PWMU.CO – Meraih hayatan thayyibatan, kehidupan terbaik, disampaikan Wakil Ketua PWM Jawa Timur Dr Hidayatullah MSi, Senin (19/4/21)
Dalam Kajian Subuh Masjid An-Nur, SIdoarjo, itu Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Hidayatullah MSi menyampaikan, setiap orang menginginkan kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani. Bahkan lebih dari itu, yakni kebahagiaan di dunia ini dan nanti di akhirat. “Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat? “ tanyanya pada para jamaah.
Bahagia dengan Ilmu
Kalau tidak salah, sambungnya, Imam Syafii pernah menyampaikan, untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat itu kunci utamanya adalah dengan ilmu. “Man arada dunya fa’alaihi bil ilmi, barang siapa yang hidupnya ingin bahagia di dunia ini, maka harus dengan ilmu. Waman aradal akhirata fa’alaihi bil ilmi, dan barang siapa yang ingin hidupnya bahagia di akhirat, maka harus dengan ilmu. Waman arada huma fa’alaihi bil ilmi, dan barang siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka harus dengan ilmu,” jelasnya.
Di sinilah, kata dia, posisi ilmu dalam hidup kita ini menjadi sangat penting. Sehingga, di dalam Islam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa menuntut ilmu. “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. Menuntut ilmu itu tidak mengenal batas ruang dan waktu. Dimulai sejak kita di kandungan ibu sampai kita mengakhiri hidup kita ini, utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi,” ujarnya.
Karena posisi ilmu yang sangat penting itulah, sambungya, maka kemudian Allah SWT meninggikan derajat bagi orang-orang yang beriman sekaligus berilmu pengetahuan. “Yarfaillahullazina amanu minkum wallazina utul ilma darajat. Makaorang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT,” tuturnya.
Hidayatullah melanjutkan, salah satu ketinggian derajat itu adalah kemuliaan, kebahagiaan di dunia ini, dan juga kebahagiaan di akhirat. “Itulah sebabnya setiap hari kita ini memohon kepada Allah, berdoa kepada Allah supaya diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap shalat kita membaca Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina ‘adzabannar. Setiap hari kita berdoa seperti itu, bahkan setiap muslim setiap hari berdoa seperti itu,” paparnya.
Empat Kelompok Manusia
Lantas apakah keinginan kita itu pasti kita akan dapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat itu? Di dalam kajian Psikologi Islam, ternyata tidak semua orang bisa sekaligus mendapatkan kebahagiaan lahir batin bahkan kebahagiaan dunia-akhirat.
“Di dalam kajian psikologi Islam, manusia itu dikelompokkan menjadi empat, dalam konteks kebahagiaan. Yang pertama disebut dengan sa’idun fiddunya wa sa’idun fil akhirah, orang yang bahagia di dunia dan juga bahagia di akhirat. Ini yang kita inginkan, seperti doa kita yang disebutkan sebelumnya. Inilah orang yang dalam kondisi terbaik di dunia, sehingga di dalam materi tercukupi, secara ruhani juga tercukupi. Di dunia bahagia, di akhirat bahagia,” jelasnya.
Ada orang yang kedua, kata dia, yakni sa’idun fiddunya wa syaqiyun fil akhirah. Ada orang yang hidupnya di dunia ini bahagia secara lahiriah. Kebutuhan materi berlimpah ruah tidak ada kekurangan sedikitpun, butuh apa saja terpenuhi secara materi. “Tetapi orang ini ternyata tidak bisa memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan serba berkecukupan itu, untuk di jalan Allah, untuk di jalan yang benar,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) ini.
Sehingga, lanjut dia, banyak sekali praktik di kehidupannya ini yang melanggar aturan Allah. “Karena itu orang ini dikatakan tadi, wa syaqiyun fil akhirah, mereka sengsara hidupnya di akhirat. Tentu kita tidak ingin orang seperti ini,” tuturnya.
Susah di Dunia Bahagia di Akhirat
Ada orang yang ketiga, yakni syaqiyun fiddunya wa sa’idun fil akhirah. Orang yang ketiga ini hidupnya di dunia ini tidak banyak mendapatkan kebahagiaan. Bahkan secara materi mungkin susah, sulit sekali. “Hidupnya secara materi tidak pernah mendapatkan kecukupan. Tetapi ruhaninya luar biasa, dia berhasil menghadapi dan menjalani hidup ini, tetap dalam berada dalam tuntunan Allah Ta’ala yang dicontohkan Rasulullah SAW. Semua kesulitan yang ada di hidupnya ini dihadapi dengan penuh kesadaran di hadapan Allah SWT,” ungkapnya.
Kedekatan dia kepada Allah tetap terjaga, kebaikan terhadap manusia juga terjaga dengan baik, walaupun secara materi banyak kekurangan. Tetapi orang ini tetap menjaga kedekatannya dengan Allah, maka secara ruhani dia bahagia.
“Betapa banyak menurut kita orang-orang yang kekurangan harta, tetapi hidupnya kayak sepertinya mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Nah, mungkin di antara kita ada beberapa hal mengalami suasana seperti itu, tetapi ada harapan, di akhirat nanti kita menjadi orang yang bahagia,” pesannya.
Yang keempat, lanjut dia, adalah syaqiyun fiddunya wa syaqiyun fil akhirah. Orang yang hidupnya sengsara, di akhirat juga sengsara. Secara materi susah, secara ruhani sering gelisah. Karena tidak dekat kepada Allah, suka lupa kepada Allah. Tidak pernah berdzikir mengingat Allah. Jasmani susah, ruhani susah. Maka orang seperti ini di akhirat nanti tambah susah.
“Nah tentu kita semua menginginkan naik menjadi orang yang pertama tadi, sa’idun fiddunya wa sa’idun fil akhirah. Ini menjadi orang yang bahagia hidupnya di dunia ini, dan bahagia di akhirat,” jelas Hidayatullah.
Meraih Hayatan Thayyibatan
Bagaimana caranya kita agar bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat itu? Di surat An Nahl surat ke-16 ayat ke-97 Allah berfirman, man ‘amila saaliham min zakarin aw unsaa wa huwa mu’minun falanuhyiyannahuu hayaatan thaiyibatan. “Barangsiapa yang mengerjakan keshalihan, amal shalih, dari golongan laki-laki maupun perempuan, dan dia itu beriman, maka sungguh akan Aku (Allah) berikan kepada mereka itu kehidupan yang terbaik. Menurut ayat ini ada dua syaratnya untuk mendapatkan kehidupan terbaik,” jelasnya.
Satu, kata dia, adalah amalan yang shalih. Kedua amalan yang shalih harus didasarkan kepada iman kepada Allah pasti orang ini dijamin oleh Allah hidupnya di dunia bahagia, falanuhyiyannahuu hayaatan thaiiyibah. Syaratnya dua, yakni amal shalih yang dibangun berdasarkan keimanan kepada Allah.
“Amal shalih itu apa? Amal shalih itu yang bagaimana? Ini penting, supaya kita tidak menganggap sudah banyak melakukan amal shalih ternyata tidak bahagia. Berarti bukan amal shalih. Karena janjinya Allah, siapa yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan, dan amal shalihnya itu didasarkan kepada Allah. Ini yang berbicara Allah tidak mungkin salah, pasti benar,” ujarnya menyampaikan cara meraih hayatan thayyibatan.
Indikator Amal Shalih
Kalau sudah merasa banyak melakukan amal shalih di dunia, kok ternyata hidup di dunia ini tidak bahagia, pasti ada yang salah. “Dulu waktu ikut pengajian di Ustadz Abdurrahim Nur, Allahuyarham, beliau menjelaskan amal shalih itu ada tiga indikatornya,” tutur Hidayatullah.
Pertama, kata dia, amal shalih itu harus baik. Tidak mungkin kita melakukan yang tidak baik untuk mendapatkan kebahagiaan. Apakah cukup hanya baik? Belum. Yang kedua harus benar, sesuai dengan ketentuan syariat. Yang ketiga harus tepat, yang disebut amal shalih itu. “Baik, benar, dan tepat, salah satu dari tiga ini tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut amal shalih,” ungkapnya.
Dia lalu mencontohkan, bahwa orang yang bersedekah itu baik. Tidak ada yang mengatakan bersedekah itu tidak baik. Orang berinfak itu baik, tidak ada yang mengatakan tidak baik. Termasuk juga zakat. “Pertanyaannya adalah apakah bersedekah, berinfak, dan membayar zakat yang sudah baik itu otomatis masuk kategori amal shalih? Nanti dulu,” imbuhnya.
Kita lihat yang kedua, apakah sedekah infak, zakat, sudah dijalankan dengan benar dan tepat. “Kalau saya punya uang, saya sedekahkan pada orang yang kaya, sedekah saya baik, tetapi yang saya kasih tidak tepat, lha wong sudah bergelimang uang kok dikasih uang, tidak tepat. Maka tidak termasuk amal shalih,” ujarnya.
Hati-hati Syirik Kecil
Seseorang bersedekah, tetapi ingin supaya orang lain itu mendukungnya. Misalnya pada masalah politik praktis. “Bersedekah itu baik, tetapi jika ada embel-embel mendukung saya, berarti sedekahnya itu tidak benar. Kenapa? Sedekah yang benar itu ketika tangan kanan memberikan, tangan kiri tidak tahu, dalam hadits disebutkan seperti itu. Karena harusnya mengharap imbalan hanya kepada Allah,” jelasnya.
Semua amalan yang kita lakukan, baik hablu minallah maupun hablu minannas, hubungan kita kepada Allah, shalat, mengaji dst, itu baik. Akan bisa menjadi kategori amal shalih kalau kita lakukan bukan sekadar baik tapi juga harus benar dan tepat.
“Maka ini menjadi refleksi kita bersama bagaimana keseharian kita di dalam memberikan sebuah amalan baik hubungan kepada Allah maupun hubungan kepada sesama manusia itu didasarkan atas kebenaran, kebaikan, dan ketepatan,” terangnya.
Ada satu penyakit, sambungya, yang dikhawatirkan oleh Rasul Muhammad SAW. “Di antara kekhawatiran nabi itu, kadang-kadang masuk ke dalam diri kita. Atau kita alami. Apa itu? Ar-riya’, kata nabi Sungguh aku ini sangat khawatir terhadap kalian semua tentang syirik kecil. Apa syirik kecil itu? Ar-riya’,” ujarnya.
Hidayatullah lalu melanjutkan, orang bersedekah itu baik, karena ingin dipuji jadi riya’. Itu yang dikhawatirkan nabi. “Dan riya itu masuk kategori syirik, meskipun syirik kecil, Allah tidak pernah mengampuni dosa syirik sampai orang itu benar-benar bertaubat. Dan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa selain dosa syirik. Wallahu a’lam,” tutupnya,
Meraih Hayatan Thayyibatan, Begini Caranya. Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.