PWMU.CO – Kepeloporan Perempuan pada Isu Lingkungan, Pembangunan, dan Pangan disampaikan Prof Dr M Habib Chirzin bahas dalam Podcast Green Ramadhan, Sabtu (24/4/21) sore.
Kajian Ramadhan yang membahas Ramadhan ramah lingkungan ini diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berkolaborasi dengan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, dan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah.
Dalam kajian ini, hadir pula Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB PP Aisyiyah Hening Parlan dan Ketua LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Dra Hj Nurni Akma. Mereka mendiskusikan tema “Kepeloporan Perempuan dalam Menyelamatkan Bumi”.
Majalah Pertama Angkat Lingkungan
Habib Chirzin menyatakan, tema diskusi ini menarik, seperti yang majalah Suara Aisyiyah edisi terbaru—Nomor 4 April—angkat juga. Lantas, dia ingat temuan seorang sahabat pegiat lingkungannya. “Majalah Indonesia pertama yang mengangkat isu lingkungan hidup adalah Suara Aisyiyah,” tuturnya.
Dia juga menyatakan sangat mendukung tulisan Hening Parlan di Suara Aisyiyah tentang Green Aisyiyah, Green School, dan Green Pesantren. Pada tahun 1972 silam, Habib menyatakan pernah menulis artikel juga pada majalah itu tentang polusi air dan udara.
Habib Chirzin—pakar dari The International Institute of Islamic Thought (IIIT) selaku Koordinator South East Asia Forum on Islamic Epistimology and Education Reform—mengungkap alasan mereka mengangkat isu menyelamatkan bumi.
“Tanggal 22 April baru saja memperingati Hari Bumi karena kerentanan bumi yang sangat indah dan resourceful (penuh sumber daya) dirusak justru oleh tangan manusia,” jelasnya.
Dia juga menerangkan alasan mengangkat isu kepeloporan perempuan, di mana isu lingkungan hidup internasional itu sejalan dengan isu gender justice (keadilan gender) perempuan.
“Jadi eco ethics (etika lingkungan), feminism and gender justice atau ethic and justice (etika dan keadilan) untuk perempuan, serta eco development (etika pembangunan lingkungan) berjalan bersamaan,” terang dia.
Maka, lanjut Habib, diskusi ini tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh perempuan yang memperjuangkan gender equality (kesetaraan gender) dan gender justice (keadilan gender).
Para Perempuan Pelopor
Prof Habib—sapaan BPH Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah itu—menyebut beberapa nama tokoh ekologi perempuan dan kiprahnya dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Misalnya, Vandana Shiva, seorang penulis dan aktivis lingkungan hidup. Dia juga menyebut Kamla Bhasin, dari India juga, yang aktif di Food and Agriculture Organization (FAO)—di bidang pertanian dan pangan—dan tokoh ekologi.
Dia menceritakan pengalamannya saat bertemu mereka dalam Eco Development Conference di Washington DC. Saat itu mereka menyajikan alternatif untuk pendekatan pembangunan dari World Bank dan International Monetary Fund (IMF).
Sebab, kedua organisasi dunia itu punya program besar di lingkungan hidup, tapi menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti program green revolution (revolusi hijau) yang justru menghilangkan dan menghapus keanekaragaman hayati dan merusak lingkungan hidup.
Habib, bersama Vandana Shiva dan Direktur Food First Walden Bello, juga pernah mengadakan pertemuan untuk membahas bagaimana menata lingkungan hidup dan memberi keadilan (eco justice).
Untuk tokoh perempuan asal Indonesia, Habib menyebut nama Erna Witoelar pendiri Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Organisasi ini memberi perhatian khusus pada lingkungan hidup. Selain itu, Indonesia punya aktivis perempuan Sandrayati Moniaga dari Komnas HAM yang khusus menangani keanekaragaman hayati. Dari Indonesia timur, ada Agustinus Rumansara.
Prof Habib juga menyebut tokoh internasional perempuan dari PCIA (Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah) Amerika, Nana Firman, yang pernah dapat penghargaan excellent dari Al Gore di bidang lingkungan hidup dan climate change (perubahan iklim).
Dia menjadi steering committee the First International Muslim Conference on Climate Actions. Dia juga pernah jadi fellow untuk Green Economy. Habib juga bertemu Nana Firman di Islamic Society of North America (ISNA).
Padukan Isu Lingkungan, Pembangunan, dan Pangan
Habib mengaku banyak belajar dari tokoh perempuan. Kamla Bhasin misalnya, seorang Tokoh The Transnational Institute (TNI) di Den Haag, yaitu lembaga yang khusus mengamati bagaimana industri pangan di dunia merusak dan membuat sebagian dunia kelaparan dan sebagiannya lagi kekenyangan.
Dia kemudian mengenalkan buku populer tahun 70-an: The Other of Dies (sebagian besar penduduknya mati karena kurang pangan).
Habib menceritakan pengalamannya saat mengikuti kegiatan Greenpeace. “Ada gerakan Greenpeace yang melakukan advokasi dan penyadaran. Ada juga yang menyerang para perusak lingkungan. Misal yang membunuh binatang-binatang biota laut,” jelasnya.
Dari pengalaman Habib bergaul dengan mereka, diketahui mereka memadukan isu lingkungan, pembangunan, dan pangan. Dia pun ingat pengalamannya saat tergabung dalam gerakan penelitian perdamaian—IPRA (International Peace Research Association)—di mana justru pertama-tama fokus pada gerakan policy (kebijakan) pangan.
Menurut Habib, pembangunan ini memang memberikan kenyamanan, happiness (kebahagiaan), wellbeing (kesejahteraan); tapi juga merusak lingkungan. Akibatnya, sumber daya dan energi semakin langka.
Sumber gizi dan nutrisi yang ada di teritorial desa itu diserobot perkotaan. Akibatnya muncul kemiskinan dan kelaparan. Malnutrisi di pedesaan, sementara yang di kota berlebihan. “Itulah yang disebut The Other Dies,” ucapnya.
Gross National Happpiness
Habib menerangkan, setelah perang dingin berakhir dan tembok Berlin runtuh, terjadi perubahan yang masif di bidang lingkungan hidup. “Setelah perang dingin, tema tentang human security makin meningkat karena perubahan isu perdamaian, perempuan, dan keamanan,” kata dia.
Sebelum perang dingin, tambahnya, ada ancaman invasi dari negara lain. Tapi setelahnya ada ancaman dari dalam, termasuk isu lingkungan hidup, kemiskinan, dan masalah pembuangan sampah yang berbahaya. “Jadi, persoalan perdamaian bergeser dari masalah invansi militer ke internal,” ringkasnya.
“Jika melihat kerusakan lingkungan karena banjir dan longsor, berapa banyak manusia yang mengungsi? Meski tidak ada perang, tetap ada pengungsi!” tegas dia.
Begitu pula akibat limbah beracun. “Berapa banyak orang yang sakit sampai cacat? Tidak ada perang, tapi ada ketidakdamaian,” katanya.
Jadi, menurut Habib, lawan dari peace (damai) tidak lagi war (perang), tapi peacelessness (ketidakdamaian). “Tidak ada perang, tapi anak-anak lahir lalu meninggal dunia sebelum ulang tahun pertama!” terangnya.
Akibatnya, tingkat kematian anak, ibu hamil dan melahirkan karena kekurangan nutrisi masih tinggi di Indonesia. Adapula fenomena di Jepang, dimana merkuri dari perusahaan menyebabkan kerusakan lingkungan sampai membuat bayi-bayi meninggal, bahkan anak dalam kandungan cacat.
Saat ini, ungkap Habib, isu Gross National Happpiness (Kebahagiaan Nasional Bruto) mengambil alih isu Gross National Product (pencapaian pertumbuhan dalam pembangunan).
“Karena pembangunan ini telah merusak lingkungan, over exploitation. Tanah menjadi sangat kering, miskin, dan lapar. Tanah bisa kelaparan dan kehausan,” jelasnya.
Habib menerangkan, Thailand, Kanada, Jepang, dan New Zealand sudah memulai gerakan Gross National Happiness itu, di mana yang mereka kejar tidak lagi pertumbuhan, tapi wellbeing (kesejahteraan) dan happiness (kebahagiaan). (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni