PWMU.CO – Gerakan Puasa Nasional untuk Pertaubatan, Why Not? Ide ini muncul saat enam pemuka agama sarasehan bersama Prof M Din Syamsuddin dengan tema Puasa dalam Berbagai Agama, Senin (3/5/21).
Sarasehan Kebangsaan itu digelar secara virtual melalui Zoom Cloud Meetings oleh Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM). Enam pemuka agama sebagai pemantik hadir.
Wakil agama Islam Amirah Nahrawi dan aktivis awam Katolik Puspitasari. Selain itu, hadir pula wakil agama Protestan Pendeta Patar Napitupulu, wakil agama Hindu Tri Nuryatiningsih, wakil agama Budha Philip K Widjaja, dan wakil agama Konghucu Uung Sendana.
Mereka memaparkan hakikat dan pantangan berpuasa serta pertaubatan sesuai ajaran agama masing-masing. “Luar biasa, selama sekitar dua jam kita terlibat dalam percakapan dan saling mendengar ajaran dan pandangan agama-agama lain tentang puasa,” ujar Ketua Umum DN PIM Prof M Din Syamsuddin.
Semua Agama Ajarkan Puasa
Prof Din menyimpulkan, di seluruh agama, terutama yang di Indonesia—Konghucu, Budha, Hindu, katolik, Protestan, dan Islam—ada ajaran atau tradisi tentang puasa.
“Menarik untuk ditanya dan didalami, mengapa di hampir semua agama ada ajaran dan tradisi tentang puasa?” tanyanya retoris.
Din mengatakan—dari hasil mendengar pemaparan para pemantik—ajaran puasa dalam berbagai agama menekankan dua hal.
Pertama, dimensi penyucian diri. “Kejiwaan (melakukan) self-refinement, kita mengikis dosa-dosa yang ada dalam diri kita, sin laundry,” terangnya.
Dia menyatakan, ada hubungan spiritualitas antara manusia dengan Tuhan—Zat yang Maha Agung yang diyakininya—sehingga puasa adalah medium mendekatkan diri dengan Tuhan.
Peningkatan spiritualitas ini, maksudnya, kaum beriman pada masing-masing agama itu mengembangkan spiritualitas ke arah kesucian. “Kita dengar Katolik dan Protestan melakukan (puasa) dalam rangka pertaubatan. Budha juga demikian tadi, bahkan untuk menghadapi event tertentu,” jelas Din Syamsuddin.
Kedua, dimensi sosial. “Puasa selain bersifat individual untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta—Tuhan yang Maha Agung—juga memberi kepada orang banyak,” ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Kemudian, dia mencontohkan dimensi sosial dalam tiga macam bentuk pemberian pada agama Budha.
Titik Temu Agama-Agama
Di kedua dimensi inilah, menurut Din, titik temunya agama-agama. “Tidak hanya sebagai ritual religion, tapi sejatinya sebagai agama inti,” ucap profesor yang punya nama lengkap Muhammad Siradjuddin Syamsuddin itu.
Dia menegaskan, jelas agama-agama itu ada perbedaan, terutama pada aspek teologis. “Bagaimana mengonseptualisasikan yang namanya Tuhan dengan nama berbeda,” kata dia.
Itulah perbandingan dari agama dan itu tidak perlu dipaksakan untuk disamakan. “Tapi harus kita akui banyak sekali persamaan, ada titik temu. Dan kali ini bahkan pada wilayah atau ajaran ibadah. Apalagi dalam wilayah-wilayah lain?” ujarnya.
Agama, lanjutnya, sejatinya untuk kemanusiaan. Agama menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia.
Kurang Penghayatan atau Pemaknaan
Menurut Prof Din, pertanyaan peserta asal Gorontalo Sukrin Taib penting. “Mengapa esensi yang luhur tidak selalu menjelma ke perilaku umat masing-masing?” ucapnya.
Tentu tidak hanya dalam satu agama, tambahnya, tapi dalam semua agama. Tidak tampil dalam etika sosial sehingga masih terdapat kejahatan, pelanggaran. Termasuk juga sikap intoleran terhadap kelompok-kelompok lain.
Din lantas menjawab, karena kurangnya penghayatan atau pemaknaan. Yang terjadi menurutnya, masing-masing kelompok agama, khususnya umat Islam, sering terjebak pada ritualitas. “Menjalankan ibadah sebagai aktivitas, terjebak pada rutinitas,” kata dia.
Din menyatakan, ibadah—seperti puasa, shalat, dan dzikir—sejatinya ada dimensi manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. “Dimensi inilah yang hilang!” ungkapnya.
Dimensi mendekatkan diri berupa melakukan transformasi diri untuk berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan. “Namun, setelah kita dekat dengan Tuhan, kita turunkan nilai ke-Tuhanan itu, kita internalisasi nilai-nilai,” tuturnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, banyak perspektif Islam itulah yang melahirkan akhlak. “Beragama harus bermuara pada etika (atau) akhlak. Itulah yang dijabarkan dalam bentuk hubungan sesama dalam komunitas,” terangnya.
Din Tanggapi Curhat Non-Muslim
Menanggapi pertanyaan Nyoman Udayana Sangging , Din menerangkan ada yang meyakini ‘Shalatlah pada awal waktu’. Jadi, begitu masuk waktu shalat Maghrib, harus shalat Maghrib, apalagi shalat Maghribnya singkat. “Setelah itu masuk waktu shalat Isya, gak boleh lagi shalat Maghrib,” jelas Din.
Dia juga memjelaskan, orang Islam shalat (beribadah) hanya pada waktunya. Masing-masing ibadah shalat ada waktunya. “Cuma di Maghrib, dari sunset (matahari terbenam) sampai hilangnya awan merah, itu masuk waktu Isya,” kata Din.
Maka, lanjut dia, ketika adzan Muslim bertakjil, membatalkan puasa. Kemudian langsung shalat dulu. “Kalau saat buka bersama dan kawan non-muslim diundang, ya berarti diuji toleransi lagi, menunggu shalat Maghrib selesai,” tuturnya.
Din mengingatkan, yang Muslim harus tahu diri juga, jangan lama-lama shalatnya. “Nanti shalat Maghribnya panjang, apalagi tambah dzikir,” ungkapnya.
Din juga membolehkan untuk mendahulukan makan besar, dengan catatan jangan lupa shalat. “Keasikan makan besar, kemudian mengobrol, lalu waktu shalat Maghribnya habis,” kata dia.
Membedakan Persamaan atau Menyamakan Perbedaan?
Din kembali menegaskan, ternyata menemukan banyak persamaan di agama-agama itu. Maka, dialog antaragama, religious dialogue, bukan untuk similarize our differences (menyamakan perbedaan-perbedaan di antara kita).
“Biarlah seperti itu, ‘bagiku agamaku, bagimu agamamu’,” ujarnya.
Tapi pada saat yang sama, imbuhnya, jangan membedakan persamaan-persamaan yang ada dalam banyak agama. “Dan titik temu agama-agama itu pada kemanusiaan. Marilah kita berbuat untuk kemanusiaan!” ajak Din.
Din lalu bersyukur, “Alhamdulilah, dialog antaragama ini, sudah menjelma dalam bentuk aksi-aksi kemanusiaan. Saya tahu persis, lembaga badan penanggulangan bencana dan ormas Islam bersama ormas agama lain tengah bekerja sama dalam sebuah gerakan untuk perlindungan hutan,” ungkapnya.
Kemudian menegaskan, “Kita menjelmakan misi agama untuk kemanusiaan!”
Gerakan Pertaubatan Nasional
Din takjub mendengar pemaparan aktivis awam Katolik, “Saya tertarik, Mbak Pita ternyata ikut puasa juga pada bulan Ramadhan dan mengajarkan ke anak-anaknya. Boleh nanti kita buka puasa bersama,” ajaknya.
Dia juga kaget mengetahui ternyata di Katolik puasanya panjang sekali, yaitu selama 40 hari. Tak hanya itu, dari sarasehan ini, Din mengetahui hal baru dari agama Hindu. “Di Hindu, saya baru dengar ada puasa Senin-Kamis juga. Dulu saya belajar Hindu belum pernah dengar itu,” kata dia.
Tri Nuryatiningsih langsung menanggapi, “Biasanya kalau anak-anak ujian, saya juga berprihatin, membantu dengan doa dan puasa.”
Akhirnya dari sarasehan ini, Din menyatakan, “Mendorong kita, ada inspirasi, kita adakan Gerakan Puasa Nasional dalam rangka pertaubatan nasional, why not? Coba nanti dibicarakan!” ungkap Din.
“Tapi ini bukan porsinya DN PIM ya, porsinya Pak Philip, Pak Uun, Mbak Nyoman, dewan agama Indonesia,” ralatnya buru-buru. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni