PWMU.CO – Hamas-Fatah dan Kisah Perjuangan Bangsa Unggul Palestina dibahas Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Hajriyanto Yasin Thohari pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah bertema Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah, Jumat (21/5/21).
Hajri membahasnya saat tengah menjawab pertanyaan Muhammad Yunan Yusuf, Guru Besar Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada sesi diskusi, Yunan Yusuf bertanya akar masalah Hamas dan Fatah tidak pernah bersatu dari dulu hingga sekarang.
Menurut Hajri, penyebabnya cukup kompleks. Orang biasa menyebut biang kekalahan itu perpecahan di Palestina. Dulu, ketika Palestina bersatu, sementara yang terpecah-pecah bangsa Arab, orang juga mengatakan, bagaimana mungkin Palestina akan menang kalau negara-negara Arab terpecah-pecah.
Persaingan Antarnegara Arab
Saat itu, Hajri mengungkap, banyak tulisan berjudul “Persatuan Palestina Butuhkan Persatuan Arab”. Jika Palestina bersatu, tapi kalau negara-negara Arab di sekitarnya tidak bersatu, ya tidak bisa. Sebab, wilayah negara-negara Arab mengelilingi wilayah Palestina.
Hajri mengingatkan, sebenarnya, negara-negara Arab itu juga saling bersaing di antara mereka untuk memimpin dunia Arab, bahkan Timur Tengah. Orang tidak bisa menafikkan aspirasi Iran untuk memimpin Timur Tengah. Dunia Islam, bahkan Turki, Iran, Arab Saudi, Mesir saja punya aspirasi dunia Islam.
Menurutnya, sejak masa Saddam Husein sampai sekarang masih terasa persaingan itu. Maka, Hajri menyatakan, perhatian tidak bisa hanya ditujukan kepada bangsa Palestina. Mengingat, mereka sudah melaluinya hampir selama 80 tahun.
Ragam Metode Palestina
Hajri memaparkan, bangsa Palestina sudah pernah menggunakan metode apa saja untuk berjuang. Metode perang senjata, metode keras nyaris terorisme—dulu dengan membajak pesawat—-juga pernah. Ini Palestina lakukan karena saking jengkelnya, dunia ini tidak memperhatikannya.
Selain itu, metode diplomasi juga pernah Palestina upayakan. Hasilnya, cuma perjanjian Oslo yang ditandatangani di Amerika. Sebelum perjanjian Oslo, pemimpin-pemimpin Palestina itu berada di luar negeri dan tidak bisa masuk ke negerinya.
Dulu, ceritanya, pemimpin itu pernah di Lebanon saat perang, kemudian terusir. Lalu mengungsi ke Tunisia. Di sana melakukan perundingan, sehingga lahir otoritas Palestina.
Setelah itu, Yasser Arafat, sang presiden, bisa pulang, tapi tidak boleh punya senjata dan angkatan bersenjata. Tidak boleh menarik pajak sendiri, yang menarik pajak Israel. Baru setelah Israel mengumpulkan pajaknya, diserahkan ke Palestina.
Hajri menerangkan, Palestina juga pernah menggunakan cara dialog. Negara-negara Arab menggunakan diplomasi, mengajukan Arab Initiatives (Inisiatif Arab) tahun 2007. Kemudian, tahun 2008 Liga Arab mengadopsi. Cukup bagus, menurut Hajri, tapi Israel tidak mau sama sekali.
Palestina Gunakan Semua Ideologi
Hajri menerangkan, semua ideologi juga pernah Palestina gunakan. Misal, nasionalisme yang sekuler, Urubah-Arabisme yang sekuler juga, dan sosialime.
Bahkan, lanjutnya, dulu pernah ada tokoh paling hebat di Palestina George Habash. Dia anak muda Palestina yang beragama Kristen, pemimpin Front Nasional Kebebasan Palestina. Kata Hajri, George Habash paling ditakuti Israel karena dia bersenjata.
Hajriyanto menegaskan, bangsa Palestina secara agama tergolong majemuk. Yang Islam macam-macam, yang Kristen juga macam-macam. Sekte dan ordonya juga macam-macam. Tapi, Hajri mengatakan, berbagai ideologi itu juga tidak berhasil.
Perpecahan Bukan sejak Dulu
Hajri menerangkan, setelah beragam metode dan ideologi itu tidak berhasil, tahun 1987, Syekh Yassin pakai ideologi baru: Islam. Sosok pemimpin itu mendirikan organisasi yang dikuatkan sebuah piagam bernama Hamas.
Dalam bahasa Arab, Hamas merupakan singkatan Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyah. Harakah artinya gerakan, seperti Muhammadiyah. Muqowwamah artinya perlawanan.
Kalau menyebut ada perpecahan, lanjutnya, bukan dari dulu. Saat pakai ideologi nasionalisme semua bisa ditampung dalam satu gerakan untuk melawan penjajahan itu. Tapi karena gagal, bahkan saling curiga, politik finansial juga cukup tinggi.
Bahkan, Hajri mengungkap, banyak di antara bangsa Palestina yang sukses. Di luar negeri banyak yang jadi profesor, doktor, sastrawan, bahkan komedian. “Sebenarnya cerita bangsa Palestina tidak melulu sebuah elegi,” ungkapnya.
Hajri menyatakan bangsa Palestina adalah bangsa yang unggul. Banyak orang-orang hebat dari Palestina. Di antara mereka yang berhasil, banyak yang mendanai gerakan-gerakan itu. Sayangnya, saling curiga di antara mereka juga sangat besar.
“Itu cara perang urat saraf character assasination (pembunuhan karakter). Kalau bukan bangsa tangguh, sekian puluh tahun itu, berantakan pecah!” ujar Hajriyanto.
Perpecahan, Beda Ideologi dan Metode
Hajri bercerita, setelah pada tahun 1987 Hamas berdiri, kemudian pada tahun 1990-an Hamas memenangkan pemilihan umum. Tapi negara-negara Barat tidak mau mengakui kemenangan Hamas. Maka, terjadilah perang Hamas dan Fatah.
Sebetulnya, perpecahan itu kira-kira mulai terjadi tahun 2000-an. Dari 80 tahun lebih perjuangan, mereka pecah setelah 20 tahun. “Saya melihatnya sebagai perpecahan akibat beda metode dan ideologi perjuangan,” terangnya.
Mestinya, menurut Hajri, mereka menganggap ini sebagai beda instrumen perjuangan saja. Mengapa sampai mengakibatkan jadi peperangan, itulah yang sangat disayangkan.
Maka dari itu, Hajri mengingatkan, menggunakan semangat agama juga perlu kecerdasan. “Itu tidak simpel. Belum lagi perkembangan bangsa Arab juga jatuh-bangun,” komentarnya. (*)
Hamas-Fatah dan Kisah Perjuangan Bangsa Unggul Palestina: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni