PWMU.CO – Ramadhan mengasah kecerdasan ruhani dan nalar spiritual orang-orang yang beriman. Mengantarkannya menjadi golongan ulul albab.
Demikian yang disampaikan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Sam’un MAg, dalam Kajian Subuh Masjid An-Nur, Sidoarjo, Selasa (20/4/21).
Sam’un menjelaskan, bulan Ramadhan menjadikan orang-orang tunduk di depan kebesaran Allah. Meskipun, tidak semua orang mengetahui betapa keutamaan dan keistimewaan bulan tersebut. “Meski juga minimnya pemahaman makna bulan Ramadhan, tapi semua berkesempatan merasakan semangat yang sama dengan Ramadhan,” ujarnya.
Menahan Diri dari Kesia-siaan
Maka itu, sambungnya, kita patut bersyukur diberi kemampuan dan kekuatan untuk bisa mengerjakan shiyam. Secara syariat shiyam itu ya tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual dengan istri, dengan suami, mulai subuh sampai maghrib. “Tidak makan mulai subuh sampai maghrib itu berat. Apalagi nanti diingatkan kepada kita, bukan hanya itu loh shiyam itu,” ungkap Sam’un.
Shiyam itu, lanjutnya, bukan hanya menahan dari rafats, tapi juga al-laghwu. Kalau itu diterjemahkan secara sederhana menjadi perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaat dan gunanya.
“Kata Prof Dr Hamka, itu perkataan yang tidak wujud pangkalnya. Nggak jelas yang diomong itu apa, bicara tentang apa tidak jelas, pokoknya asal berkata. Kata orang Jawa disebut nggedabrus, kita menahan diri dari itu,” jelas doktor bidang Studi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Surabaya, tersebut.
Jadi, kata dia, shiyam atau puasa tidak hanya menahan untuk menghina, mencemooh, dan mencaci maki. “Tapi insyaallah dengan karunia Allah, dengan kekuatan yang dikaruniakan oleh Allah, kita bisa menghindari itu-itu semua,” tuturnya.
Sam’un lalu menyampaikan, jika seluruh ibadah shiyam yang dilakukan diberikan balasan oleh Allah dengan luar biasa besar. “Sesuai dengan yang disampaikan oleh Allah, balasannya itu tidak sedikit,” terangnya.
Dengan susah payahnya kita melaksanakan shiyam, maka balasan yang kita terima tidak begitu saja, tapi besar. Dan bisa dikatakan luar biasa besarnya. “Mudah-mudahan puasa kita termasuk puasa yang baik. Puasa yang berkualitas,” harapnya.
Sam’un mengatakan, apa yang dilakukan selama Ramadhan ini merupakan bagian dari pendidikan ruhaniyah. “Ini yang penting, karena sesunggguhnya yang kita lakukan itu proses tazkiyatun nafs, pembersihan jiwa,” ujar dia.
Membersihkan Jiwa
Jika memakai cara atau teorinya para tasawuf, sambungnya, membersihkan jiwa itu kan ada tiga cara. Yang pertama adalah mengeluarkan yang jelek-jelek, yang tidak ma’ruf, yang munkar, dari dalam diri kita. Itu ditumpahkan semua, dikeluarkan.
“Apa saja? Yang munkar-munkar itu yang tidak sejalan dan tidak seirama dengan syariat. Yang fahsya’, tidak makruf, tidak pantas, ndak etis, ndak ada tata kramanya. Semua itu dikeluarkan semua dari ruhaniyah, dari hati kita, dan diisi yang baik-baik,” paparnya.
Maka memang, sambungnya, tidak sedikitpun kita tidak mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadhan ini. “Diisi takbir, diisi tahmid.Takbir juga bukan sekadar takbir kepada Allah, bukan sekadar ucapan Allahuakbar. Tapi lebih dari itu, diisi tasbih, tahlil, karena itu dasar menjalani hidup sebagai orang yang beriman. La ila ha illallah, ada di situ. Bersih jadinya,” jelasnya.
Menurut Sam’un, mengeluarkan yang tidak baik dari dalam diri, menurut ilmu tasawuf disebut takhalli. Lalu ketika kita memasukkan yang baik dari dalam diri kita itu namanya tahalli.
Ramadhan Mengasah Kecerdasan Ruhani
Ramadhan itu kita melakukan proses tersebut, keluar-masuk. Keluar yang jelek, masuk yang bagus, terus begitu seterusnya. Itu namanya tazkiyatun nafs, pembersihan jiwa. Kalau jiwa itu sudah bersih, maka ruhaniyah kita menjadi cerdas. Yang sering disebut dengan kecerdasan nalar spiritualitas.
“Namanya kecerdasan ruhani atau sering disebut dengan spiritual quotient. Selain kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Bahkan bisa ketiga-tiganya diperoleh, ini penting,” kata Sam’un.
Orang cerdas yang begini inilah, sambungnya, ketika kecerdasan dipergunakan untuk memikirkan hidup dan kehidupan ini, insyaallah akan menjadi orang pintar dan mengerti. “Inilah yang dikenal dengan istilah Ulul Albab, yang ada dalam al-Quran itu. Bukan sekadar pinter. Ulul Albab itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tidak ada kata yang bisa merangkum kandungan yang ada dalam kata Ulul Albab,” terangnya.
Tetapi di al-Quran terjemahan sering diterjemahkan dengan orang-orang berpikir. Itu mengantarkan saja supaya kita mengerti. Padahal maknanya lebih dalam dari itu. “Nah, kalau batin orang itu sudah cerdas, insyaallah dzat Allah yang batin bukan hanya diketahuin lewat ayat-ayatNya. Allah itu agung, tidak hanya ayat-ayatnya. Allah itu besar, tidak hanya lewat sifat kesempurnaannya,” urainya.
Tidak hanya lewat asmaul husnanya, apalagi membaca asmaul husna tapi tidak dekat dengan Allah hatinya, tidak begitu. Tapi Allah itu bisa disaksikan dengan kecerdasan batinnya. Allah itu bisa dilihat, meskipun, seakan-akan. “Sehingga ketika orang mengadakan komunikasi dengan Allah seperti shalat ini tadi, yang dinikmati tadi, kita seperti berhadap-hadapan dengan Allah,” tambahnya.
Sam’un menjelaskan, dalam bacaan iftitah itu kan ada wajahtu wajhiya, aku hadapkan wajahku pada wajahmu Allah. “Lho berhadap-hadapan masa nggak bisa melihat? Itu artinya apa, kecerdasan kita kurang, dan ramadhan itu bisa mengantarkan sampai pada tingkat itu. Seakan-akan dipersaksikan, meskipun terbatas penglihatan kita itu, tapi kan ada mata hati kita, maka di sinilah pentingnya kecerdasan ruhani itu,” ujarnya.
Menyaksikan Allah dengan Kecerdasan Ruhani
Ketika orang mampu merasakan kehadiran Allah itulah, yang dikenal dengan wajahnya tersingkap keghaiban Allah itu. “Meskipun dzat Allah tidak dapat disaksikan oleh mata, tapi bisa dilihat, disaksikan, dirasakan kehadirannya itu oleh hati, melihatnya seakan-akan. Seperti firman Allah dalam al-Quran: ‘fakasyafna `anka ghithaa aka fabasharukal yauma hadid’, aku singkap, aku buka, tabir-tabir yang menutupi penglihatanmu, sekarang pandangan, penglihatanmu menjadi jelas,” tutur Sam’un menyitir ayat ke 22 pada Surat Qaf.
Inilah, menurutnya, yang sering disebut dengan tasawuf. Yakni mampu menyingkap tabir-tabir keghaiban yang tidak dapat disaksikan oleh mata kepala. “Inilah orang-orang yang mampu menangkap makna dari berbagai fenomena kehidupan ini,” jelas anggota Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sepanjang tersebut.
Menurut Sam’un orang yang demikian memperoleh banyak arti tentang kehidupan ini. Dibalik yang tidak tampak, banyak arti yang perlu untuk kita ketahui. “Dalam pengertian memang tidak selalu berhubungan dengan yang tampak-tampak, namun juga berhubungan dengan yang lain. Di sinilah pentingnya kecerdasan ruhani, atau sering dikenal dengan ulul albab,” tutupnya.
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.