PWMU.CO – Cara Ganti Utang Puasa Ibu Hamil dan Menyusui yang memiliki rukhsah (kemudahan) tidak berpuasa dibahas Lailatis Syarifah Lc MA, Senin (26/4/21).
Latis, panggilan akrabnya, aktif di Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Latis menyampaikannya pada kajian Ramadhan Sehat dan Aman. Yaitu kajian virtual spesial Ramadhan bersama PP Muhammadiyah, persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Lazismu, dan Wardah..
Dia mengungkap, sebelum ada putusan Tarjih, ada beragam pendapat dari beberapa mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi’i mengatakan, ibu hamil dan menyusui mengganti puasa sesuai dengan alasannya meninggalkan puasa.
Misal, jika karena khawatir janinnya kekurangan nutrisi, maka dia terkena dua keringanan, qadha (mengganti) dan fidyah. Sedangkan, jika karena khawatir terhadap dirinya sendiri, maka melakukan qadha saja.
Latis juga memaparkan pandangan mazhab lainnya. Kalau menurut Imam Abu Hanifah, cukup qadha saja. Dan menurut Imam Malik: ibu hamil cukup qadha, ibu menyusui qadha dan fidyah.
Bagaimana Majelis Tarjih Muhammadiyah Memutuskan?
Latis menyebutkan keputusan Majelis Tarjih mengacu pada dalil umum, yaitu dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 184: “Yang memiliki ketidakmampuan atau berat bagi mereka untuk berpuasa, maka baginya membayar fidyah.”
Kemudian, lanjutnya, mengacu pada dalil khusus untuk memperkuat, dari Ibnu Abbas diriwayatkan, “Menyatakan kepada hamba sahayanya, ‘kamu seperti orang yang berat menjalankan puasa, maka kamu mebayar fidyah saja, tidak perlu meng-qadha‘.”
Latis menekankan, berdasarkan putusan Majelis Tarjih, bagi ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah, tidak perlu meng-qadha. “Ini sudah sesuai nilai ajaran Islam yang memudahkan,” ujar ibu dari seorang putra itu.
Sebagaimana firman Allah, ”Yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bi kumul ‘usra“. Maksudnya, Allah ingin kemudahan buat hamba-Nya.
Sesuai dengan prinsip dasar Islam juga, puasa itu untuk maslahat, tidak untuk madharat. “Ibu hamil dan menyusui sudah tidak berpuasa, (misal) harus mengganti, juga membayar fidyah, belum lagi jika tahun depan juga hamil dan menyusui, sehingga memberatkan dan tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam,” terang dia.
Selain itu, mengacu pula pada nilai ajaran Islam yang wasathiyah, yaitu seimbang antara dunia dan akhirat.
Mengapa Islam Memberi Keringanan?
Dalam al-Quran, hamil dan menyusui dikatakan wahnan ‘ala wahnin (sangat berat). Karena ibu hamil dan menyusui mengalami beban, bukan hanya secara fisik tapi juga psikologi.
Dosen UIN Sunan Kalijaga ini menerangkan, ketika bayi baru lahir, ibu mengalami perubahan luar biasa, muncul sindrom-sindrom baru. Belum lagi harus menyesuaikan diri dengan situasi kelahiran anak dan berdamai dengan dirinya sendiri.
“Yang biasanya bisa bebas, tapi kini harus mendahulukan anak dibanding dirinya sendiri,” ucapnya.
Sebenarnya, lanjutnya, ibu hamil dan menyusui memungkinkan berpuasa. “Yang penting kita bertanya kepada ahlinya, jadi ia cukup membayar fidyah, tidak perlu meng-qadha.”
Sasaran dan Jumlah Fidyah
Latis menjelaskan, kalau dalam al-Quran, fidyah diberikan kepada orang-orang miskin. Yaitu mereka yang punya pekerjaan, tapi penghasilannya tidak mampu mencukupi semua kebutuhannya.
Misal, yang pekerjaannya tidak tetap atau bisa dengan melihat tetangga mana yang paling tidak berlebih hartanya. “Kalau tetangga dan miskin, maka dia punya dua hak untuk diberi; kalau saudara, tetangga, dan miskin, maka dia punya tiga hak: sebagai saudara, sebagai tetangga, dan sebagai orang miskin,” jelasnya.
Untuk jumlah yang diberikan, dalam hadits dinyatakan satu mud atau sekitar enam ons. Kalau pada masa lalu ukurannya gandum, yaitu makanan pokok atau apa yang dimakan oleh pembayar fidyah.
Ada pendapat beberapa ulama juga yang mengatakan besarnya satu sha’, seperti zakat fitri, yaitu 2,5 atau 2,8 kilogram.
Dari beberapa pendapat tadi, Latis mengungkap, menunjukkan kalau Islam tidak membatasi, tapi justru memberikan keleluasaan bagi ibu hamil dan menyusui yang tidak bisa berpuasa. “Sehingga, membayar fidyah paling sedikit enam ons makanan pokok yang dimakan,” kata dia.
Biasanya kalau di fatwa Lajnah, jumlahnya paling tidak setara dengan dua kali makan. “Jadi satu kali tidak berpuasa, kita ganti dengan memberi makan orang miskin sebanyak dua kali makan, atau paling sedikit enam ons,” jelasnya.
Bisa Mencicil
Latis menegaskan, jika dalam sehari dia tiga, dua, atau sekali makan; sebanyak itu pula jumlah fidyah yang dia berikan.
Pemberiannya bisa dengan mencicil harian, satu hari untuk seorang miskin. Atau sekaligus dikali jumlah total hari dia tidak berpuasa. Misal, dikali 29 hari tidak berpuasa lalu diserahkan langsung ke seseorang yang miskin. Bisa juga dengan mengajak 29 orang makan bersama dalam satu hari.
Adapun bentuk makanan pokok yang diberikan bisa matang, mentah, atau uang sejumlah sesuai kemampuan orang yang tidak berpuasa, seperti apa yang dia makan sehari-hari. “Jadi boleh beras dan lauk-pauknya, berasnya saja, atau yang sudah dimasak,” terang Latis.
Tapi menurut fatwa, yang lebih maslahah sekarang dalam bentuk uang. “Karena yang tau apa yang bisa dan enak dimakan adalah yang diberi, jadi uang lebih bermanfaat untuk mereka,” tuturnya. (*)
Cara Ganti Utang Puasa Ibu Hamil dan Menyusui: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni