PWMU.CO – Israel Lakukan Genoside Sistematis dengan Penjara Raksasa Gaza. Demikian Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin MA mengungkapnya pada Diskusi Masa Depan Palestina dengan topik Dampak Konflik Palestina pada Pemenuhan Hak Anak dan Perempuan, Sabtu (29/5/21).
Ketua Komisi HAM Organisasi Kerja sama Islam (OKI) itu menguraikan hak-hak dasar yang Israel langgar. “Mulai hak politik, sipil, ekosob, bahkan bisa disebut genosida yang tersistematik,” terangnya.
“Kita bisa melihat, orang yang sebetulnya ada di dalam penjara yang besar itu ada di Gaza, yang bisa disebut genosida perlahan-lahan,” sambung Ruhaini pada kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah (LPPA) itu.
Bahkan menurutnya, tidak hanya genosida, tapi juga bisa terjadi ekosida. Yaitu pemusnahan fertilitas tanah di Palestina. Padahal, buah tin dan zaitun terbaik berasal dari Palestina.
Kekerasan Domestik
Ruhaini menyatakan, semua pelanggaran itu juga menimpa anak dan perempuan. “Karena perempuan selalu mengalami extended violence (perpanjangan kekerasan), dari public violence (kekerasan publik) menuju domestic violence (kekerasan domestik),” jelas Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia itu.
Dia menjelaskan, kekerasan domestik bisa bersifat fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Karena proses genosida begitu kuat, warga Palestina cenderung memiliki anak yang banyak. Ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi ibu-ibu di Palestina.
Apalagi, tambahnya, diperburuk dengan sanitasi. Israel sekarang tidak hanya melakukan illegal settlement( pendudukan yang ilegal), tapi Israel juga membatasi kebutuhan air di Tepi Barat dan Gaza.
Perempuan dan Anak, Muara Siklus Pelanggaran HAM
Dia menegaskan, siklus dari semua pelanggaran HAM yang berat, sebetulnya menimpa perempuan berkali-lipat. Ruhaini tidak merinci. Tapi kemudian mengajak peserta membayangkan, siklus pelanggaran HAM dari seluruh HAM yang PBB tetapkan.
“Semuanya berpengaruh kepada perempuan. Maka, berpengaruh juga kepada anak-anak sejak dalam kandungan sampai lahir,” jelas Anggota Divisi Peningkatan Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015 itu.
Apalagi, imbuhnya, anak-anak terpapar kekerasan terus-menerus. Dia menegaskan, apartheid itu nyata. Setelah kunjungannya ke The House of Palestine dan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas di sana, ada berita rilis: ‘Komisi HAM OKI investigasi terhadap pelanggaran HAM dari Israel’. Akibatnya, mereka diblok dan tidak bisa masuk ke Yerusalem.
OKI Konsisten Dukung Palestina
Sebelum membahas persoalan perempuan dan anak itu, Ruhaini menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Ramallah dan Yerusalem pada tahun 2017.
Dia mengungkap, tujuan kunjungan OKI—organisasi yang cenderung fokus pada persoalan anak dan perempuan—saat itu. “Untuk melihat perlindungan di penjara, di mana anak-anak Palestina ditahan,” ujarnya.
Ruhaini menegaskan, OKI konsisten mendukung Palestina dengan “Two State Solution” di forum internasional. Bagaimana pun, hasil “Two State Solution” tidak memuaskan Palestina maupun Liga Arab.
Sebab, lanjutnya, yang diberikan ke Palestina lebih sedikit daripada yang diberikan ke Israel. Yaitu 45 persen untuk Palestina dan 55 persen untuk Israel, sehingga memicu perang.
Pembentukan OKI, sambungnya, untuk menyelamatkan al-Quds dan kemerdekaan Palestina. “Hal ini tidak mudah!” komentarnya.
Dia bercerita mendapat banyak pertanyaan seputar apakah Palestina sudah merdeka. Lantas dia menekankan, persoalan kemerdekaan dan tinggal di suatu wilayah itu berbeda.
“Sejak 1948, sebagai rekayasa politik, Palestina belum terbentuk. Karena masyarakat Arab pada umumnya tidak menerima. Jadi sampai saat ini Palestina belum menjadi negara yang utuh berdaulat,” ujarnya.
Kemudian, sambungnya, OKI mensponsori Palestina menjadi anggota terbatas PBB, sebagai observer, pada tahun 2012. Dia menyaksikan sendiri, bendera Palestina berkibar di New York dan Genewa pada tahun 2013. Meski sebenarnya, Israel tidak setuju dengan pengibaran bendera itu.
Realita Kontestasi Politik, PR OKI
Menurut Ruhaini, fragmentasi yang ada di Arab sebetulnya harus menjadi otokritik yang ada. “Ya kita mengatakan Palestina dijajah Israel. Terjadi kolonialisme yang luar biasa. Tapi persoalannya, selanjutnya apa?”
Lantas gimana cara Palestina merdeka? Untuk menjawab ini, Ruhaini menyarankan untuk melihat liputan media. Misal, liputan Tempo tahun 2006 tentang pengaruh Bulan Sabit Syiah.
“Kita tidak sedang anti-Syiah, tapi kita melihat realita kontestasi politik di Timur Tengah sebagai residu Perang Dingin,” ujar Staf Khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional periode 2018 – 2019 itu.
Kemudian dia menjelaskan, Saudi Arabia dengan Iran tidak saling memiliki kantor perwakilan. Tidak ada kantor perwakilan Saudi di Iran dan sebaliknya.
Menurut Ruhaini, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) OKI dan masyarakat Muslim untuk mengurai kontestasi dan ketegangan yang sebetulnya mempengaruhi kekuatan OKI membela Palestina.
Di samping itu, beberapa negara anggota OKI banyak yang sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Seperti Turki, Jordania, Maroko, dan Sudan.
“Ini menjadi PR tersendiri bagaimana mengonsolidasi dan mengorkestrasi dukungan OKI yang secara politik tetap diksinya, tapi dalam hubungan bilateral ini menjadi PR,” ungkapnya.
Solidaritas Esensial Vs Kebutuhan Eksistensional
Ruhaini mengajak refleksi, apakah solidaritas mekanik esensial dengan basis premordial Islam itu masih cukup efektif dibandingkan dengan interest existational (tepuk kepentingan) bilateral yang ada di Timur Tengah, baik secara ekonomi maupun keamanan.
Karena seperti yang diketahui, lanjutnya, negara-negara di Teluk tidak bisa bersatu. Tidak seperti Persia yang bisa bersatu menjadi Iran, wilayah di Jazirah terbelah menjadi negara-negara kecil. “Sleman lebih besar dari Kuwait, Bahrain sebesar Yogya,” ungkapnya.
Kemudian, kenapa Amerika cinta mati sama Israel? Menurutnya bisa dijelaskan dengan bagaimana wilayah-wilayah kecil di jazirah itu sebetulnya membutuhkan back up keamanan. Sayangnya, back up keamanan itu satu paket dengan pengakuan Israel.
“Perang dingin itu tidak sepenuhnya hilang. Tembok itu runtuh, tapi secara politik masih ada,” ujarnya.
Harapannya, negara-negara itu punya bargaining power dengan Israel demi masa depan Palestina, memungkinkan dalam satu kontenstasi antara solidaritas esensial dengan kebutuhan eksistensional.
Pergeseran Menjadi Isu Agama
Berdasarkan pengamatan Ruhaini, isu Palestina bergeser dari isu kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang demokratis dan plural. Karena, di wilayah Palestina sendiri ada masyarakat Muslim, Kristen, dan Yahudi.
Menurut Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014-2016 itu, harus melihat ini bukan persoalan semata-mata Yahudi, melainkan masalah rezim Zionis Israel. Karena di Palestina juga ada masyarakat Yahudi yang tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan Zionis.
Kira-kira, tambahnya, dalam 15 tahun terakhir, di Israel dipegang Likud, partai kanan Israel yang sangat fundamentalis. Partai ini tidak menerima Two State Solution.
Kemudian, lanjutnya, ini dibalas fraksi di Hamas, seperti al-Qosam yang juga tidak menghendaki Two State Solution. Jadi sekarang terjadi The clash of militancy dari dalam Israel dan Palestina.
Menggeser isu Palestina menjadi isu agama, apalagi isu Islam itulah yang menggerus pertahanan Palestina. Jadi dia mengimbau agar tidak menarik ini menjadi isu Islam. “Saat ditarik jadi isu Islam, dukungan masyarakat sipil Kristen moderat di Amerika itu menjadi surut,” tuturnya. (*)
Israel Lakukan Genoside Sistematis dengan Penjara Raksasa Gaza: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni