PWMU.CO – Penyandang Disabilitas pun Ingin Pahala 27 Derajat. Sementara banyak masjid atau mushala, juga tempat publik lainnya belum ramah mereka. Hal itu mengemuka dalam acara Ngopi Bareng Den Budi bersama Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Selasa (28/4/21).
Saat memperkenalkan salah satu nara sumbernya di acara ngopi virtual malam itu, seperti biasa, Den Budi melontarkan canda, “Namanya diabadikan jadi grup band… Dewa.”
“Nama saya memang dikenalnya di Muhammadiyah itu sebagai Dewa, tapi bukan Dewa-19 ya, Dewa Muhammadiyah,” jawab Dedi Warman sambil tertawa.
Dia adalah Wakil Sekretaris Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Jika pria ini kelahiran Sumatera Barat, rekannya yang juga hadir sebagai nara sumber malam itu, Fajri Hidayatullah, berasal dari Sumatera Selatan.
Mengetahui ini, pemandu acara Den Budi alias Budi Santoso itu melontarkan canda. “Kerasa banget ini suaranya berbau pempek,” candanya mencairkan suasana yang disambut gelak tawa para nara sumber.
Lahirnya MPS dan Isu Disabilitas
Dewa menyatakan, Majelis Pelayanan Sosial (MPS), sesuai amanat Muktamar 2010 di Yogyakarta. Saat itu masuk masa renaissance-nya. Jadi pada tahun 2010 itu MPS hadir kembali.
Pasalnya, pada tahun 2000-2010, selama sepuluh tahun, MPS tidak ada di nomenklaturnya. “Aktivitasnya tetap ada, tapi dilebur di Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM),” terangnya.
Sesuai namanya, Dewa mengungkap, MPS memang melayani di bidang sosial. Lalu dia memaparkan tiga fokus isu utama MPS saat ini. Pertama, untuk pengasuhan dan perlindungan anak. Kedua, pelayanan lansia. Ketiga, pelayanan disabilitas.
Dewa menyadari, MPS terlambat menjangkau isu disabilitas. Meskipun, mereka sejak lama bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan disabilitas dan pendidikan. “Kita sudah punya SLB (dan) panti, baik yang dikelola Muhammadiyah maupun Aisyiyah,” kata dia.
Selain tiga isu utama itu, MPS juga melayani masyarakat-masyarakat terpinggirkan, di wilayah terpencil dan fakir miskin.
Dewa, sebelumnya fokus menangani isu pengasuhan dan perlindungan anak, kini dia fokus menangani isu disabilitas.
Di tengah Dewa menyampaikan materinya, Den Budi kembali melontarkan canda. “Jadi kalau penyandang disabilitas aja diasuh, apalagi calon istrinya, eh udah ding,” ujarnya diikuti tawa lainnya.
Fajri, Aktivis Disabilitas
Kemudian dia mengenalkan Fajri Hidayatullah SIP, aktivis penyandang disabilitas sejak enam tahun silam (2015). Saat itu dia masih menjadi mahasiswa S1 di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Fajri aktif di organisasi Persatuan Tunanetara. Saat ini dia sedang melanjutkan kuliah S2 di UMJ. Dia juga penggagas Dissability Community Center (DCC). Fajri, seorang kader Muhammadiyah, juga pengurus Majelis Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah.
“Mas Fajri squad kita, tim saya. Kalau kita bicara tentang disabilitas, kita nggak boleh meninggalkan teman-teman penyandang disabilitas. Harus ada mereka ikut. Jadi terdengar apa yang kita sampaikan,” jelasnya.
Inilah, menurutnya, cara penghormatan kepada mereka. “Ke depan, gerakan untuk penyandang disabilitas mesti melibatkan penyandang disabilitas. Sesuai amanat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas,” tuturnya.
PR Pemerintah di Isu Disabilitas
Menurut Fajri, proses kebijakan publik untuk penyandang disabilitas secara umum di Indonesia belum mengakomodasi semua, meski pemerintah sudah cukup peduli. “Tapi pemerintah sudah bisa dikatakan melek terhadap isu disabilitas,” komentarnya.
Hal ini tampak dari bagaimana pemerintah memperingati Hari Disabilitas Internasional setiap tahunnya. Hanya saja, menurut Fajri, teman-teman disabilitas di pelosok banyak yang belum merasakan kebijakan publik yang pemerintah keluarkan.
“Karena implementor biasanya tidak memahami instruksi top-down, sehingga teman-teman kurang merasakan sisi perlindungan sosial dan lainnya,” jelas Fajri.
Dewa menambahkan, pada tahun 2018, di mana pemda sudah mulai meningkatkan pelayanan ramah disabilitas, PMS mengadakan aksi bersama teman-teman disabilitas dan Pemuda Muhammadiyah. “Kita mencoba aksesibilitas sarana-prasarana publik,” ungkapnya.
Inilah bentuk advokasi PMS berupa uji coba langsung apakah fasilitas dari pemerintah sesuai kebutuhan teman-teman disabilitas. “Ini bentuk perlindungan kita, diantaranya mengayomi dan menguatkan hak-hak teman-teman penyandang disabilitas,” ujar Dewa.
Muhammadiyah Ramah Disabilitas?
Dewa lanjut bercerita. Pada 2018, mereka juga menguji aksesibilitas di gedung-gedung Muhammadiyah yang ternyata belum ramah disabilitas. “Punya lift, tapi belum ada akses kursi roda dan sign (tanda) yang bisa diakses teman-teman disabilitas,” kata dia.
Dewa salut pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Mahasiswanya sudah banyak dari disabilitas, mereka sudah berkomitmen menjadi universitas ramah disabilitas, walau masih banyak kekurangan tapi berani memulai,” pujinya.
Dewa berharap, unit-unit amal usaha Muhammadiyah ke depan ramah disabilitas. “Kita berharap disambut pimpinan wilayah, daerah, ortom, dan majelis lembaga lain,” ucap dia.
Dewa menegaskan, meski isunya jadi aksi MPS, tapi semua majelis mestinya ramah disabilitas, khususnya yang melayani publik. Misalnya, Majelis Dikdasmen, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU), dan Majelis Tabligh.
Sebab, dia mengungkap saat ini masjid dan mushala Muhammadiyah banyak yang belum ramah disabilitas. “Supaya amalnya sama-sama, jangan cuma kita yang non-disabilitas dapat 27derajatnya,” katanya.
Dewa mengungkap, di tingkat nasional banyak menggagas pilot project. Di situasi pandemi ini, MPS mengadakan pilot project Gerakan Ekonomi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas yang bekerja sama dengan Lazismu.
Mereka juga berencana membuat program terstruktur sesuai amanat Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah bidang Sosial tahun 2021. Yaitu membentuk Muhammadiyah Disability Center: pelayanan untuk penyandang disabilitas berbasis masyarakat, komunitas, dan institusi.
Prioritas Advokasi Penyandang Disabilitas
Fajri menyatakan, dalam advokasi hak-hak disabilitas, perlu berkiblat pada UU Nomor 8 Tahun 2016. Terdiri dari 13 bab dan 153 pasal yang sudah mengatur semua harapan disabilitas.
Selain itu, di Peraturan Pemerintah Tahun 2019, ada Rencana Strategis (Resta) kontribusi pembangunan penyandang disabilitas ke depan. Ada tujuh poin, tiga diantaranya yang penting yaitu hak kesehatan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
“Yang paling dibutuhkan saat ini yaitu akses kesehatan, sulitnya penerapan protkes itu berdampak pada ekonomi teman-teman tuna netra,” ungkap Fajri.
Dia mengajak membayangkan, bagaiman jika rekannya yang berprofesi pemijat harus menggunakan APD lengkap. “Kalau pijatnya pakai sarung tangan, pasiennya tidak akan kerasa, ini kendala juga,” ujarnya.
Yang menjadi kendala juga, tambahnya, adalah menghadapi hukum. Misal teman-teman tuna rungu dan tuli tidak mendapatkan hak aksesibilitasnya selama pengadilan dan pendampingan. “Kalau belum menguasai bahasa isyarat, memakai masker, maka mereka tidak bisa membaca gerak bibir,” tuturnya.
Sedangkan kalau di Muhammadiyah, Fajri yakin atas pengamalan al-Maun terakomodasi dengan baik. “Bagaimana disabilitas bisa berekspresi, akhlaknya juga ditempa dengan baik,” kata Mahasiswa Kebijakan Publik UMJ ini.
Jadi, lanjutnya, Muhammadiyah saat ini dan ke depan akan tumbuh bersama teman-teman disabilitas. “Tetangga kita, Nadlatul Ulama, ada Gus Dur. Insyaallah ke depan, tokoh Muhammadiyah ada saya nanti!” tegas Fajri optimis.
Ke depan, Fajri berharap, Muhammadiyah jadi lokomotif yang menarik gerbong, dimana gerbongnya juga berisi penyandang disabilitas. Masjid, harapannya bisa aksesibel. Begitu pula dengan fasilitas lain yang didukung Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009.
“Dengan payung hukum yang sudah terbit, tentu tidak ada alasan lagi bagi pemerintah dan tokoh-tokoh Muhammadiyah tidak mengamalkan al-Maun yang sudah di-tadabbur-kan Kiai Ahmad Dahlan
Dan bagi teman-teman disabilitas, lanjut Fajri, bukan alasan lagi kedisabilitasan tidak bisa melakukan apapun. “Apabila semua sudah aksesibel, tentu kedisabilitasan itu teratasi dengan baik,” ujarnya (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni