PWMU.CO– Surat al Qadar termasuk surat pendek. Hanya enam ayat. Tapi tafsir sejarahnya terus menimbulkan perdebatan. Misalnya, ada yang menyebut surat ini Makkiyah. Tapi ada juga yang berkata surat Madaniyah.
Apalagi ketika memahami ayat pertama, inna anzalnaahu fii lailatul qadar. Artinya, sesungguhnya kami (Allah) menurunkannya (al-Quran) di malam qadar. Semua ulama sepakat lailatul qadar terjadi di bulan Ramadhan berdasarkan keterangan al-Baqarah: 185.
Tafsir Jalalain menerangkan al-Quran diturunkan Allah melalui malaikat Jibril sekaligus dari lauhil mahfuzh ke langit dunia. Tafsiran ini merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir dengan penjelasannya: dari lauhil mahfuzh kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan tafsir itu, berarti ayat-ayat al-Quran yang sudah turun dan tersusun dari lauhil mahfuzh sudah mengantisipasi berbagai peristiwa yang bakal terjadi selama masa kenabian. Namun pandangan lain berpendapat Allah menurunkan wahyu al-Quran sesuai peristiwa yang menyertainya atau asbabun-nuzul.
Membahas masalah ini maka masuk ke pembahasan takdir yang juga terdapat dikotomi jabariyah dan qadariyah. Jabariyah meyakini semua kehidupan diatur sepenuhnya oleh Allah dan manusia tinggal menjalankan. Semua taksir manusia sudahtertulis di lauhil mahfuzh. Sementara qadariyah berpendapat kehidupan manusia digerakkan oleh kehendak manusia sendiri dengan mengikuti sunat (aturan) Allah.
Tafsiran yang juga agak susah dipahami adalah wahyu pertama yang diterima Nabi terdiri lima ayat di awal surat al-Alaq diturunkan pada 17 Ramadhan di Mekkah. Peristiwa turunnya wahyu itulah populer dengan sebutan nuzulul quran. Penetapan tanggal itu berdasarkan tafsiran al-Anfal : 41.
Namun dalam hadits, Nabi menganjurkan mencari lailatur qadar justru pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Lebih khusus lagi malam ganjil yakni tanggal 21, 23, 25, 27, 29. Kenapa tidak malam 17 Ramadhan sebagai berkah lailatul qadar?
Bila mengikuti perdebatan tanggal turunnya al-Quran masih banyak sumber lain yang menyebutkan jatuh pada 18, 21, 24, atau 27 Ramadhan. Lantas bagaimana menyikapi perbedaan ini demi keyakinan pada mencari berkah lailatul qadar?
Dibantu Malaikat
Pengasuh Pondok Tahfidh Serang Banten KH Sachroji Bisri menjelaskan, abaikan perbedaan tanggal turunnya wahyu. Dari surat al Qadar dapat ditarik pelajaran cara merancang strategi kehidupan dalam jangka waktu tertentu. Bisa jangka pendek setahun, lima tahun, atau jangka menengah sepuluh tahun atau jangka panjang 25 tahun.
”Lailatul qadar itu malam istimewa di mana dunia menjadi sempit karena semua malaikat dan ruh turun membantu urusan manusia mencapai salaamun hiya hatta matla’il fajr,” ujar Bang Oji, sapaan Sachrodji Bisri dalam Kajian Tafsir al-Quran Berdasarkan Turunnya Wahyu dengan Pendekatan Strategi Taktik.
Dia menjelaskan, makna lailatur qadri khoirummin alfi syahr bahwa satu malam jika strategi direncanakan dengan cermat maka hasilnya sama dengan capaian seribu bulan yakni 84 tahun. Allah memberi kemudahan hidup manusia di malam itu.
Kemudahan itu terjadi, sambungnya, karena tanazalul malaaikatu war-ruhu fiiha bi idzni robbihim min kulli amr. Diturunkan malaikat dan ruh di dalamnya dengan izin Tuhan untuk membantu urusan manusia.
”Semua urusan manusia dibantu malaikat sehingga menjadi lancar dan sukses. Maka di malam Ramadhan ini manusia harus berusaha mendekati dunia malaikat agar mendapat bantuannya. Caranya dengan penyucian diri lewat shalat, dzikir, tadarus untuk menembus dimensi malaikat,” tuturnya soal tafsir surat al Qadar.
Jika manusia mencapai usaha itu, dia menjelaskan, maka dia mendapatkan salaamun hiya hatta matla’il fajr. Keselamatan, kedamaian hingga terbit fajar. Jadi ciri orang mendapatkan lailatul qadar adalah hidupnya tenang karena semua rencana yang disusun sukses. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto