PWMU.CO – Din Syamsuddin: Islam Berkemajuan Digagas Langsung KH Ahmad Dahlan. Hal ini dia sampaikan pada Webinar Pra-Musyawarah Cabang (Muscab) I PCIM Maroko, Rabu (9/6/21) malam.
Bicara soal Islam berkemajuan sebagai ciri Muhammadiyah—digagas langsung oleh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan—Din Syamsuddin berpendapat Islam tidak perlu predikat untuk dicantumkan di belakangnya. Baik predikat yang bersifat kualitatif, maupun predikat yang dikaitkan dengan dimensi ruang dan waktu.
Predikat Mereduksi Arti
Prof Din menerangkan alasannya, karena sekali ada predikat, ada sifat, maka akan mengandung arti reduksionis (menyempitkan makna Islam itu sendiri).
Maka, predikat itu menurutnya harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tentatif dan temporer. “Boleh jadi, kapan-kapan diubah. Sejak 2010, saya sudah mendorong Islam berkeunggulan,” ujarnya.
Pengubahan ‘predikat’ itu, lanjutnya, tidak perlu menunggu Islam berkemajuan terwujud, karena mungkin akan lama. “Langsung saja berhimpit!” ujarnya.
Din meluruskan, predikat-predikat semacam itu penting hanya sebagai aksentuasi. Untuk menjadi referensi dan fokus perjuangan kita dalam melangsungkan dakwah Islamiah.
Solusi Masalah Peradaban Mulia
Awalnya, kata Prof Din, KH Ahmad Dahlan menggagas ‘Islam yang berkemajuan’. Dia menegaskan penggunaan ‘yang’ di sana, yang punya konotasi berbeda dengan Islam berkemajuan. Tapi waktu itu, dia mengungkap, Pimpinan Pusat Muhammadiyah memilih yang lebih ringkas, tanpa ‘yang’.
Oleh Ahmad Dahlan, Islam berkemajuan merupakan Islam yang ‘shalih likulli zaman wamakan‘. Artinya, selalu hadir menjawab permasalahan ruang dan waktu.
“Hadirnya menjadi solusi, a problem solver, terhadap masalah-masalah high civilization, peradaban yang mulia dalam lintasan sejarah,” terangnya.
Shalih berarti cocok atau tepat untuk segala ruang dan waktu. Jika dipahami secara keliru, maka dimaknai sebagai Islam yang fleksibel. Sebab, melakukan adjusment (penyesuaian diri) dengan kondisi.
Dasar Formulasi Ajaran Islam
Topik dan ayat yang Ahmad Dahlan ajarkan pertama kali adalah al-Ashr yang berhubungan tentang waktu. Baru kemudian, Ali Imran ayat 110 yang berbicara tentang khairu ummah. Selanjutnya, al-Maun, yaitu tentang pendusta agama dan perlunya perhatian terhadap yatim-piatu.
Saat Muhammadiyah mulai didirikan, maka dicari dasarnya. Itulah Ali-Imran ayat 104, وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ
Artinya, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan….,”
Dia menganalisis, jika melihat sistematika urutannya, kalau seandainya benar, menurutnya itu penting sekali. “Dari sini bisa dibangun formulasi ajaran Islam yang relevan dengan peradaban,” ujar dia.
Maka Din menegaskan, berkemajuan itu proses, bukan akhir. “It’s not an end!”
Instrumen Pembangunan dari Tauhid Lahirkan Akhlak
Prof Din menjelaskan, Islam berkemajuan adalah sebuah instrumen untuk membangun kehidupan peradaban yang mulia. Dasarnya, tauhid—ajaran tentang keesaan Allah, sekaligus pengesaan Allah. Tauhid lebih dipahami bercorak wahdaniyatullah (keesaan Allah).
“Tapi sebenarnya, mengandung arti aktif-proaktif. Jadi bagaimana kita mengesakan Allah, aktif-proaktif, dalam kehidupan ini,” ujarnya.
Dalam filsafat, sambungnya, ontologinya adalah tauhid. Sedangkan, epistemologinya adalah pendekatan atau pemikiran bagaimana ‘mengesakan’ Allah—lebih aktif, bukan ‘keesaan’.
Sehingga akan berkaitan dengan hubungan Allah (Pencipta) dan sang makhluk. “Bagaimana hubungan manusia sebagai hamba dengan al-makbud,” tambahnya.
Din mengibaratkan, two way traffic, naik dan turun. Naik, berarti ada transformasi diri. “Beribadah sampailah sedekat-dekatnya dengan Allah. Begitu sampai di sana, harus diturunkan lagi, al-Khaliq kepada al-makhluk , takhaluq bi ahlaqillah itulah yang melahirkan akhlak,” ujarnya.
Maka, output Islam berkemajuan harus melahirkan pribadi-pribadi berakhlak, sumber daya yang unggul dan berkualitas. “Inilah agen-agen perwujudan peradaban, yang dapat memastikan terwujudnya peradaban utama oleh khairu ummah, umat Islam sebagian umat yang terbaik,” jelasnya.
Trisula Kerangka Ajaran Islam
Maka, Din mengajukan kerangka ajaran Islam. Pertama, tauhid sebagai dasar. Kedua, al-khilafah, wakil untuk membangun bumi. Din menekankan, khilafah yang dimaksud untuk kemanusiaan atau peradaban (civilizational caliphate), bukan politik yang reduksionis.
Ini seperti yang dia jelaskan pada: Din Syamsuddin: Restorasi Peradaban Dunia dengan Civilizational Caliphate
Khilafah bagian dari ajaran Islam yang mulia, ajaran dari al-Quran. Setelah Din Syamsuddin selidiki lebih lanjut, ternyata juga ada pada semua agama Samawi, khususnya Yahudi dan Nasrani.
Karena itu, Din ingin ajukan pada tataran ketiga dari sistematika ajaran Islam. “Berdasarkan tauhid kita bercita-cita membangun khilafah peradaban, dan pada tingkat ini membangun peradaban, khilafah peradaban, tidak hanya bagi dan oleh kaum beriman. Tapi oleh seluruh manusia,” jelasnya.
Karena inni jaailun fil ardhi khalifah, lanjut Din, tidak dikaitkan dengan keyakinan keagamaan. “Inilah kerja sama lintas dialog, bahkan operation among civilization dalam rangka membangun sifat-sifat peradaban berdasarkan nilai-nilai moral,” tegasnya.
Ketiga, pentingnya al-Islah , yaitu kerja-kerja perbaikan, pembangunan, rekonstruksi, dan restorasi. Din menekankan, konsep al-Islah, menjadi muslih, sangat sentral dalam ajaran agama Islam. “Sebelum ayat-ayat tentang inni jaailun fil ardhi khalifah adalah ayat-ayat tentang al-Islah,” tuturnya.
Din mengatakan, output dari al-Islah itu amal shalih. Din kemudian mengutip, “Takunu minal muslihin Wala takunu minal mufsidin wala tufsidu fil ardhi Ba’da islahiha.”
Amal shalih selalu dikaitkan dengan iman. Sebagaimana Din mengutip penggalan ayat al-Quran yang menyatakan keterkaitan iman dan amal shalih, Alladhi naamanu waamilush shaliha.
Dimana posisi Islam berkemajuan? Kalau tadi ada kerangka ontologi, epistemologi, ini adalah aksiologi atau mungkin paradigma etik.
Ujung Tombak Al-Ishlah
Menurut Din, ada trisula, tiga ujung tombak al-Islah yang perlu kita lalukan. Pertama, al-Ashriyah, harus kerja peradaban yang dinamis dan maju, yang berorientasi pada kualitas. Islam sangat menekankan kualitas. Dimensinya quality oriented.
“Kelompok minoritas bisa mengalahkan mayoritas karena mereka berkualitas, atas izin Allah tentunya,” ujarnya.
Ujung tombak kedua, mengembangkan wasathiyatul Islam. Perlu kerja yang sifatnya tengahan, jalan tengah Islam. Dia mengaku kurang setuju dengan istilah moderat.
Kemudian juga melibatkan action oriented, seperti yang Muhammadiyah lalukan sejak awal kelahirannya. Walaupun, memerlukan penajaman atau penguatan pada bagian-bagian tertentu sejalan dengan keadaan.
Terutama, sambungnya, kita menghadapi peradaban yang rusak sekarang dan peradaban yang terlalu berwajah antroposentristik, kurang berwajah teosentristik. Sehingga terjadilah kerusakan, pandemi, dan lain sebagainya.
Dia akhirnya menyimpulkan, “Jadi at-tauhid, kemudian cita-cita membangun khilafah peradaban dengan penekanan pada kerja-kerja kebaikan dan perbaikan (al-Islah, yang berdimensi kemajuan) jalan tengah, sekaligus berorientasi pada al-amaliyah (kerja nyata).” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni