah orang besar tetapi detail. Orang besar tetapi perhatian kepada orang orang kecil. Orang besar tetapi silaturahminya sangat tinggi. “Dan itu saya kira yang perlu kita contoh dan itu adalah contoh Pak Nadjib,” ungkapnya.
Di akhir testimoninya, Fatoni mengungkapkan perasaan dekatnya dengan Nadjib Hamid. “Pak Nadjib salah satu orang yang ketika meninggal membuat saya menangis tersedu-sedu, selain ayah dan ibu saya,” ujarnya.
“Pak Nadjib itu ayah saya. Ayah kita semua. Ayah kontributor PWMU.CO. Ayah mereka semua. Dan Pak Nadjib memberi teladan. Karena itu perjuangan teman-teman sangat militan berkat Pak Nadjib,” ungkapnya. (*)
Nadjib Hamid Telah Pergi, tapi Karyanya Tetap Abadi; Penulis Syahroni Nur Wachid. Editor Ichwan Arif.