Gelandangan Berbaju Zionis yang Mencaplok Palestina, kolom oleh Ady Amar, pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Berita bermacam-macam susul menyusul tanpa jeda. Semuanya layak diberitakan. Tentu berita penyerangan “tamu yang jadi penyamun” di rumah penampungnya, masih menduduki berita utama.
Siapa tamu yang jadi penyamun itu? Tidak lain adalah sikap zionis Yahudi Israel terhadap Palestina. Diterima dengan baik saat Eropa mengusirnya, terlunta-lunta, tiba di Palestina dengan wajah kucel, baju lusuh dan aroma tubuh menyengat.
Mereka itu seperti kumpulan monyet yang eksodus dari lokasi yang sulit untuk hidup ke lokasi yang diharapkannya lebih kondusif. Tapi setelah di tempat baru sebagai pendatang, ia tak tahu diri, mengganggu habitat lain yang ada dan mengusirnya.
Tamu yang tak tahu diri bagai monyet-monyet itu, saat-saat ini membunuh tuan rumah yang telah menampungnya. Tidak tanggung-tanggung, mulai laki-laki dewasa, perempuan dan anak-anak dibantai massal dengan senjata yang dipunyainya.
Tidak bisa dibayangkan begitu jahatnya monyet-monyet itu, yang memakai baju zionisme. Monyet zionis Yahudi Israel yang ditolong itu tidak cukup hanya mencakar, tapi membunuh lalu menguasai properti pemiliknya yang sah. Berlaku biadab pada penolongnya adalah watak yang dihadirkan untuk dapat mengibarkan bendera “bintang Daud” bernama Israel.
Monyet-monyet zionis Yahudi itu dimusuhi di Eropa sampai dibunuh massal, khususnya pada masa Perang Dunia II, lari terbirit-birit mencari suaka. Palestina tujuan utamanya, negeri yang dimitoskan sebagai tanah yang dijanjikan itu dirampasnya dari pemilik sahnya. Sebagian negara Eropa suka cita, merasa terbebas dari kumpulan monyet Yahudi itu, senang bukan alang kepalang bisa memindahkan persoalannya pada negeri lain.
Dilindungi Yahudi Amerika
Kekejaman monyet-monyet itu bisa dipersaksikan dalam pekan-pekan ini membombardir Gaza, Palestina. Nafsu membunuhnya menggelegar, merasa dibeking kuat oleh zionis Amerika yang memang menguasai seluruh kebijakan. Mulai dari pejabat pemerintahan tingkat rendahan sampai presiden, tekuk lutut dikendalikan oligarki Yahudi berwatak zionis.
Maka Presiden Amerika, yang disebut negara adidaya itu, sejatinya hanya simbol sebuah negara. Ia hanya bekerja tidak lain untuk kepentingan oligarki Yahudi. Dan oligarki zionis Yahudi Amerika itu membantu saudara sesama, yang tinggal “di tanah yang dijanjikan” dengan tanpa reserve.
Karena itu monyet-monyet Yahudi zionis Israel merasa jumawa. Tidak mendengar lagi dan tidak patut merasa mendengar lembaga-lembaga internasional yang meminta menghentikan tindakan barbar yang dilakukannya. Cemooh, kutukan dan resolusi-resolusi setingkat PBB tidak digubrisnya. Hantam sepuasnya, lalu berhenti karena keinginannya untuk berhenti. Bukan berhenti karena sebab-sebab pihak lain menginginkannya.
Melihat tindakannya menghantam sasaran sipil di Gaza dengan rudal itu, dunia mempersaksikan kebiadaban yang dilakukan tanpa mampu menghentikan. Dunia seperti terpana melihat kepongahan monyet-monyet, yang sekitar seratus tahun lalu di Eropa jadi pesakitan yang dikejar-kejar untuk dibantai.
Mengapa Hitler Bantai Yahudi?
Adolf Hitler dan pejabat jajaran dekatnya konon adalah berketurunan Yahudi, tapi entah kenapa justru membantai etnisnya sendiri. Tidak tahu persis apakah Hitler dan jajaran dekatnya itu seolah telah “berevolusi” jadi manusia, lalu tidak ingin melihat masa lalunya. Ingin mengubur masa lalu, dan pembantaian terhadap monyet-monyet itu dilakukan.
Tidak ada yang bisa menjawab itu semua, apa yang menyebabkan seorang Hitler lalu bersikap bengis pada etnis Yahudi. Yang muncul hanyalah duga-duga. Ada yang mengatakan ibunya yang mati misterius, dan itu menurutnya karena ayah sambungnya yang Yahudi lah pembunuhnya. Ayah sambungnya itu memang seorang pemabuk. Sekali lagi ini cuma dugaan, yang belum pasti.
Tapi isyarat kenapa ia membunuh massal Yahudi, itu sudah disampaikannya. Meski “kenapa” itu tidak menjelaskan latar belakang kenapa itu dilakukannya. Tapi isyarat yang disampaikannya itu bisa menjelaskan kenapa ia tidak membunuh semuanya, tapi menyisakan sebagian agar generasi selanjutnya memahami kenapa ia (Hitler) melakukan pembunuhan massal etnis Yahudi itu.
Maka, melihat monyet-monyet Yahudi zionis Israel yang lari terbirit-birit dari kematian dan lalu berharap pada penguasa Arab Palestina untuk bisa hidup di sana. Diterima dengan baik layaknya seorang tamu. Tidak lama kemudian, watak monyet dari tamu tadi muncul. Mulai bertingkah karena mendapat sokongan Barat, yang tadinya memusuhinya.
Lalu mulai merangsek merampas sedikit demi sedikit properti di tempat-tempat strategis milik tuan rumah. Menjelma jadi tamu yang tak kenal diuntung. Maka tuan rumah mulai terdesak dan hidup di pinggir-pinggir kota. Di tahun 1948, mereka memproklamasikan negara Israel. Dan itu atas dukungan Inggris utamanya, yang jauh hari telah memberikan jalan kemerdekaan lewat Deklarasi Balfour (1917).
Monyet zionis Israel ini terus mendatangkan etnisnya dari Eropa khususnya, dan datang terus bergelombang jutaan jumlahnya. Maka perampasan pada rumah-rumah yang dimiliki Arab Palestina (Islam, Kristen, Katolik) menjadi kelaziman. Terjadilah keributan dan bahkan harus dengan perang.
Seolah Israel yang hidup di tengah-tengah atau dikelilingi bangsa Arab menjadi pihak yang “disakiti”, menjadi pihak yang “dikeroyok”, hadir seolah tak sebanding. Opini itu yang digembar-gemborkan, seolah Israel pihak yang diganggu. Lambat laun opini ini mulai merasuk pada mereka yang tidak membaca sejarah dengan baik, sehingga penjajah dikesankan seolah pihak yang benar.
Kritik Mel Gibson
Jika ada non-Muslim, khususnya Nasrani di negeri ini, yang membela zionis Israel, tentu menjadi keheranan tersendiri. Bahkan Mel Gibson, aktor Hollywood kondang, yang memang anti-Yahudi, pun merasa bingung, yang katanya, “Heran jika ada Nasrani yang justru membela Yahudi.”
Mel Gibson salah satu aktor Hollywood yang dibenci Yahudi Amerika khususnya, itu dengan cara membendung pemberitaan tentangnya dan sebisa mungkin memberitakan hal-hal yang buruk saja, dan itu dilakukan oleh jaringan-jaringan media Yahudi di Amerika. Tapi Mel tetap eksis di dunianya.
Puncak kemarahan Yahudi Amerika pada Mel, itu saat ia membuat film dan menyutradarainya tentang penyaliban Yesus Kristus dari versi Injil yang dipelajarinya. Menurutnya, Yesus ditangkap dan disalib oleh orang-orang Yahudi. The Passion of Christ, judul filmnya.
Dalam film itu, Mel membongkar “ketidakbenaran” sesuatu yang bagi keyakinan kristiani saat ini berkenaan dengan Yesus yang ditangkap dan disalib orang-orang Yahudi, itu karena dalam tekanan dan perintah keras Raja Herodes. Sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius, Pasal 2.
Mel tidak mengacu pada Injil Matius itu, tapi pada Injil Kanonik lainnya, atau dokumen sejarah lain yang tidak mengisahkan kisah serupa. Menurut yang dibacanya, bahwa Yesus dibunuh dan disalib oleh orang-orang Yahudi, tidak ada campur tangan pihak lainnya. Inilah film yang mblejeti kekejaman Yahudi yang dilakukan pada Yesus sampai penyalibannya. Sejarah yang sudah lama dikubur Yahudi, lalu seolah dibangkitkan Mel.
Konon kabarnya, ada rencana Mel akan membuat film lainnya, dan itu lagi-lagi mengusik zionis Yahudi. Film tentang Holocaust. Menurutnya, Holocaust itu adalah cerita yang cuma dibesar-besarkan saja, dan itu tentang jumlah kematian yang ada. Seolah Yahudi ingin dikesankan sebagai pihak yang “dizalimi”. “Itu halu Yahudi saja,” katanya. Belum tahu kelanjutan dari rencananya itu.
Di Barat muncul generasi baru yang ingin melawan kesewenang-wenangan atas dominasi Yahudi, khususnya di Amerika. Ini tentu keberanian tersendiri. Dan menjadi menarik jika zionis Yahudi itu dikoreksi Yahudi lainnya, yang melihat sejarah dengan obyektif. Noam Chomsky, di antaranya.
Tentu harapan untuk “menghadirkan” manusia semacam Hitler untuk membantai zionis Yahudi, itu pastilah ditolak peradaban kemanusiaan mana pun juga. Dan jangan sampai itu terjadi. Tapi tidaklah salah jika kontributor CNN asal Pakistan, melihat kebiadaban monyet zionis Israel, dan dengan geram lalu terucap, “tampaknya dunia perlu Hitler lagi” itu hal biasa, spontanitas-manusiawi. Pastilah itu ungkapan tanpa berpikir, dan cuma luapan emosi.
Semacam Mel Gibson yang tampaknya dibutuhkan, dan itu untuk memberi pencerahan tentang zionis Yahudi sebenarnya. Juga Chomsky dan lainnya. Dunia harus menunjukkan simpatinya pada negara Palestina, negeri yang dijajah, dianeksasi kumpulan monyet-monyet zionis Israel.
Jadilah Kamu Monyet yang Hina
Penyebutan “monyet-monyet” dalam tulisan ini tentu berdasar, tidak asal penyebutan atau apalagi olok-olok. Berdasar sebagaimana al-Quran mengisahkannya. Tentu tidak persis sama. Tapi dalam sejarahnya Yahudi ini pernah dikutuk jadi monyet.
“Dan, sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera/monyet yang hina’.” (al-A’raf 166).
Soal ini al-Quran menyebutkan pula pada Surat an-Nahl, ayat 124, Surat al-A’raaf, ayat 163, Surat al-Baqarah, ayat 65, Surat al-Maidah, ayat 60, dan lainnya.
Kenapa dengan hari Sabtu (Sabat) itu? Hari itu adalah hari permintaan kaum Yahudi pada Nabi Musa Alaihissalam, untuk mengubah ketetapan hari Jumat sebagai hari ibadah. Ditawarnya hari Sabtu saja sebagai hari ibadah. Allah menyetujuinya.
Apa yang terjadi, kaum Yahudi itu mengingkari, karena justru Sabtu saat hari ibadah, ikan-ikan melimpah di pinggir kota Elat/Palestina, di Teluk Aqabah, di pesisir Laut Merah.
Kaum Yahudi lalu mengingkari perjanjian dengan Allah melalui perantara Nabi Musa, bahwa Sabtu adalah hari ibadah. Tidak ada bisnis yang boleh dikerjakan pada hari itu. Tapi mereka melihat ikan yang melimpah, maka dilanggarnya kesepakatan itu. Maka, Allah murka dengan perkataan-Nya, “Jadilah kamu monyet yang hina.”
Soal ini ada dua pendapat di kalangan ahli tafsir. Pertama: pendapat yang mengatakan perumpamaan Ashabus Sabt, yang dijadikan monyet itu merupakan perumpamaan. Artinya, hati mereka menyerupai hati monyet.
Sedang pendapat kedua: ini pendapat kebanyakan ahli tafsir, bahwa mereka benar-benar berubah menjadi monyet yang tidak beranak, tidak makan dan minum, dan hidup tidak lebih dari tiga hari.
Maka berdasar itu, pantaslah zionis Yahudi yang menduduki tanah Palestina itu disebut “monyet”, atau punya watak dan hati menyerupai monyet. Karena cuma “monyet hina” yang bisa melakukan perbuatan tanpa nilai kemanusiaan. Gaza saat-saat ini jadi saksi kebiadaban monyet-monyet itu… Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni