PWMU.CO – Empat Fenomena Bahan Muhasabah Muhammadiyah. Sebagian orang Muhammadiyah mengalami bias, tidak mampu menangkap semangat tajdid yang luas pada generasi awal. Hal ini Haedar Nashir sampaikan dalam pembukaan Pengajian Ramadhan 1442 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (16/4/21) sore.
Untuk itu Prof Haedar Nashir mengajak ber-muhasabah terhadap beberapa fenomena yang berkembang akhir-akhir ini di Muhammadiyah.
Pertama, sebagian warga dan pimpinan Muhammadiyah melakukan respon kurang tepat sebagaimana mestinya ketika menghadapi Covid-19. Haedar Nashir mengatakan, soal itu PP Muhammadiyah bersama Majelis Tarjih telah mengeluarkan pedoman sampai dua kali tentang Ramadhan dan Idul Fitri. Juga ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Demi kedaruratan, ibadah dipindah ke rumah.
Tapi, kata Haedar Nashir, ada asumsi-asumsi dari sebagian warga dan pimpinan Muhammadiyah yang selalu tidak pas. Misal, ‘Orang Muhammadiyah tidak perlu takut Covid, takutlah kepada Allah!’. Atau ‘Kenapa beribadah ikuti mazhab WHO, bukan ikuti mazhab kita dan Rasul?’ Juga ‘Akidah kita sudah mulai berbelok dengan Covid ini!’.
Padahal sesungguhnya, Haedar menegaskan, Tarjih dan Muhamadiyah telah meletakkan pandemi ini dalam konteks risalah dan ajaran Islam sebagai mana mestinya.
“Pemaknaan ini juga penting ketika kita tidak menjadi bagian kelompok yang reaktif dan konservatif dalam menghadapi perubahan dan kondisi yang kontekstual,” ujarnya.
Haedar menyatakan, dulu dan dalam perjalanan selanjutnya, Muhammadiyah selalu memelopori pergerakan dan pemahaman serta praktek islam yang bisa memberi solusi.
Konvensional: Gagap IT
Yang kedua, pengelolaan sebagian organisasi Muhammadiyah masih bersifat konvensional. “Saat tadi Rektor UMY menyebut kita masuk revolusi 4.0, sebagian kita agak gagap menghadapi revolusi IT (informasi dan teknologi),” ungkap Haedar.
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah dengan berbagai lembaga dan amal usahanya, mencoba melakukan usaha-usaha pengelolaan organisasi secara online yang lebih bagus dan canggih. Termasuk mengelola berbagai macam syiar, publikasi, dan relasi lewat Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM).
Tapi, bagi Haedar, hal ini harus meluas sampai ke bawah. “Di era ini kita perlu semakin canggih melakukan ikhtiar (usaha) bagaimana menghadapi revolusi 4.0, Muhammadiyah juga makin modern,” tuturnya.
Fenomena Perkotaan VS Pedesaan?
Haedar lantas menyebutkan fenomena ketiga, dengan mempertanyakan, apakah Muhammadiyah sudah hadir menjadi bagian proses perkotaan? Sebab, dulu orang mengatakan Muhammadiyah itu fenomena perkotaan.
“Di mana gejala itu jadi gejala penting, apakah Muhammadiyah hadir di pusat-pusat kemajuan, di kalangan profesional, kelas menengah ke atas, birokrasi, dan lain sebagainya?” tanya Haedar.
Persoalan penting lainnya, tambahnya, agar Muhammadiyah hadir sebagai kekuatan yang tetap eksis dalam masyarakat kota menengah ke atas, tapi bersamaan dengan itu juga hadir pada masyarakat luas di pedesaan, di daerah-daerah marjinal, dan kelompok lainnya.
Ragam Fenomena di Luar
Selanjutnya, Haedar menyatakan, kita perlu membaca fenomena di luar. Yakni bagaimana sekarang, kelompok-kelompok Islam dengan berbagai pandangannya begitu ragam, hadir di tengah masyarakat kita yang tentu juga jadi bagian dari kemajuan Islam dan Muhammadiyah.
Haedar menambahkan, kita juga sedang berhadapan dengan realitas baru. Dr Kuntowijoyo menyebutnya gerakan (kelompok) Muslim tanpa masjid. Yakni anak muda, kaum Muslim, yang tidak teridentifikasi dan berafiliasi pada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mainstream. “Memerlukan usaha dakwah yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan,” ucapnya.
Selain itu, kita juga berhadapan dengan kehidupan perkembangan kontemporer, baik dalam kehidupan bangsa maupun dunia secara global, yang ruang sosial-kebudayaan dan orientasinya semakin inklusif, multi culture, dan juga memperluas area relasi sosial yang bersifat melintasi.
“Persoalan-persoalan ini tentu perlu menjadi perhatian Muhammadiyah, bagaimana menghadirkan organisasi kita sebagai pergerakan Islam modern, maju, dan membarui,” tandasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni