PWMU.CO – Islam Berkembang Pesat di Eropa karena Empat Hal Ini. Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Hongaria, Hazim Hamid, mengungkapkan fenomena dan tantangan Islam di Eropa pada Kajian Ramadhan, Sabtu (1/4/21).
Dalam sambutannya, ia mengajak para peserta bersyukur bisa ber-muwajahah (tatap muka) dalam media Zoom Clouds Meeting siang itu, 11.00 Central European Summer Time (CEST) atau 16.00 WIB.
Hazim Hamid menyatakan, di usia PCIM Hongaria yang masih belia—baru menginjak 23 hari 9 bulan—telah mencoba mempromosikan nilai-nilai Islam. Di mana nilai-nilai itu telah dipegang dan diyakini, untuk kemudian bisa didiseminasikan ke negara lainnya.
Dia mengatakan, tak tanggung-tanggung, yang menjadi peserta tidak hanya anggota PCIM Hongaria, tapi juga rekan-rekan dari PCIM Perancis, Turki, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Rusia. Dia berharap, webinar ini menjadi ruang diskusi yang menarik.
Kronologis Muslim Meningkat di Eropa
Hazim menggambarkan fenomena Muslim di Eropa yang kini sudah tidak asing lagi. Setiap tahun, secara kuantitatif grafiknya terus meningkat. Pada satu sisi, peningkatan ini menurutnya menjadi kabar yang menggembirakan. Di sisi lain, menjadi tantangan.
Hadirnya umat Muslim di Eropa, lanjutnya, secara kronologis dan historis memiliki beberapa aspek yang perlu dicermati. Pertama, berakhirnya komunisme yang jadi pintu gerbang umat Islam masuk ke negara-negara Eropa. Menurut Hazim, dampaknya sangat luar biasa.
Lantas dia membagikan hasil telaahnya pada beberapa artikel hasil riset dan membaca sebuah buku. Ada yang menggambarkan gerakan perubahan ideologi agama dari komunis menjadi Islam tanpa dasar keyakinan Islam agama yang terbaik.
Saat tembok Berlin runtuh, lanjutnya, kemudian Jerman Timur dan Barat bergabung, sebagian masyarakatnya punya pilihan memeluk agama Islam. Walaupun, dengan beralihnya ke Islam itu, memunculkan konflik identitas baru pada diri mereka. Karena awalnya menjadi second class dari Jerman Timur dan Barat, kemudian menjadi Muslim.
Empat Pintu Gerbang Muslim
Apapun itu, tambah Hazim, runtuhnya tembok Berlin seakan menjadi gelombang sangat signifikan yang menandai masuknya Islam di Eropa, terutama di Jerman. “Menurut saya, inilah pintu gerbang muslim pertama,” ungkap adik almarhum Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu.
Hazim menyatakan faktor kedua, yaitu krisis di Timur Tengah yang membuat gelombang eksodus pengungsian ke Eropa, mau tidak mau, menjadi gelombang baru peningkatan jumlah Muslim di Eropa. Sebagian dari Muslim itu pun memutuskan menetap di Eropa.
Tidak hanya itu, jalur ketiga masuknya Muslim di Eropa juga berasal dari negara maju yang membuka kesempatan bagi masyarakat negara berkembang untuk menempuh pendidikan dengan beasiswa.
Keempat, ada pula Muslim yang berada di Eropa karena bekerja, atau mengikuti pasangannya studi atau kerja di negara maju itu.
Hazim mengungkap fakta menarik. Dari sebuah kajian, sebagian besar masyarakat Miiddle East (Timur Tengah) yang sedang mengalami konflik ternyata keberatan kembali ke negaranya dan ingin menetap di Eropa. Perkiraannya, alasan ekonomi salah satu yang memperkuat hal ini.
Dia juga memaparkan hasil wawancara menariknya kepada mahasiswa Timur Tengah yang ternyata menjadikan kuliah di Eropa ‘hanya’ sebagai pintu gerbang agar bisa menyeberang ke Eropa. Di satu sisi, penyebanya karena sedang ada masalah di negaranya. Di sisi lain, menurutnya, mereka membuat eksistensi Isam di Eropa semakin kuat.
Tantangan Format Keislaman Beragam
Hazim mengatakan, dari ragam pintu masuknya Islam ke Eropa itu, maka menghadirkan bentuk format ke-Islaman yang beragam pula di sana. Di antaranya, ada yang termasuk golongan Islam radikal, Islam ekstrimis, Islam liberal, dan ada juga yang Islam moderat.
Dia mengungkap, di Eropa, terutama di Hongaria termasuk negara yang tingkat Islamophobia-nya tertinggi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri.
Kemudian ia melontarkan pertanyaan, “Islamophobia ini hadirnya bagaimana? Konstruktifkah?”
Lantas ia menyatakan, baginya, tidak ada asap kalau tidak ada api. Media bisa mengonstruksi Islamophobia, tapi dari masyarakat Muslim juga tentu ada potensi ekstrimis dan radikal. Sehingga, hal ini bisa di blowup media sedemikian rupa. “Islamophobia jadi dikisahkan sangat logis, realistis, dan memang begitu adanya,” tuturnya.
Kata Hazim, ia dan insyaallah Muslim dengan pemahaman moderat di sana, juga menghadapi tantangan Islamophobia itu. Mereka berhadapan dengan tuntutan bagaimana bisa menghadirkan wajah yang menarik, sehingga bisa membuat bersimpati ke Islam.
Selain itu, harapannya, mereka mengenal Islam sebagai agama yang menjadi penyejuk serta pioneer terwujudnya masyarakat yang harmonis.
Akhirnya, Hazim menanyakan, bagaimana mempromosikan Islam sebagai agama yang moderat, yang kalau di Indonesia sering diasosiasikan dengan dua organisasi besar: Muhammadiyah dan NU. Maka, diskusi mengenai hal ini perlu dilakukan, karena menurutnya, mayoritas Muslim di Eropa juga berlatar belakang dari kedua organisasi besar tersebut.
Hazim menutup sambutannya dengan harapan para peserta mampu belajar banyak dari diskusi dan pemaparan nara sumber kajian itu: Hajriyanto Yasin Thohari. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni