PWMU.CO – Pahit getir perjuangan telah banyak dirasakan Muhammadiyah. Namun demikian, Muhammadiyah tetap berdiri tegak dan kokoh sejak 1912 hingga kini. Muhammadiyah selalu berada dalam garda terdepan dengan visi besar mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Berangkat dari itu, Muhammadiyah mengembangkan sayap guna tecapainya visi, dengan melakukan gerakan yang becirikan: teguh dalam prinsip tapi luwes dalam taktis. Gerakan ini sering disebut gerakan sebagai dakwah kultural.
Muhammadiyah mampu mewarnai berbagai golongan dengan kombinasi ‘warna’ yang ia sodorkan. Melalui perannya pada tarjih, tajdid, tabligh, hingga pemberdayaan sosial kemasyarakatan, Muhammadiyah selalu eksis dan sanggup menjawab tantangan zaman. Itu pula yang menjadikan gerakan dakwah kultural Muhammadiyah terserap ke berbagai lapisan masyarakat dengan pola yang berbeda dan terstruktur, sehingga gerakan menjadi massif dan efektif.
(Baca: Menyambut Milad di Bangkalan: Dari Madura Meneguhkan Muhammadiyah di Mata Dunia)
Namun, dii usianya yang ke 104, Muhammadiyah nampaknya kurang fokus untuk menciptakan generasi Qurani. Terbukti dengan banyaknya kader Muhammadiyah yang kurang fasih dalam membaca Alquran.
Bahkan dalam tataran pemimpin pun hal itu bisa saja terjadi. Ada yang belum fasih dalam baca Alquran namun karena punya keahlian di bidang lain maka ia dibutuhkan untuk masuk dalam jajaran kepemimpinan. Belum lagi minimnya kader-kader Muhammadiyah yang yang sukses dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional.
Padahal hal itu menjadi barometer massif tidaknya gerakan cinta Alquran sebagai esensi dari gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Sudah sepatutnya Muhammadiyah berkemajuan menyiapkan kader-kader handal dalam tataran gerakan cinta Alquran ini.
Terlebih akhir-akhir ini, di mana Alquran menjadi sorotan publik ketika beberapa ayat diculik untuk kepentngan politik. Sudah selayaknya Muhammadiyah menyiapkan kader yang militan dalam tataran Quran dan menjadi bagian yang tak terpisahkn ketika Muhammadiyah melakukan eksistensi gerakan Muhammadiyah. Juga melakukan gerakan-gerakan yang didasari dari ghirah/semangat/esensi.
Muhammadiyah telah membuktikan akan kemajuan gerakan dakwah kultural. Terbukti telah lahir pesantren sains (Trensains) yang mana, ia terfokus pada ilmu sains yang langsung dihadapkan dengan dalil-dalil Alquran dan Assunah. Ini menjadi penting karena Muhammadiyah serius dan fokus melihat fenomena yang ada dalam bidang sains. Sebuah upaya menciptakan genarasi yang fokus pada masalah-masalah kekinian, baik yang menyangkut umat Islam maupun bangsa.
Kini, Muhammadiyah juga harus mengambil peran dalam pembentukan kader Qurani seperti dengan mendirikan pondok pesantren yang fokus pada muatan tilawatil Quran. Selama ini kegiatan Muhamamdiyah hanya seputar kajian dan kajian. Namun upaya yang fokus pada pembenahan bacaan Alquran ataupun kemampuan seni Alquran sangat minim. Akan menjadi tawaran solusi ketika Muhammadiyah mempunyai agenda nasional (pusat) sampai regional (ranting) yakni membuat sebuah event yang berkelanjutan di bidang Quran, semilas MTQ khusus Muhammadiyah.
Akhirnya jangan sampai Muhammadiyah kecolongan dengan adanya kader-kader yang jauh dari nilai Qur’ani karena belum dikenalkan Alquran secara majemuk dan massif. Ini menjadi refleksi bersama kader Muhammadiyah di usia yang ke-104, dengan semngat eksistensi yang tidak melupakan esensi. Bukan sebaliknya, eksistensi yang melupakan esensi. (*)
Opini oleh Baharuddin Rohim, alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, pengasuh Panti Asuhan Ashabul Kahfi Muhammadiyah Moyudan Sleman Yogyakarta, dan kader IPM Jatim.