PWMU.CO – Haedar Nashir: Dakwah Global Harus Berwajah Kultural. Hal itu mengemuka dalam Syawalan bersama Diaspora Muhammadiyah Eropa, bertema Diasporamu Eropa sebagai Lokomotif Penguatan Islam Berkemajuan untuk Mencerahkan Semesta, Ahad (16/5/21).
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menerangkan perlunya mentransformasi strategi dakwah. Yaitu dari dakwah lil muaradhah ke dakwah lil muwajjahah. Maksudnya, ada pergeseran strategi dari pendekatan dakwah yang reaktif-konfrontatif menjadi pendekatan yang proaktif-konstruktif.
“Paradigma dasar ini memerlukan reformulasi dari teman-teman yang ada di kawasan yang memang sangat antagonis seperti di Eropa (negara-negara Barat),” ungkapnya kepada para peserta—diaspora aktif yang tergabung dalam 10 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) se-Eropa. Yaitu: PCIM United Kingdom, Turki, Jerman Raya, Prancis, Belanda, Spanyol, Hongaria, Rusia, Ceko, dan Swiss.
Kemudian, Haedar menyebut rujukan teologis potongan Surat Ibrahim 4:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ
Artinya, “Tidak diutus Rasul itu kecuali dengan bahasa kaumnya.”
Dia menjelaskan, yang dimaksud ‘bahasa kaumnya’ yaitu mempertimbangkan kondisi budaya, tradisi, dan alam pikiran. Inilah, menurutnya, formulasi dakwah kultural.
Haedar menekankan perlunya dakwah kultural yang bersifat global, sehingga PCIM perlu menerapkan beberapa langkah berikut, termasuk dalam konsolidasi diaspora.
Konsolidasi Organisasi
Pertama, konsolidasi organisasi dan jaringan bagi PCIM yang selalu jadi bahan diskusi. Hanya saja, menurut Haedar ada yang perlu menjadi perhatian. Yaitu saat PP Muhammadiyah mengesahkan PCIM-PCIA, konsep dasarnya berformat perhimpunan atau pergerakan.
Artinya, bukan berformat organisasi rigid seperti di tanah air, sehingga para aktivis bisa lebih berselancar dan fleksibel. “Tidak terlalu terikat dengan hal-hal bersifat administratif,” kata dia.
Dia menegaskan, regulasi umum tetap berlaku. Hanya saja, bagaimana konsolidasi organisasi jaringan itu lebih hidup, mencair, dan mendorong kader-kadernya banyak terlibat.
“Dinamika perhimpunan dan pergerakan harus lebih kuat ketimbang birokrasi organisasinya,” ungkap Haedar.
Sebab, lanjutnya, ada tiga segmen anggota PCIM. Pertama, “yang datang dan pergi”, misal yang sedang bersekolah di luar negeri. Kedua, residen permanen. Ketiga, warga negara asing (penduduk setempat) yang bisa bergabung dengan Muhammadiyah, baik Islam maupun non-Islam.
Menurut Haedar, kalau anggota itu kena rumus birokrasi organisasi, bebannya terlalu berat. Sedangkan, kalau perhimpunan pergerakan, maka orang yang asing bahkan non-Muslim bisa ikut dalam lingkaran pergerakan.
“Kita nanti jadi pusat dialog! Setelah ikut dalam lingkaran perhimpunan jadi masuk Islam itu kan urusan hidayah Allah dan ikhtiar dialog kita,” tuturnya.
Formulasi Program Internasionalisasi Muhammadiyah
Kedua, melakukan formulasi program internasionalisasi Muhammadiyah. Haedar mengarahkan, hal ini bisa mulai dari penerjemahan pemikiran Muhammadiyah atau buku Islam. Baik dari bahasa Indonesia ke bahasa asing, dan sebaliknya.
Haedar mengingatkan, meski pekerjaan ini tampak mudah, tetapi praktik menerjemahkannya tidak mudah. “Bukan soal skill (keterampilan) menerjemahkan, tapi kadang ada kendala waktu. Buku tipis saja nggak jadi-jadi diterjemahkan,” katanya.
Mengembangkan program AUM
Ketiga, mengembangkan program amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang menjadi entry point (pintu masuk) internasionalisasi Muhammadiyah. Haedar berpendapat, amal usaha merupakan instrumen paling objektif. Sehingga, biasanya juga yang banyak diterima masyarakat.
Pengembangan Wajah Kultural: Jumlah itu Penting!
Menurut Haedar, bagaimana mengembangkan paradigma diaspora Muhammadiyah yang bersifat atau berwajah kultural itu penting. Sebab, asumsinya selama ini orang Muhammadiyah hanya sedikit. “Ya nggak apa, kita selalu bangga, ‘sedikit asal berkualitas’, tapi kan bagusnya ‘agak banyak tapi berkualitas’,” ujar dia.
Haedar menegaskan, jumlah banyak itu perlu dan bisa dicapai, tapi perlu pendekatan dakwah yang baru, termasuk di Indonesia.
“Saya berharap, teman-teman yang di luar negeri nanti (ketika pulang) ke Indonesia, membawa alam pikir yang lebih maju, moderat, menyemesta. Kalau sebaliknya, lebih muaradhah, konservatif, nanti malah legitimate orang-orang di sini,” jelasnya.
“Tuh, lihat! Orang yang di luar (negeri) aja seperti itu, hati-hati lho,” ujarnya mencontohkan, “X dari Spanyol (misal), pulang ke Indonesia jadi konservatif, itu jadi rujukan.”
Dampaknya, menurut Haedar, mubaligh-mubalig makin ‘miopik’ atau berada di lorong gelap. “Padahal tembok besar dan ajaran Kiai Dahlan kita ‘Islam berkemajuan’ sejak awal,” ujarnya.
“Saya tidak ingin itu terjadi di Muhammadiyah,” tegasnya.
Wajah Kultural Diaspora Muhammadiyah
Haedar megimbau untuk mendiskusikan titik temunya kalau sedang ada masalah. “Kita kan percaya pada Islam, merujuk pada al-Quran, sunnah, dan ijtihad,” ucapnya.
Selain itu, dia juga mengingatkan, “Instrumen… kita sudah punya, dirumuskan dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.”
Haedar kemudian mengimbau peserta dan teman-teman di Saudi Arabia dan Timur Tengah agar memelopori tafsir bayani, burhani, dan irfani; tafsirnya at-Tanwir Tarjih, sehingga bisa menjadi rujukan.
Dengan begitu, lanjutnya, nanti diaspora kader Muhammadiyah yang tinggal di Barat dan seluruh negara, maupun yang kembali ke Indonesia, menjadi vitamin baru atau gizi yang berkualitas tinggi untuk kemajuan Muhammadiyah ke depan.
Karena, zaman nanti sudah maju, kalau alam pikiran masih dalam tempurung maka tidak bisa mengimbangi. “Tua, tapi alam pikirannya tidak akil baligh dalam merespon perkembangan dan kehidupan,” ujarnya.
Haedar menegaskan, hidup tidak sederhana, kompleks. “Anda harus melihat kehidupan itu bukan hanya dalam menafsirkan kehidupan dan hadits, (tapi) juga menafsirkan realitas sosial dengan bayani, burhani, dan irfani,” tuturnya.
Akhirnya, dia meluruskan, rahmatan lil alamin bukan hanya adagium, tapi sebuah perspektif baru ke depan yang ketika seseorang mengkajinya bisa melahirkan berbagai pemikiran yang menyelamatkan dunia dan membawa pandangan-pandangan perdamaian. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni