Lu Lagi Lu Lagi oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Beberapa hari terakhir ini muncul wacana Jokowi 3 periode. Sekalipun seperti dulu, Jokowi menampik untuk mengakui keinginannya, tapi ada sekelompok orang yang menamakan diri Jokpro yang mulai mempromosikan Jokowi untuk nyapres lagi pada Pemilu 2024.
Bahkan kelompok pendukung lainnya yang menamakan diri sebagai Joman telah menuding bahwa Jokpro adalah kumpulan para Brutus. Publik dibingungkan oleh wacana yang seolah kontradiktif, tapi sebenarnya saling mendukung: Jokowi 3 periode.
Padahal Pilpres masih tiga tahun lagi. Saat sebagian kaum demokrat yang masih waras mempersoalkan presidential threshold 20 persen, wacana Jokowi 3 periode ini muncul sebagai konfirmasi atas agenda inkonstitusional itu.
Hambatannya cuma pada pasal 7 UUD 2002. Harus ada amandemen terbatas untuk membuka peluang bagi jabatan presiden 3 periode. Lalu 4, 5 periode dan seterusnya. Mungkin sebagian pendukung fanatik Jokowi balas dendam pada pendukung fanatik Soeharto.
Bagi true leaders, wacana ini jelas menunjukkan krisis kepemimpinan nasional. Seolah tidak ada capres lain selain Lu Lagi Lu Lagi. Krisis itu adalah kegagalan presiden melakukan kaderisasi. Yang muncul adalah para dealers, not leaders. Padahal kaderisasi adalah tugas pokok para pemimpin. Artinya, sebagai pemimpin tertinggi, Jokowi telah mengambil semua kredit baginya sendiri sehingga presiden berikutnya tidak bisa selain dirinya.
Pada saat yang sama para politikus dan pemujanya mungkin lupa adagium Lord Acton : power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Presiden adalah jabatan sangat powerful. Terlalu lama menjabatnya mengundang risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Adagium yang lain adalah bahwa di sekitar Julius Caesar, ada Brutus yang berkepentingan agar Sang Kaisar tetap berkuasa sambil mengintai kesempatan untuk menikamnya dari belakang. Apalagi di sekitar Nero.
Prinsip Republik yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 sesungguhnya adalah sebuah platform agar pergantian kekuasaan bisa terjadi sebagai peristiwa yang wajar. Oleh karena itu Republik dapat bertahan dalam masyarakat yang egaliter dan meritokratik.
Dalam masyarakat feodal, presiden nyaris hampir seperti raja yang boleh menjadi raja seumur hidup. Penggantinya adalah anaknya sendiri. Kecenderungan yang dibawa oleh wacana presiden 3 periode itu adalah kemunduran prinsip Republik.
Ingat pesan Marcus Aurelius pada Maximus Decimus sang Gladiator: apakah Roma bisa menjadi Republik kembali?
Sejak amandemen yang melahirkan UUD 2002, sederetan maladministrasi publik makin menjadi-jadi. Hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik. Republik hanya bisa tumbuh oleh administrasi publik yang piawai melayani publik. Kali ini amandemen parsial atas pasal 7 itu bukan saja maladministrasi publik, tapi bakal menjadi malapetaka bagi Republik.
Jatingaleh, Semarang 20/6/2021
Editor Sugeng Purwanto