PWMU.CO – Lima Rumusan Fikih Dakwah Muhammadiyah. Hal ini Haedar Nashir sampaikan dalam pembukaan Pengajian Ramadhan 1442 Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertema Tajdid Organisasi: Muhammadiyah di Era Perubahan, Jumat (16/4/21) sore.
Ketua Umum Pimpnan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyebutkan, ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian dalam agenda tajdid organisasi Muhammadiyah di era perubahan. Salah satunya yaitu rekonstruksi teologis dan ideologis.
“Secara keseluruhan, lembaga Muhammadiyah—alhamdulillah dalam pikiran-pikrian modern, maju, dan tajdid—sesungguhnya berada di paling depan,” ucap Haedar.
Hal ini tampak dari pemikiran-pemikiran yang Majelis Tarjih keluarkan—baik dalam manhaj tarjih bayani, burhani, dan irfani—sebagai ikhtiar dan bentuk tafsir yang luas dan mendalam.
Pemikiran-pemikiran tersebut, menurut Haedar, merupakan sesuatu yang baru, yang mungkin organisasi lainnya tidak kembangkan. Misalnya, Muhammadiyah melakukan terobosan melalui Tafsir at-Tanwir secara bertahap.
Fikih-fikih kontemporer yang Majelis Tarjih keluarkan, lanjutnya, merupakan wujud kemajuan kemampuan berpikir dan pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini dalam hal rekonstruksi teologis dan ideologis.
“Jika sebelumnya saya sengaja mengutip pendapat orang-orang tentang kemajuan di tempat lain, itu agar kita tidak lengah dan tidak terbawa penyakit masa lampau yang bersifat tradisional,” ungkapnya.
Konteks ini, tambahnya, sesungguhnya perlu aktualisasi baru yang masif sampai ke bawah, juga memiliki konteks dalam pikiran yang lain.
Haedar menyatakan, di tengah berbagai pemikiran yang cenderung ekstrim saat ini—baik yang ekstrim cenderung literal, serba tekstual, dan mungkin cenderung ingin kembali ke salaf dalam makna yang parsial. Sementara di pihak lain, pembaruan mungkin terlalu maju atau progresif, sehingga cenderung sekular dan liberal. Sebab, menggunakan alat-alat pemikiran yang tidak selalu pas dengan referensi Islam yang burhani dan irfani.
Tarik-menarik pikiran yang ada di luar ini sesungguhnya butuh pemikiran alternatif. “Pemikiran alternatif inilah yang sebenarnya perlu kita hadirkan dari Muhammadiyah. Dan alhamdulillah kita sudah mendeklarasikan, bahkan menjadi alam pikiran dan diksi umum, yakni ‘Islam Berkemajuan’ dan ‘Gerakan Pencerahan’,” ujarnya.
Tetapi, dalam konteks rekonstruksi organisasi, Islam berkemajuan dan gerakan pencerahan ini perlu menjadi sebuah pemikiran yang utuh, yang menjadi pedoman atau panduan bagi Muhammadiyah secara keseluruhan. Supaya tidak terjadi keterlambatan seperti kita menghadapi pandemi beberapa waktu ini.
Dengan pemikiran Islam berkemajuan dan gerakan pencerahan yang disusun secara sistematik dan tentu kita harap jadi agenda dalam Muktamar yang akan datang. Maka akan melengkapi dan menjadi satu kesatuan dengan pemikiran-pemikiran islam sebelumnya, baik melalui Munas Tarjih maupun yang langsung Muktamar Muhammadiyah putuskan.
Rumuskan Fikih Dakwah Muhammadiyah
Menurut Haedar, dalam konteks yang lebih spesifik, Muhammadiyah perlu merumuskan kembali Fikih dakwah Muhammadiyah yang baru: “Fiqu jadid fi thariqiddakwah al Muhammadiyah.”
“Kita sudah memiliki dakwah kultural sebagai sebuah konsep yang bagus. Kita juga sudah memiliki dakwah komunitas yang diputuskan dalam Muktamar 2015 di Makassar. Tapi bagaimana ini menjadi satu kesatuan dengan figur dakwah Muhammadiyah masih menjadi pertanyaan,” komentarnya.
Karena pada kenyataannya, sambung dia, sebagian warga Muhammadiyah, para mubaligh Muhammadiyah, merunut figur dakwahnya dengan pemikiran-pemikiran yang berbeda dari Muhammadiyah.
Haedar menerangkan, figur dakwah Muhammadiyah ini termasuk merekonstruksi makna dakwah amar makruf nahi mungkar yang boleh jadi saat ini memaknainya dalam satu dimensi yang bersifat purifikasi atau mungkin bersifat tekstual atau bayani semata.
“Karena konstruksi dakwah amar makruf nahi mungkar yang terbatas, nanti kita akan menghadapi kendala dalam menghadapi arus perubahan zaman yang sangat kompleks ini,” ujar Haedar.
Boleh jadi, menurutnya, konstruksi dakwah itu di masa lalu sesungguhnya tidak lahir dari konstruksi zaman Kiai Dahlan, tapi dalam missing link (bagian yang hilang) dari pergerakan Muhammadiyah yang sampai saat ini susah mencari rujukannya.
Lima Kriteria Fikih Dakwah Muhammadiyah
Maka, lanjut Haedar Nashir, daripada kembali ke masa lampau, lebih baik ke depan merumuskan fikih dakwah Muhammadiyah yang memiliki lima kriteria.
Pertama, menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara terpadu; bukan pendekatan bayani, literal, atau skriptural semata. “Termasuk di dalamnya dari fikih dakwah itu tentang dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Kedua, dikembalikan pada cara dakwah dengan prinsip al-Quran: bil-hikmah wal mauidhatul hasanah wa jadilhum billaty hiya ahsan. “Bisa jadi, apa yang kita praktekkan selama ini tidak langsung merujuk pada tiga cara berdakwah,” katanya.
Ketiga, reorientasi dari istilah “adjuhadlil mu’aradhah ilal juhadlil muwajjahah” dari reorientasi yang selalu reaktif-konfrontatif ke pendekatan muwajjahah (konstruktif, memberi alternatif dan solusi).
Keempat, terintegrasi dengan dakwah kultural dan dakwah komunitas yang sudah dirumuskan sebagai manifestasi dan kebaruan mencerahkan jamaah dan dakwah jamaah.
Kelima, harus merupakan satu kesatuan dengan ‘Islam Berkemajuan’ dan ‘Gerakan Pencerahan’. Reformulasi atau tajdid figur dakwah Muhammadiyah penting menjadi acuan Muhammadiyah ke depan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni