
Pengkhianatan terhadap Republik oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO-Para negarawan pendiri bangsa ini bersepakat memilih republik. Bukan monarki atau pun teokrasi bagi bangsa yang sangat majemuk ini. Kedaulatan tidak di tangan raja atau Tuhan. Tapi di tangan rakyat. Bukan dari suku atau agama tertentu.
Mereka bersepakat bahwa salah satu dasar republik itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa karena jati diri bangsa ini memang bertuhan. Kedaulatan rakyat itu hendaknya dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Kemudian hanya dengan menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, dan persatuan dari berbagai suku yang berbeda-beda itu bangsa ini bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Sejak era reformasi, telah terjadi upaya pengkhianatan terhadap republik hasil kesepakatan para pendiri bangsa itu. Pengkhianatan ini makin terbuka selama lima tahun terakhir ini. Kelima dasar Republik Indonesia itu diruntuhkan secara terstruktur, sistemik dan masif melalui proses rekrutmen politik, legislasi, dan semburan kebohongan.
Jika republik berarti urusan publik, maka selama lima tahun terakhir ini telah terjadi salah urus kepentingan publik yang makin nyata. Maladministrasi publik ini terus terjadi di mana berbagai regulasi dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite partai politik dan korporasi.
Setelah dijadikan jongos ekonomi, publik justru dijadikan jongos politik melalui sebuah proses yang dengan bangga disebut demokrasi yang kredibilitasnya pun diragukan.
Maladministrasi publik dimulai sejak data publik pemilih amburadul yang memungkinkan jual beli suara oleh para kontestan Pemilu dengan penyelenggara Pemilu dengan nilai transaksi yang makin tinggi.
Terjadilah miskrekrutmen pejabat-pejabat publik. Lalu korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terjadi di mana-mana. Para pejabat publik mestinya menerapkan standar etika tinggi, tapi saat etika diabaikan maka maladministrasi publik terjadi in optima forma.
Value of Monkey
Pejabat publik dan birokrasi pendukungnya yang bersih, kompeten dan amanah adalah pilar utama pengurusan kepentingan publik dalam sebuah republik. Setiap investasi publik hanya value for money bila memenuhi dua syarat : birokrasi yang bersih, dan operator pelaksana (pendidikan, kesehatan, keamanan dll) kompeten dan amanah.
Jika kedua syarat ini tidak dipenuhi maka investasi publik itu hanya value for monkey. Jikapun value for money maka ini terjadi secara diskriminatif, terutama bagi yang mampu menyuap.
Dalam republik sejati, jangankan pemilihan pejabat publik, rekrutmen birokrasi pun dilakukan dengan ketat dan dipersiapkan oleh lembaga pendidikan yang menerapkan standar yang tinggi. Tidak sekadar kecakapan teknis, tapi karakter dan sikap pelayanan publik menjadi kriteria terpenting rekrutmen.
Bersih dari korupsi dan suap dimulai sejak rekrutmen. Jika birokrasi dan pejabat publik direkrut melalui proses yang curang, koruptif, nepotis, tidak mengindahkan asas-asas meritokrasi, maka semua lini urusan publik rusak. Tidak cuma yang bersifat pelayanan, bahkan BUMN/D pun menjadi tempat bancakan dan bagi-bagi kursi.
Gejala pengingkaran amanah reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kini makin jelas. Jika Pancasila dalam Pembukaan UUD1945 sebagai dasar bagi negara ini telah ditafsirkan sesuai selera para elite parpol dan korporasi, apalagi republik.
Rezim ini makin otoriter dengan membuang prinsip-prinsip republik. Dua model republik yang dicontoh selama ini gagal mewujudkan Republik Rakyat China maupun Republik AS. Kedua model ini terbukti cuma imperium seperti Roma dahulu. Diskriminasi ras dan ketimpangan sosial mendera ke dua imperium itu saat ini.
Pada saat wacana presiden tiga periode menguat, mungkin ada niat meniru Kaisar Xi Jin Ping sebagai presiden seumur hidup.
Apakah kita masih berharap seperti harapan Kaisar Marcus Aurelius pada Maximus sang Jenderal Gladiator agar Roma menjadi republik ? Atau kita ucapkan Selamat Tinggal Republik? (*)
Editor Sugeng Purwanto