Melawan Sekulerisasi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Komentar seorang pensiunan jenderal tua baru-baru ini bahwa penjajahan atas Palestina bukan urusan Republik ini adalah satu gejala penting sekulerisme yang mewujud dalam sebuah glorified tribalism yang disebut nasionalisme.
Cinta pada tanah air di mana kita dilahirkan adalah dorongan alami yang sangat kuat, padahal di bagian mana kita dilahirkan dan warna kulit kita bukan hasil keputusan kita atau bahkan orangtua kita.
Oleh karena itu Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan tugas menjaga seluruh bangsa dan tumpah darah sekaligus tugas menghapus penjajahan di muka bumi perlu diimbangi dengan tugas membangun ketertiban dunia dari ancaman jangoisme kaum Zionis yang chauvinistik.
Gejala yang sama sedang muncul dalam bentuk white supremacist di AS juga di Eropa yang memperlakukan suku lain yang berwarna seolah binatang.
Bahkan jauh sebelum proklamasi, Islam adalah anasir anti-penjajahan yang paling menjengkelkan bagi Belanda. Diponegoro menunjukkan bahwa melalui pondok-pondok pesantren, Islam mampu memberi inspirasi perlawanan yang sangat efektif sehingga membangkrutkan VOC.
Islam pula yang memudahkan penerimaan berbagai suku di nusantara ini untuk menerima sebuah gagasan baru: bangsa Indonesia. Islam telah menempatkan sukuisme di belakang kesadaran bangsa Indonesia yang bhinneka untuk tetap tunggal ika.
Perlu dicermati bahwa para jango penjajah hingga hari ini tidak pernah berhenti untuk menjarah dan memperbudak bangsa ini. Instrumen penjajahan yang terpenting adalah program sekulerisasi besar-besaran melalui sistem persekolahan zaman Belanda hingga Orde Baru.
Persekolahan ini telah mengubah pendidikan sebagai upaya menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka, menjadi sekadar instrumen teknokratik untuk menyediakan tenaga kerja yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik dan kepentingan investor. Melawan sekulerisasi pahami persoalan itu.
Korban Penting
Dari perspektif Islam, korban terpenting dari proyek sekulerisasi terstruktur, sistemik dan masif adalah keluarga dan masjid. Tugas tarbiyah keluarga yang oleh Islam diposisikan sebagai madrasah yang pertama dan utama mulai tersisihkan.
Sementara itu masjid direduksi perannya menjadi sekadar rumah ibadah sempit untuk persiapan minimalis bagi kehidupan setelah mati. Masjid tidak dilihat sebagai institusi dengan visi dan misi pelayanan, pencerdasan dan pemberdayaan umat.
Pada saat masjid mengalami degradasi institusional, umat Islam beralih membangun organisasi massa dan partai politik untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi umat. Selama sekolah masih menjadi institusi budaya utama bangsa ini, maka upaya ormas dan parpol Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Islam akan sia-sia.
Buktinya bisa kita lihat. Baik ormas Islam maupun parpol Islam hanya menjadi pemain figuran dan pelengkap penderita dalam lansekap ekonomi dan politik nasional selama 50 tahun terakhir ini.
Pada saat monopoli radikal persekolahan atas sistem pendidikan nasional berlangsung terus, berkembang pula monopoli radikal pasar politik oleh partai politik dan monopoli ekonomi oleh segelintir elite korporasi yang berkerumun di Jabodetabek.
Monopoli selalu merugikan pembeli: biaya pendidikan, ongkos politik, dan ekonomi makin membumbung tinggi. Korupsi marak, kemiskinan dan ketimpangan persisten, serta kesenjangan spasial lestari melebar.
Umat Islam mesti segera menyadari bahwa upaya membela dan memerdekakan Palestina harus dimulai dengan memerdekakan diri sendiri. Itu bisa dimulai dengan menguatkan keluarga sebagai satuan edukatif dan satuan produktif.
Lalu kita kuatkan masjid-masjid sebagai institusi, bukan sekadar properti. Tidak mungkin kita melawan perang proxy penjajah ini hanya dengan ormas dan parpol yang perannya sudah dijebak oleh regulasi liberal kapitalistik sejak reformasi.
Ormas dan parpol bisa melengkapi dan memfasilitasi keluarga dan masjid sebagai basis perlawanan melawan sekulerisasi ini. Bukan melemahkannya. Baik sekolah, ormas dan parpol boleh tidak ada, tapi keluarga dan masjid harus tetap ada.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya, 25/5/2021
Editor Sugeng Purwanto