PWMU.CO – Muhammadiyah ingin bermuhasabah sebagai upaya tajdid di tengah perubahan. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikan hal itu dalam pembukaan Pengajian Ramadhan 1442 Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertema Tajdid Organisasi: Muhammadiyah di Era Perubahan, Jumat (16/4/21) sore.
“Kita memang ingin ber-muhasabah, melakukan kajian-kajian ke dalam, bagaimana kita melakukan usaha tajdid atau pembaruan organisasi di tengah perubahan yang begitu kompleks saat ini,” ujarnya.
Sebelum masuk ke muhasabah, Haedar mengenalkan makna tajdid yang sebenarnya.
Kegiatan yang digelar secara virtual Jumat-Ahad (16-18/4/2021) ini menghadirkan sejumlah nara sumber internal dan eksternal, termasuk Azyumardi Azra, Dahlan Iskan, Robert W Hefner, dan Hyung Jun Kim.
Makna Tajdid
Tajdid punya makna al-Iaadah (mengembalikan sesuatu pada tempatnya), al-Ihyaa (menghidupkan sesuatu yang telah redup atau mati), dan juga al-Ba’tsu (membangkitkan sesuatu yang dipandang stagnan).
Bahkan, tambahnya, dalam makna yang konstruktif, tajdid punya makna al-ishlah: melakukan usaha konstruksi dan rekonstruksi atau membangun dan memperbaiki.
Kemudian, Haedar mengutip hadits Nabi: Innallaha yab’atsu lihadzihil ummah ‘ala ra’si kulli miati sanatin man yujaddidu laha dinaha.
Ia menerangkan, makna “man yujaddidu” biarpun di depannya adalah fi’il yang bersifat mufrad (tunggal), tapi punya makna bukan hanya pada orang per orang. Man di sana bisa kolektif, bahkan menurut Yusuf Qaradhawi, man di sana juga bisa bermakna organisasi atau institusi.
Artinya, lanjut Haedar, biarpun tidak persis pada setiap 100 tahun lahir pembaruan, semangat dari hadits Nabi itu adalah agar kita—pembawa misi Islam—melanjutkan perjuangan Nabi akhir zaman.
“Yakni bagaimana selalu berusaha memperbarui pemahaman kita, pelaksanaan kita, bahkan berbagai aspek dari membumikan Islam sebagai ajaran. Misal, melalui organisasi persyarikatan Muhammadiyah,” tuturnya.
Al-Ashr: Ajaran Hadapi Perubahan Konteks Waktu
Haedar menerangkan saat Kiai Dahlan—panggilannya untuk Kiai Haji Ahmad Dahlan—memaknai al-Ashr sebagai Ashariyah (kemoderenan). Yaitu sebagai konsep dan konteks menghadirkan peran kita di ruang dan waktu yang terus berubah. Kyai Dahlan mengajarkan konsep ini dalam waktu cukup lama, yakni tuuh sampai delapan bulan.
Bagi Haedar, surat al-Ashr ini surat yang pendek tetapi mengandung makna yang mendalam. Sampai Imam Syafi’i mengatakan, “Lawasa athumussuurata haadhihinnaasu tadabbarolau“.
“Andaikata semua orang itu memperdalam dan memahami surat ini, semuanya tercakup dari surat ini,” ujarnya mengartikan.
Haedar menegaskan, apa yang dilakukan Kiai Dahlan—dengan surat al-Ashr, al-Maun, ali-Imran ayat 110, dan 17 pokok surat al-Quran. Serta tujuh ajaran yang ia tanamkan pada siswa dan sahabatnya di generasi awal Muhammadiyah—menunjukkan usaha untuk melakukan tajdid ajaran Islam.
Bukan Semata-mata Purifikasi
Kemudian ia meluruskan, pelaksanaan tajdid ini, dalam berbagai makna—sejak al-Iaadah, al-Ihyaa, al-Ba’tsu, bahkan juga al-ishlah—bukan tajdid dalam makna yang semata-mata purifikasi.
“Bukan hanya mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni. Tetapi lebih dari itu: melakukan rekonstruksi terhadap pelaksanaan ajaran Islam, alam pikiran, dan orientasi tindakan seluruh umat Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah,” terangnya.
Karena itu, lanjutnya, meskipun sekarang kita membahas tajdid pada organisasi Muhammadiyah di era perubahan. Maka tajdid organisasi itu juga terkait dengan alam pikiran para aktor: kita para kader dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan organisasi. Pun juga terkait dengan struktur organisasi itu sendiri.
Lebih dari itu, tajdid juga terkait dengan values (nilai-nilai) yang menjadi pondasi pembaruan organisasi dan membawa organisasi menjadi lebih maju. Bahkan, tajdid juga tidak lepas dari budaya dan lingkungan dimana organisasi itu berada.
“Dengan kata lain, ketika membahas tajdid organisasi, maka aspeknya adalah struktural atau kelembagaan organisasi itu dari berbagai keterkaitannya dengan aktor dan nilai dengan budaya dan lingkungan di mana Muhammadiyah itu berada,” ujarnya.
Muhammadiyah Ingin Bermuhasabah
Menurut Haedar, langkah pertama dalam muhasabah, harus coba memposisikan kembali bagaimana dan seperti apa organisasi Muhammadiyah.
“Masyarakat luas dan kita yang ada di dalam sudah begitu lekat dengan predikat bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang modern, reformis, atau dalam istilah khusus: organisasi Islam tajdid atau pembaharuan,” ungkap Wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat 2015- 2020 itu.
Bagi bapak dua anak ini, makna tajdid modern dan reformis begitu luas cakupannya. Hal ini bisa dikaji dengan memperhatikan pandangan berbagai tokoh.
“Menurut Prof Mukti Ali, satu di antara ciri kemoderenan Muhammadiyah adalah kemampuannya melakukan reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern,” katanya.
Alfan Alfian, lanjutnya, mengategorisasikan Kiai Dahlan sebagai penggerak pembaruan yang punya tiga dimensi sebagai The Religious Reformist ,sebagai sosok yang membawa social change (perubahan sosial), bahkan menghadirkan Muhammadiyah sebagai The Political Force dalam makna pergerakan kebangsaan.
“Deliar Noer memberi karakter Muhammadiyah—biarpun selalu dikategorisasikan sebagai gerakan islam modern bersama (gerakan) yang lain— tetapi kata dia, Muhammadiyah tampil lebih moderat ketimbang gerakan Islam yang punya makna revitalisme Islam,” terangnya.
Profesor di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menerangkan, Bung Karno bahkan menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang progresif atau berkemajuan.
“Biarpun dia pernah mengkritik sebagian orang Muhammadiyah di Ende masih konservatif alam pikirannya. Ketika dia pindah ke Bengkulu, dia juga mengkritik Muhammadiyah sebagai organisasi yang masih menggunakan hijab bak lambang perbudakan modern,” ungkapnya.
Dari sini, bapak 63 tahun itu menyimpulkan, “Banyak para ahli dan tokoh mengategorisasikan Muhammadiyah sebagai gerakan reformis, modern, dan tajdid.”
Dalam gerakan politik kebangsaan, William Shepard mengategorisasikan Muhammadiyah sebagai Islam modern yang lebih fokus pada pergerakan membangun peradaban Islam modern daripada berorientasi pada pembentukan negara Islam,” jelas dia.
Inilah, sambung Haedar, yang membawa gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan modern, yang bergerak di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, dan membangun kekuatan yang punya daya tawar dalam pergerakan modernisme.
Hadapi Kritik untuk Muhammadiyah
Haedar menyatakan, seiring perjalanan waktu—hingga kini Muhammadiyah berusia 108 tahun, begitu juga Aisyiyah dan seluruh organisasi otonom yang ada di dalamnya—tentu selalu ada kekurangan dan hal-hal yang tercecer yang harus kita muhasabah.
Mitsuo Nakamura pada tahun 2010 melanjutkan penelitiannya, lalu mengkritik. Padahal dalam penelitian sebelumnya, ia mengonstruksi Muhammadiyah sebagai “organisasi yang banyak wajah” dengan berbagai aspek yang begitu lentur.
“Seiring dengan perkembangan zaman, kata dia, ketika pemahaman keagamaan Islam begitu beragam di Indonesia dan di dunia, Muhammadiyah mulai kurang dinamis dan progresif,” ucapnya sampaikan kritik Nakamura.
“Muhammadiyah perlu mencari identitas dengan memformulasikan lagi semangat membangun pergerakan pembaharuannya. Muhammadiyah, kata Nakamura, perlu merevitalisasi pergerakannya saat ini!” tutur Haedar.
Menghadapi kritik ini, Haedar mengimbau untuk tetap mendengar dan menerima meski tidak suka. “Ketika pandangan tokoh ini sebagai perbandingan, kita boleh suka atau tidak suka, tapi sesekali kita perlu mendengarkan kritik orang,” tutur Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah itu.
Secara organisasi, kata dia, beberapa pengamat menilai Muhammadiyah kalah dinamis dengan NU. Yaitu dalam ideologi pergerakannya yang kontemporer. “Organisasi yang dulu diasosiasikan dengan kaum sarungan dan kolot itu tampak lebih progresif dan reformis—terutama dalam pemikirannya—sejak Abdurrahman Wahid memimpin, tahun 80-an,” ujar Haedar.
Menurut Haedar, kritik ini perlu jadi perhatian, tapi jangan sampai jadi jatuh diri karena kritik.
Muhammadiyah Bukan Gerakan Revivalisme Islam
Haedar menerangkan, dalam perkembangannya, sebagian orang Muhammadiyah mengasosiasikan pergerakan Islam modern reformis dan tajdid dengan revivalisme Islam. “Padahal, revivalisme Islam menurut para ahli lebih bersifat reaktif untuk mengembalikan situasi yang mundur dari Islam. Dengan selalu mereaksi modernisme yang dipandang sebagai sekulerisme dan liberalisme serta westernisasi,” jelas pria kelahiran Bandung itu.
Kemudian ia mencontohkan pergerakan Islam yang bersifat revivalis tajdid dalam makna purifikasi. Seperti pergerakan-pergerakan Muhammad bin Abdul Wahab, Sanusiyyaah, Shah Wali Allah, dan berbagai pergerakan yang disebut dengan revivalis Islam.
Sedangkan, Haedar menekankan, Muhammadiyah tidak dalam posisi yang sama dan sebangun dengan itu. Karena itu, era 2000-an, Majelis Tarjih mengodifikasi bahwa tajdid Muhammadiyah punya makna purifikasi dan dinamisasi.
Kalau merujuk tadi, bukan hanya dalam konsep al-Iaadah, juga al-ihyaa, al-ba’tsu, dan al-Ishlah. “Inilah yang perlu kita maknai bersama bagaimana memberikan tajdid dalam makna yang luas,” tuturnya. (*)
Haedar Nashir: Muhammadiyah Ingin Bermuhasabah di Tengah Perubahan; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni