PWMU.CO – Kosmopolitanisme Islam, Jawaban Muhammadiyah pada Islamophobia. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikan itu pada Syawalan bersama Diaspora Muhammadiyah Eropa, Ahad (16/5/21).
Haedar menyetujui pendapat HE Dr Lalu Muhammad Iqbal, Duta Besar RI untuk Turki, tentang menghadapi Islamophobia dan tren di Eropa. “Muhammadiyah sudah mengantisipasi itu lewat kosmopolitanisme Islam,” ungkapnya.
Baca Berita Terkait: Waspada Islamophobia dari Sesama Muslim
Untuk mengonfirmasi hal ini, dia menyarankan untuk membuka pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, di agenda-agenda abad kedua. “Di situ kita strateginya memang kosmopolitanisme Islam,” ujarnya.
Haedar melanjutkan, dengan wawasan Islam berkemajuan itu bisa melintas batas. Tidak cukup Nusantara, meski waktu itu memang konteksnya itu.
Blueprint Pengembangan Kosmopolitanisme Islam
Haedar menyebutkan ada dua hal yang perlu dikembangkan dalam kosmopolitanisme itu. Pertama, blueprint dari wawasan Islam rahmatan lil alamin yang melibatkan kerja sama berbagai pihak dari lintas ilmu.
“Coba rumuskan blue print Islam rahmatan lil alamin yang berpijak dari Islam berkemajuan itu seperti apa yang bisa dikembangkan dan didialogkan di Eropa, Amerika, dan di negara-negara yang memiliki tiga karakteristik tadi: multikultural, sekuler, dan sebagainya!”
Blue print Islam rahmatan lil alamin ini, menurut Haedar, penting karena konsep rahmatan lil alamin akan menjadi kalimat titik temu bagi seluruh kelompok Islam. Sebagaimana yang Iqbal sampaikan, ada potensi enemy-nya berpindah dari sesama kelompok Islam setelah menang.
Untuk itu, Haedar mengimbau perlu membangun kerangka berpikirnya sejak awal. “Bahwa Islam rahmatan lil alamin itu begini, begini… begini. Itu menjadi landasan atau state of mind bagi kelompok-kelompok Islam dari negeri mana pun yang ada di Eropa yang kelak akan menjadi mayoritas di sana,” jelas dia.
Pentingnya State of Mind
Haedar kemudian mencontohkan Mekkah yang juga state of mind di mana Nabi pendekatannya sangat inklusif saat itu. “Makanya kan tidak ada perintah perang. Di samping keteladanan Nabi itu, arah pemikiran Islam lama-lama diterima oleh masyarakat Quraisy,” terangnya.
Haedar bercerita, ketika Mughirah bin Walid membujuk Nabi agar berhenti dakwah, lalu turun sebuah surat, sebenarnya itu menggoncang dia sebagai pemikir dan ahli syair. “Dia tergoncang ‘Kok ada fikir yang lebih dahsyat ketimbang tradisi syair dan sastra Arab klasik saat itu’,” tuturnya.
Dia tergoncang dengan isi dan tata bahasanya. Ketika Umar bin Khattab mengintip adiknya Fatimah membaca surat Thaha, di samping memang ada getaran hidayah, tapi juga menghayati betul.
“State of mind memang perlu sebagai instrumen kita berdialog baik dengan sesama Muslim yang beragam dari berbagai belahan dunia yang datang di situ, maupun lebih-lebih dengan para non-Muslim,” terang Haedar.
Haedar melanjutkan, non-Muslim irisannya banyak, ada yang ahli kitab, ada yang benar-benar sudah ateis, dan agnostik. Sebabnya juga bisa beragam: kesadaran, trauma, dan lain-lain.
Celah Spiritualitas Minus Agama
Di luar itu, bagi Haedar, ada celah longgar di masyarakat maju, masyarakat sekuler. Yakni, ada sesuatu yang hilang dari diri mereka.
Dia mencontohkan, banyak lansia dibuang dari keluarga inti, yang ingin menemukan relasi keluarga. “Kalau pakai logika Weber, ketika nalar instrumental terlalu kuat, orang akan lari ke nalar tradisional atau komunal,” komentarnya.
Ruang itu bisa diisi, tapi dengan pendekatan Islam yang irfani atau ihsan. Pendekatan ini menurut Haedar akan laku di negara-negara maju.
Haedar mengungkap, mereka ada spiritualitas tapi minus agama. Yang mereka benci agama formal, tapi ketika awalnya bawa nilai-nilai agama, ternyata jadi the secret canopy itu. “Oh ternyata Islam seperti itu atau oh ternyata PCIM bisa menghadirkan itu,” contohnya.
Maka, menurutnya, perlu merumuskan blue print tentang Islam berkemajuan yang berwawasan rahmatan lil alamin. “Nanti orang akan membaca itu, apalagi diterjemahkan menjadi berbagai bahasa. Dibikin, nanti penyempurnaannya belakang,” tutur Haedar.
Kedua, baru bikin road map: peta jalan menuju ke Islam Eropa 2035. “Perlu road map yang bisa didialogkan kelompok-kelompok Islam dari Turki, Pakistan, Banglades, Saudi, dan sebagainya,” ujarnya.
Karena, menurutnya, bisa jadi masing-masing culture (budaya) negara mempengaruhi pola-pikir dan tafsir tentang Islam, sehingga memerlukan dialog.
“Teman-teman mumpung ada di sana. Nanti kalau sudah pulang, disambung oleh yang berikutnya. Tapi kalau sudah ada dua konsep tadi, keren tuh PCIM bisa merumuskan itu. Mumpung lagi ada Pak Dubes Turki, Perancis, Belanda, dan lain-lain,” imbaunya.
Sertifikasi Halal
Pada sesi diskusi, Ketua PCIM Jerman Raya Mohammad Rokib MA menyatakan telah mendapat tantangan dari KBRI Berlin terkait sertifikasi halal. Jadi sekarang PCIM Jerman Raya sedang berusaha memformulasikan pusat riset dan sertifikasi halal.
“Kami membuka diri dan terus belajar dari teman-teman PCIM, terutama mencari format ideal bagaimana Islam secara umum dan khususnya Muhammadiyah di Eropa,” ujarnya.
Alhamdulillah, lanjutnya, beberapa hal sudah kami identifikasi melalui diskusi dan engagement dengan komunitas lokal yang ada di Jerman dan teman-teman yang lama tinggal di Jerman.
Baca Berita Terkait: PCIM Jerman Raya Gagas Pusat Riset dan Sertifikasi Halal
Menurut Haedar Nashir, sertifikasi halal memang menjadi tren global. “Di hampir banyak negara ketika kami kunjungan, tawarannya selalu itu, bahkan di Tiongkok juga begitu,” ujarnya.
“Kita di Indonesia punya lembaga halal, ya. Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) cukup kuat di situ, termasuk Universitas Ahmad Dahlan,” ungkapnya.
Menurut Haedar, langkah selanjutnya bisa disiapkan formatnya seperti apa, kemudian disampaikan kepada sosok yang bisa menjembatani.
Tapi, Haedar meminta PCIM Jerman untuk mengkaji apakah nantinya ketika lembaga ini menyentuh kawasan Eropa, diselenggarakan oleh setiap negara atau langsung berlaku untuk Uni Eropa (minus Inggris).
Menimbang, pentingnya efisiensi PCIM dan keterbatasan sumber daya manusia, maka Haedar memberi usulan, “Kalau bisa, ada satu lembaga di Jerman tapi bisa berlaku di tiap negara (di Uni Eropa), jadi monggo nanti bisa didiskusikan.”
Dia menegaskan, syukur kalau berdiri di sana (di Jerman) untuk riset halal dan sertifikasi nanti bisa berlaku di Uni Eropa malah tidak perlu di banyak PCIM. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni