Shalat Idul Fitri: Hukum, Tata Cara, dan Tempatnya sesuai Sunnah Nabi ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berangkat dari hadits riwayat Muslim.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. رواه مسلم
Dari Ummu Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fitri dan idul Adha para gadis, wanita haid, dan wanita yang sedang dipingit.
Adapun mereka yang sedang haidl tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum Muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki baju.” Beliau menjawab: ‘Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memakaikannya.’
Hukum Shalat Id
Sebagai wujud rasa syukur atas nikmat dan kasih sayang Allah yang tiada habis-habisnya kepada kaum Muslimin, maka saat Idul Fitri dan Idul Adha kaum Muslimin diperintahkan untuk shalat di tanah lapang. Hal ini sekaligus merupakan ajang syiar Islam dan silaturrahim di antara kaum Muslimin.
Adapun hukum shalat ini para ulama berbeda pendapat. Di antaranya, pertama, hukum shalat id adalah fardhu ‘ain yakni wajib bagi setiap individu Muslim laki-laki, ebagaimana shalat Jumat.
Pendapat ini di sampaikan oleh al-Hanafiyah dan didukung oleh Ibnu Taimiyah dan asy-Syaukani. Hal ini berlandaskan firman Allah yang maksud dari ayat ini adalah shalat Id.
وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (al-Baqarah 185)
Kedua, hukum shalat id adalah fardhu kifayah sehingga sebagian kaum Muslimin saja yang menunaikan sudah cukup mewakili. Ini pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Beliau bersandar akan fi’lunnabi washshahabah yakni perbuatan nabi dan para sahabat yang tidak pernah meninggalkan shalat id di beberaoa kesempatan.
Sekaligus beliau bersandar paya ayat dalam surah al-Kautsar, bahwa perintah shalat di dalamnya adalah shalat Id.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (al-Kautsar 2)
Tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa perintah shalat dalam ayat di atas bukanlah terkhusus soal Id. Akan tetapi shalat secara umum. Sebagaimana dalam ayat lainnya.
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (al-An’am 162)
Ketiga, shalat id hukumnya sunnah muakkadah. Ini pendapat Imam Malik dan Imam asy Syafi’i. Hal ini bersandar pada hadits nabi:
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا. الحديث, رواه البخاري
Dari Tholhah bin Ubaidullah; Ada seorang Arab Baduy datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan kepalanya penuh debu lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shalat?’ Maka Nabi Shallallahu ‘laihi wasallam menjawab: ‘Shalat lima waktu kali kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathawwu‘ (sunnat).” (HR Bukhari)
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa shalat yang difardhukan adalah shalat yang lima waktu itu saja. Sehingga shalat Id tidak termasuk yang diwajibkan.
Dengan demikian shalat id seharusnya tidak ditinggalkan jika benar-benar tidak ada udzur syar’i (halangan yang dibenarkan syariah). Karena begitu kuatnya Rasulullah mendorong kepada para sahabat, bahkan termasuk wanita. Yang sedang berhalangan saj tetap dianjurkan untuk datang, termasuk yang tidak memiliki jilbab juga diperintahkan untuk memberinya.
Hal ini menunjukkan betapa shalat Id merupakan hal sangat penting dalam kedudukan syariah ini, terutama adalah demi kepentingan syiar dan sebagai ajang silaturrahmi sesama Muslim. Untuk melebur yang tidak lagi membedakan antara satu dengan yang lainnya, entah karen faktor harta kekayaan ataupun kedudukan dalam kehidupan social.
Tata Cara Shalat Id
Ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha tentang seruan saat shalat Id, yaitu dengan kalimat “Ashshalaatu jaami’ah” Sedang pendapat yang lain tidak ada landasan tentang seruan itu. Yang jelas bahwa shalat Id tidak dimulai dengan adzan dan iqamah sebagaimana hadits nabi.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Samurah ia berkata; Saya telah menunaikan shalat dua hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dua kali, yakni (beliau menunaikannya) tanpa adzan dan iqamah. (HR Muslim)
Tentang kaifiyah-nya shalat Id itu terdiri dari dua rakaat, dan takbir tujuh kali pada rakaat pertama sebelum membaca al-Fatihah, dan 5 kali pada rakaat kedua sebelum membaca surah al-fatihah.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا. رواه مسلم
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari raya Idul Adlha atau idul Fithri, lalu beliau shalat dua raka’at, beliau tidak mengerjakan shalat sebelum atau sesudahnya. (HR Muslim)
عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ شَهِدْتُ الْأَضْحَى وَالْفِطْرَ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ
فَكَبَّرَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. رواه شعيب الأرناؤوط، في تخريج المسند
Dari Malik dari Nafi’ mantan budak Abdullah bin Umar, dia berkata; “Saya menyaksikan Idul Adlha dan Idul Fitri bersama Abu Hurairah. Maka pada rakaat pertama ia bertakbir tujuh takbir kali sebelum bacaan, dan pada rakaat yang terakhir dengan lima takbir sebelum bacaan.”
Sedangkan khutbah Id para ulama sepakat hukumnya sunnah, dan dilaksanakan setelah shalat Id dengan dua kali khutbah sebagaimana shalat Jumat. Hanya yang membedakan adalah jika khutbah Jumat sebelum shalat, sedangkan khutbah Id setelah shalat.
Tempat Shalat Id
Ada dua pendapat mengenai tempat shalat ini. Pertama, jumhur ulama termasuk Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah berpendapat sholat id disunnahkan di tanah yang luas atau tanah lapang. Hal ini bersandar pada hadits nabi yang bersumber dari Abu Sa’id al Khudri.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. رواه البخاري
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, “Pada hari raya Idul Firi dan Adlha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju tempat shalat (lapangan), dan pertama kali yang beliau kerjakan adalah shalat hingga selesai.
Kemudian beliau berdiri menghadap orang banyak sedangkan mereka dalam keadaan duduk di barisan mereka. Beliau memberi pengajaran, wasiat, dan memerintahkan mereka. Dan apabila beliau ingin mengutus pasukan, maka beliau sampaikan atau beliau perintahkan (untuk mempersiapkannya), setelah itu beliau berlalu pergi.” (HR Bukhari)
Di samping itu para wanita yang berhalangan pun diperintahkan untuk datang ke mushalla, tetapi mereka tidak boleh ikut shalat, termasuk wanita-wanita yang tidak memiliki jilbab diperintahakan untuk diberikan jilbab sehingga dapat ikut ke tanah lapang. Maka mengikuti sunnah Nabi lebih utama dalam hal ini.
Kedua, berbeda dengan pendapat di atas, menurut asy-Syafi’iyyah sebaiknya shalat di masjid saja apalagi jika masjidnya luas dan dapat menampung kaum Muslimin. Karena masjid lebih suci dan bersih serta lebih mulia, demikianlah penduduk Makkah shalat id selalu di Masjidil Haram. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 32 Tahun XXV, 7 Meia 2021/25 Ramadhan 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.