Pintu Mudik Tersekat, Pintu Langit Terbuka Lebar, oleh HA Zahri SH MHI, Ketua Pengadilan Agama Trenggalek.
PWMU.CO – Mudik, khususnya bagi masyarakat Jawa, tidak sekedar tradisi, namun boleh jadi sudah menjadi budaya. Disebut budaya karena telah memiliki seperangkat norma, nilai, aturan bahkan kepercayaan.
Mudik menjadi ritual tahunan bagi perantau yang mengais rezeki di negeri orang, wabil khusus di perkotaan. Kembali udik (pulang kampung) guna menyambung tali silaturahim (hubungan kerabat) dan silaturahmi (hubungan pertemanan) supaya tidak putus dengan berjalannya waktu. Orang Islam yakin bahwa silaturahim dapat meluaskan rezeki dan memanjangkan umur.
Manfaat lain, mudik juga sebagai media berbagi rezeki bagi pemudik yang punya kelebihan rezeki untuk sanak kerabat. Membantu kebutuhan pokok mereka menghadapi lebaran, setidaknya tidak ada sanak kerabat yang susah di hari yang penuh kebahagiaan. Konon aliran uang yang dibawa pemudik ke kampung halaman sebelum pandemi Covid 19 cukup signifikan sebagai sarana pemerataan pembangunan ekonomi Indonesia.
Di samping berbagi harta, yang tak kalah penting adalah berbagi ilmu dan pengalaman. Para pemudik menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi kawula muda untuk menggapai cita-citanya dengan cara keluar dari zona nyaman menuju tempat-tempat yang menjanjikan.
Mudik Khas Indonesia
Budaya mudik adalah khas Indonesia, terutama orang Jawa. Di Timur Tengah—sebagai tempat lahirnya Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW, para sahahabat, para tabiin dan para fuqaha—hingga hari ini mudik tidak dikenal.
Budaya apalagi tradisi yang merupakan hasil cipta rasa dan karya manusia tak terlepas dari sisi negatifnya. Sisi negatif bagi para pemudik jika dihubungkan dengan program Ramadhan di sepuluh hari terakhir yang seharusnya lebih fokus ke langit menjadi ambyar.
Untuk kegiatan mudik biasanya membutuhkan banyak persiapan, lebih-lebih yang jaraknya jauh. Persiapan mudik antara lain: belanja barang-barang dan oleh-oleh untuk sanak keluarga di kampung halaman.
Juga mencari penjaga rumah yang akan ditinggalkan pulang kampung, bila membawa kendaraan sendiri harus terlebih dahulu mengecek ke bengkel, atau mencari kendaraan sewa, mencari tiket dan tetek bengek lainnnya.
Bila pemudik kurang sungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak bisa mengatur waktu dengan baik, persiapan mudik dapat menggangu program Ramadhan pada sepuluh hari yang terakhir, yang merupakan hari-hari yang penuh berkah dan bertabur pahala.
Persiapan mudik mengalahkan kegiatan tadarus al-Quran, qiymul lail dan sebagainya. Tidak jarang karena menempuh perjalan jauh pemudik memilih tidak puasa dengan alasan musafir. Padahal puasa adalah lebih utama.
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“…Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah 184)
Residu lainnya, yang akhir-akhir ini menguat adalah pengaruh negatif pemudik terhadap masyarakat di tempat asalnya. Mudik dijadikan sarana memamerkan kekayaan dan kesuksesan lahiriah duniawiah semata. Tidak peduli apakah harta benda itu diperoleh dengan halal atau haram.
Pascamudik sering merepotkan pemangku kepentingan di kota metropolitan karena para pemudik, khususnya yang bekerja di sektor informal ditengarai mengajak serta kaum kerabatnya yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dan skill yang mememadai untuk hidup layak di kota besar.
Dikhawatirkan mereka akan menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis) yang tentu menambah beban sosial masyarakat dan pemerintah kota.
Saat Pintu Langit Menunggu
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahabat Abu Hurairah RA Nabi SAW bersabda:
إذا دخل رمضان فُتحت له أبوابُ السماء ، وغُلِّقتْ أبوابُ جهنم ، وسُلسلت الشياطينُ
“Apabila masuk Ramadan pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu jahanam ditutup dan setan-setan dirantai.”
Konten hadits ini—dan yang sejenis—menggugah dan mendorong umat Islam di seantero persada bumi untuk menghadirkan tradisi melipatgandakan amal kebaikan melalui pelaksanaan ibadah wajib maupun sunah di bulan Ramadan.
Antara lain: shalat maktubah lima waktu, tarawih, ceramah, membaca al-Quran, takjil bersama marak di mana-mana. Sementara tempat-tempat maksiat dan kemaksiatan tereliminasi sedemikian rupa dengan energi dan semangat Ramadhan.
Kebijakan pemerintah melarang mudik lebaran di tahun 1442 in telah dilakukan juga tahun sebelumnya. Alasan pelarangan tentu dalam rangka memutus rantai penularan Covid-19 yang belum mereda.
“Menjaga kesehatan (nyawa) warga negara didahulukan daripada kepentingan ekonomi,” demikian dalih yang sering diucapkan pihak yang bertanggung jawab urusan mudik. Ironinya mudik dilarang kok WNA dari China secara bertahap leluasa masuk ke Indonesia?
Tapi setiap Muslim layak mengambil hikmah dari setiap kejadian, termasuk larangan mudik. Dengan tidak mudik bagi yang biasa mudik, bisa lebih konsentrasi memenuhi panggilan langit, membuka pintu-pintu langit melalui doa, dzikir, tadarus al-Quran, iktikaf di masjid dengan khusyuk.
Biarlah pintu mudik tersekat asal pintu langit terbuka lebar. Kita fokuskan mengetuk pintu langit agar berkah dan ampunan-Nya dicurahkan kepada kita dalam kehidupan individu maupun kolektif.
Jika kita legowo dengan tidak mudik dan lebih mempersiapkan diri menjalani sisa Ramadhan di sepuluh hari terakhir, isyaallah suasana batin kita akan tetap senang tanpamu Dik! Ungkapan plesetan bagi para suami yang bekerja jauh dari tempat tinggal istri tercintanya.
Mudik fisik juga bisa digantikan dengan mudik online melalui berbagai amplikasi. Lazimnya saat mudik ada kumpul-kumpul keluarga besar denga acara serimonial bisa diganti dengan Zoom Cloud Meetings, live streming YouTube, dan lain-lain.
Anugerah bagi Shaimin
Pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Tidak hanya hubungan sesama manusia (hablum minannaas), namun juga masuk wilayah hubungan dengan Sang Pencipta (hablun minallah).
Hubungan sesama manusia dengan menjalani protokol kesehatan dan vaksinasi. Protokol kesehatan juga mengintervensi urusan ibadah. Haji dan umrah dijadwal ulang, shaf shalat yang mestinya rapat harus jaga jarak, shalat Idul Fitri di masjid dan tanah lapang untuk zona tertentu dilarang, cukup dikerjakan di rumah masing-masing, dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam hal ibadah mahdhah yang cara, tata cara, dan upacaranya telah baku saja kita ubah guna mengikuti protokol kesehatan, apalagi kalau hanya masalah ijtihadiah. Tradisi mudik bukan masyru’, tidak diperintahkan oleh syari’ (sang pembuat peraturan), namun hanya sebuah tradisi yang memiliki landasan filosofis dan sosiologis dalam ajaran Islam.
Bahwa di bulan Ramdan seorang Muslim melaksanakan ibadah puasa, tadarus al-Quran, qiyamul lail, sedekah dan sebagainya dengan harapan mendapat ampunan segala dosanya, khusunya dosanya kepaada Allah sehingga hubungan dengan Allah menjadi harmonis. Berikutnya harus pula diselesaikan kesalahan dengan sesama manusia, teruma kepada orang tua dan sanak kerabat dengan cara saling meaafkan dengan tatap muka.
Dengan landasan filosofis tersebut di atas maka wajar apabila silaturrahim di bulan Syawal secara sosiologis mendapat tempat yang istimewa. Menjadi ritual akbar tahunan yang dirayakan oleh semua masyarakat Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim. Karena telah menjadi ritual akbar tahunan (Lebaran), maka wajar memiliki magnit yang kuat menarik setiap perantau mudik ke kampung hlaman.
Bagi yang belum sadar diri akan ngotot mudik sehingga tak terhindar benturan dengan aparat keamanan di tempat-tempat penyekatan. Kalaupun saat Idul Fitri mereka tidak mudik, ada kemungkinan setelah larangan mudik berakhir banyak pegawai yang berkerja di sektor formal (PNS/PPPK/pegawai BUMN) akan mengambil cuti tahunan untuk konpensasi mudik.
Mudik Idul Adha
Guna mengantisipasi lonjakan pemudik, pemerintah sebaiknya membagi mudik menjadi dua kuota: mudik Idul Fitri dan mudik Idul Adha. Mudik Idul Adha sebenarnya memiliki landasan filosofis yang lebih kuat daripada mudik Idul Fitri dengan argumentasi:
Pertama, hari raya Idul Adha tidak didahului dengan puasa wajib, hanya puasa sunat (puasa Arafah) sehingga apabila kita melakukan persiapan mudik dan halal bi halal tidak mengganggu ibadah wajib.
Kedua, hari raya Idul Adha ditambah hari Tasyrik sebanyak empat hari, berbeda dengan Idul Fitri yang waktunya hanya sehari sehingga untuk bersilaturrahmi lebih leluasa tidak terganggu dengan puasa Syawal.
Keiga, iang THR, bonus, dan sebagainya bisa dibelikan hewan kurban untuk dibagikan kepada fakir miskin sehingga lebih bermanfaat, tidak hanya untuk kepentingan pribadi seperti belanja Idul Fitri.
Untuk merealisasikan ide mudik Idul Adha tersebut tokoh masyarakat, tokoh agama bersama pemerintah mendorong budaya mudik Idul Adha. Dalam hal ini bisa diambil model mudik suku Madura.
Suku Madura memiliki tradisi mudik pada Idul Adha. Masyarakat Madura menyebut Idul Adha dengan Riaja (Hari Raya Besar), sedang sedang Idul Fitri dengan sebutan Telasan, artinya habis-habisan.
Pada saat Riaja orang Madura yang ada di luar pulau Madura turun ke Madura (pulang kampung) untuk merayakan Riaja dengan silatrurrahmi ke sanak saudara. Suasana mudik Idul Adha di Madura lebih ramai dan semarak daripada mudik Idul Fitri.
Jika perlu pemerintah bersama legislatif dapat membuat peraturan perundang-undangan yang mendorong pelaksanaan mudik, halal bi halal dan THR dilaksanakan saat Idul Adha sehingga Idul Adha gaungnya lebih menggema daripada Idul Fitri seperti di negara-negara Timur Tengah.
Pendek kata, apapun urusan orang Islam apalagi yang telah menjalani tarbiyah Ramadhan, endingnya pasti baik. Jika mendapat rezeki bersyukur dan bila ditimpa cobaan bersabar.
Mudik okay tidak mudik juga okay. Kedua-duanya akan membawa berkah dan kebaikan baginya di dunia dan akhirat. Amin. Walllah a’lam bi shawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni