PWMU.CO – Reduksi ekstremisme dan kekerasan yang berbasis agama dengan literasi keberagaman melalui pendidikan perdamaian dan kesadaran pluralisme.
Demikian salah satu isi kajian Rumah Baca Cerdas (RBC) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang membahas pentingnya pendidikan perdamaian. Agenda yang menjadi bagian dari platform Ruang Gagasan tersebut berlangsung Senin (3/5/21).
Luluk Farida dari Ruang Gagasan mengatakan, ekstremisme mengakar pada masyarakat yang rentan. “Ajakan kepada ekstremisme sudah menyasar di forum-forum pengajian. Yang disasar adalah masyarakat yang secara agama masih belum utuh. Mereka diajarkan untuk berjihad dengan menggunakan potongan-potongan ayat atau teks keagamaan yang mengandung kebencian,” ujarnya.
Berdasarkan data BNPT, kata Farida, perempuan menjadi sasaran paling banyak dari paham ekstremisme, dengan persentase 12,3 persen. “Jika dahulu perempuan berada di balik layar, sekarang perempuan sudah bisa menjadi aktor di balik terjadinya aksi teror. Misalnya saja, Zakiah Aini, aktor tunggal di balik penyerangan Mabes Polri yang menggunakan senapan angin,” paparnya.
Literasi Keberagaman Reduksi Ekstremisme
Sementara itu, Eko Widianto, anggota Aliansi Jurnalis Indonesia, mengatakan bahwa media juga berperan dalam menciptakan aksi teror. Setelah paham ekstremisme sudah mengakar kuat, segala informasi terkait aksi teror yang ada di media, baik cetak maupun elektronik juga turut membantu teroris untuk melancarkan aksinya. “Bagaimana cara merakit bom, bagaimana menghindar dari sergapan polisi atau cara-cara melancarkan aksi teror, dengan mudah didapatkan melalui media massa,” tutur Eko.
Menurutnya, dengan segala kemudahan akses-akses menuju aksi teror ini, maka sudah semestinya ajaran dan ajakan mengenai perdamaian harus disemai kembali. “Kunci utama dalam mereduksi paham ekstremisme adalah dengan menggalakkan pendidikan perdamaian. Literasi dan kesadaran tentang keberagaman harus dikampanyekan,” ajaknya.
Senada dengan itu, Direktur Program RBC Institute A Malik Fadjar Nafik Muthohirin mengungkapkan, porsi pendidikan agama yang inklusif dan mengajarkan pluralisme harus ditambahkan dalam kurikulum. Hal itu mengingat kaum muda juga sangat rentan terpapar paham ektremisme.
“Upaya-upaya dalam mencegah paham ekstrem tidak hanya disajikan secara teori, tapi juga diteladankan oleh para penganjur dan pengajar. Dialog antar agama juga sudah semestinya dijalin kembali. Sehingga, melalui dialog ini bisa tercipta ruang belajar antar satu dengan yang lain,” jelasnya.(*)
Penulis Maharina Novi. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.