PWMU.CO – Din Syamsuddin: Restorasi Peradaban Dunia dengan Civilizational Caliphate. Dia menyampaikannya pada Tabligh Akbar Gema Kampus Ramadhan 1442 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (8/5/21) malam.
Acara yang digelar virtual ini mengangkat tema Muhammadiyah untuk Perdamaian Semesta. Menurut Prof Din, membahas tema ini memang perlu. “Sebagai konfirmasi dan afirmasi bahwa Muhammadiyah yang bertumpu pada al-Islam, sejatinya The Religion of Peace (agama perdamaian),” ungkapnya.
Prof Din Syamsuddin menyatakan, Islam berasal dari kata ‘salam‘, mengandung arti perdamaian.
Misi Risalah Tauhid
Dia lalu menerangkan, Allah mengutus para Rasul dengan misi membawa risalah tauhid. Dia mengutip al-Anbiyaa ayat 25:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tiadalah kami mengutus seorang Rasul pun, kecuali Kami wahyukan kepadanya dan kepada mereka bahwa sesungguhnya Aku ini satu, maka sembahlah (beribadahlah) kepada Aku.”
Din Syamsuddin mengatakan, risalah tauhid mengandung pengertian pengesaan Allah (aktif), tidak sekadar keesaan Allah (pasif). “Manusia mengesakan Allah menjadi dasar dan tujuan peradaban (kehidupan) manusia,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Dengan kesan aktif ini, lanjutnya, mengesakan berarti manusia menunjukkan perilaku-perilaku individu dan kolektif untuk membangun peradaban.
Bangun Khilafah Peradaban
Menurut Din, inilah isyarat Allah kepada manusia sebelum penciptaannya. Dia pun mengutip potongan surat al-Baqarah ayat 30: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi itu khalifah,”
Secara harfiah, khalifah berarti ‘yang datang belakangan’ atau ‘pengganti’. Yaitu yang menggantikan pencipta untuk melakukan perbaikan di muka bumi. “Misi kekhilafan ini bersifat mordial, universal. Khilafah yang harus dibangun adalah khilafah peradaban (civilizational caliphate),” ungkapnya.
Dia memperingatkan, “Jangan direduksi jadi khilafah ekonomi atau politik, karena itu membawa penyempitan terhadap konsep al-Islam dan khilafah yang luas.”
Konsep ini serupa dengan yang ada di agama samawi lain. Dalam Yahudi, menyebut ‘Kingdom of Heaven’ atau Kerajaan Langit. Sedangkan, dalam Nasrani mengenal ‘Kingdom of God’ atau Kerajaan Tuhan di bumi.
Islam, sebagai rentetan agama samawi yang berpangkal pada Ibrahim AS—Bapak Monoteisme—yang sangat bertumbuh pada tauhid. “Dalam Islam, ajaran tauhid itu diselamatkan, diluruskan, dan dikembangkan secara sejati,” ujarnya.
Maka konsep penciptaan manusia yang membangun khilafah peradaban—sebagai manifestasi konsep tauhid—menurutnya adalah hasil kerja sama antarumat manusia lintas kelompok agama.
Tauhid Pondasi Metafisik
Din mengatakan, tauhid—sebagai landasan kehidupan manusia—itu semacam metaphysical foundation (pondasi metafisik). Tauhid ini juga yang membawa dua prinsip utama dalam ilmu keislaman.
Pertama, ada korespondensi antara Tuhan (khaliq) dengan non-Tuhan (makhluk). Karena makhluk—baik manusia maupun alam semesta—merupakan ciptaan Tuhan, maka dalam dirinya ada dimensi unsur Ilahi. Din mencontohkan, alam misalnya, dalam dirinya ada ruh, maka sebagai subjek.
Kedua, ada analogi mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam).
Maka, Din menekankan, dasar ilmu-ilmu keislaman itulah yang perlu menjadi kerangka epistemologi untuk membangun peradaban. “Kalau manusia menerapkannya, maka akan terwujud peradaban utama kemanusiaan: bersifat Teosentris atau yang berpusat pada Tuhan,” tuturnya.
Din menerangkan maksudnya, “Satu sistem dunia, satu sistem peradaban, yang menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran.”
Antroposentrisme dan Sekukarisme Gantikan Teosentrisme
Prof Din Syamsuddin mengungkap, teosentrisme telah hilang dari peradaban dunia akhir-akhir ini. “Peradaban dunia yang berkembang sejak abad ke-20, berkembang atas kendali sistem yang justru sebaliknya, bukan atas dasar teosentrisme,” jelasnya.
Selama ini, tambahnya, peradaban manusia berpusat pada manusia itu sendiri: Antroposentrisme dan pada nilai humanisme-sekularisme.
Sekularisme bertentangan dengan agama, karena berkeyakinan hidup manusia hanya ‘kini dan di sini’, tidak ada ‘nanti’ dan ‘di sana’. “Tidak ada dimensi eskatologis seperti dalam filsafat, bahwa akan ada kehidupan setelah mati,” terang dia.
Dengan berpegang keyakinan ini, menurut Din, kehidupan manusia jadi terjebak pada kebebasan. Karena tidak ada pertanggungjawaban ukhrawi, maka manusia bisa bebas sebebas-bebasnya untuk merancang kehidupan dan peradaban. Juga, bebas melakoni kehidupan semaunya. “Inilah liberalisme!” tegasnya.
Liberalisme Pangkal Kerusakan Akumulatif
Liberalisme ini menjadi pangkal arus dunia akhir-akhir ini. Seperti muncul liberalisasi ekonomi, politik, budaya; kemudian ujungnya berakhir kerusakan. Allah telah mensinyalirnya dalam al-Quran sebagaimana pada ayat yang dia kutip: “
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya, telah nyata kerusakan di bumi dan di laut akibat perbuatan manusia, maka kemudian Allah datangkan sebagian saja dari apa-apa yang mereka lakukan agar mereka kembali.
Menurut Din, dunia sekarang menampilkan kerusakan yang akumulatif. Dengan bekal daftar istilah menyedihkan yang para pengamat kemukakan, Din mengungkapnya beberapa.
Peradaban manusia saat ini, menurut yang dia dengar, merupakan the world of disorder (dunia berantakan). “Yang lain mengatakan, the world of uncertainty (dunia ketidakpastian), manusia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Selalu ada the element of surprise (unsur kejutan),” terangnya.
Ada juga, tambahnya, yang mengatakan peradaban manusia sedang mengalami the great shift atau pergeseran besar-besaran. Selain itu, dunia sedang mengalami the big disruption (gangguan besar).
Bahkan, katanya, mantan kepala negara dan pemerintahan yang bergabung di The International Council menyimpulkan, peradaban manusia dewasa ini mengalami kerusakan global akumulatif. “Pandemi Covid-19 hanya bagian kecil atau salah satu penampakan dari kerusakan-kerusakan akumulatif itu,” ujarnya.
Sumbernya yaitu sistem dunia yang rusak, antroposentristik. “Terlalu menekankan pada manusia yang maha kuasa, maha bisa, kemudian menciptakan semaunya terkait peradabannya sendiri,” jelas Din.
Menurutnya, inilah yang jauh dari cita-cita membangun khilafah peradaban—bukan khilafah politik—dimana tidak mereduksi makna khilafah yang luas. “Membangun khilafah peradaban meniscayakan kerja-kerja positif dan konstruktif, itulah al-Ishlah!” terang dia.
Kemudian, lanjut Din, mengejawantah ke amal shalih dan membawa kemaslahatan. Al-Ishlah ini yang menjadi misi umat manusia sekarang untuk wujudkan peradaban manusia baru, perdamaian dunia, dan perdamaian semesta.
Din Usulkan Al-Ishlah
Din lantas usul ke Muhammadiyah dan umat Islam umumnya, satu sistematika ajaran Islam—berbeda dengan ungkapan ulama kebanyakan—dalam islam, iman, dan ikhsan. Atau, akidah, ibadah dan akhlak. “Itu tidak salah, tapi perlu dijabarkan lebih lanjut!” tuturnya.
Sistematika ajaran yang lebih fungsional, lanjutnya, yaitu tauhid. Kemudian dikembangkan atas dasar tauhid itu suatu peradaban: al-khilafah. Untuk itu, menurutnya, perlu kerja-kerja yang bernuansa al-Ishlah.
Jika perlu ditambah, dimensi-dimensi al-Ishlah itu menebar amal kebaikan di bumi dengan dimensi berkemajuan karena menghargai waktu, dimensi membawa kemaslahatan karena bekerja untuk kemanusiaan, dan menampilkan watak wasathiyah atau jalan tengah. Sehingga, tidak terjebak dalam ekstrimitas dalam wujud apapun.
Din menekankan, Islam sebagai agama perdamaian sekaligus agama peradaban bertujuan agar umat manusia secara keseluruhan—umat Islam dan mengajak umat lain lintas agama, ras, suku, karya, dan profesi—dalam satu kerja sama peradaban untuk membangun peradaban.
“Beginilah fungsi yang sebenarnya dari ummatan wasatha (umat tengahan) yang direkatkan pada umat Islam untuk memberi bukti kepada seluruh umat manusia!” tegasnya.
Ingat, Muhammad SAW akan menjadi saksi bagi kamu semua, apakah berhasil memberikan kesaksian kepada manusia dan mempersaksikan bahwa umat Islam itu adalah ummatan wasatha, dimana menampilkan wawasan, pemikiran, dan perbuatan jalan tengah.
Wujud Restorasi Peradaban Dunia
Dengan semangat, Din menyatakan agar umat manusia khususnya kaum beriman, bisa melakukan perbaikan dengan mengajukan solusi restorasi dunia. Solusi rekonstruksi dari peradaban dunia yang rusak berdasar ajaran Islam yang dikerjakan dalam paradigma peradaban baru: membawa kedamaian di kehidupan manusia.
“Inilah misi umat Islam yang setiap shalat diperintahkan menebar as-salam kepada umat manusia, yang secara simbolik dilambangkan dengan menoleh ke kanan dan kiri,” terang dia.
Din juga menekankan agar fokus pada tanggung jawab, karena hanya dengan tanggung jawab perdamaian semesta di peradaban baru itu terwujud. “Peradaban manusia rusak karena terlalu menekankan pada hak, sementara kurang bertanggung jawab,” ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, seyogyanya berimbang antara hak dan tanggung jawab (kewajiban). “Untuk itu, restorasi peradaban dunia harus dimulai. Dunia Islam tidak hanya berpikir bagaimana menanggulangi Covid-19, tapi lebih ke depan, bagaimana mengisi peradaban baru di post-Covid 19!” imbaunya. (*)
Din Syamsuddin: Restorasi Peradaban Dunia dengan Civilization Khalifah: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni