PWMU.CO – Pemikiran kontroversial Siti Moendjijah tentang poligami dan pemikiran-pemikiran baik lainnya tentang pernikahan. Siti Syamsiyatun Chirzin PhD memaparkannya pada kajian virtual Kapita Selecta Dakwah #23, Senin (21/6/21) pagi.
Kajian yang diselenggarakan Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Budi Mulia itu mengangkat tema “Perjuangan Dakwah Siti Moendjijah dan Siti Hajinah“.
Di ruang Zoom Cloud Meetings itu, hadir beberapa tokoh. Antara lain, pakar sejarah perjuangan umat Lukman Hakiem dan aktivis Pimpinan Pusat Aisyiyah Widyastuti SS.
Perceraian akibat Pernikahan Dini
Dia menyatakan, saat berpidato di Kongres Perempuan tahun 1928, Sitti Moendjijah mengkritik banyak perceraian karena banyak perkawinan anak-anak.
Penyebabnya, ketika anak-anak yang menikah itu menghadapi persoalan, mereka belum mampu mengatasinya, sehingga banyak terjadi perceraian. “Mungkin kalau beliau hidup saat ini juga semakin pusing, kok perceraiannya semakin tinggi,” komentarnya.
Dia menyatakan, menurut Sitti Moendjijah banyak hal yang perlu disiapkan sebelum menikah. Inilah menurutnya wujud Sitti Moendjijah memperjuangkan tentang perkawinan anak.
“Baru terlaksana satu abad kemudian. UU Perkawinan, dulu 16 (tahun), setelah berjuang sekian puluh tahun baru bisa dinaikkan (batas usia menikahnya),” terangnya.
Pernikahan Bukan Hanya Pemenuhan soal Seksual
Selain itu, dia menerangkan Siti Moendjijah melihat dan mengkritik fenomena yang terjadi di Barat, terutama di Inggris dan Amerika. Perceraian banyak terjadi karena fokus pada syahwat.
Artinya, pernikahan hanya untuk pemenuhan kebutuhan seksual. Padahal, menurut Siti Moendjijah, pernikahan bukan hanya untuk itu tujuan saja.
“Kalau tidak happy dengan itu, akan bercerai. Itu yang dikritik,” ungkapnya.
Di samping itu, menurut Sitti Moendjijah, jalan keluar menyelamatkan perkawinan bukan dengan seks bebas atau seks di luar nikah.
Bela Poligami
Siti Syamsiyatun menyatakan, waktu itu ada konten kontroversial tentang poligami yang menjadi perdebatan. Sempat terbit tulisan “Ketika para Ibu-Ibu Muhammadiyah Membela Syariat Poligami di Kongres Perempuan”. Ini berawal dari Siti Moendjijah yang membela poligami.
Setelah dia telaah lebih lanjut, maksud pembelaan Siti Moendjijah tentang poligami sangat berbeda dengan pembelaan poligami saat ini. Kini, narasi-narasinya dalam rangka memenuhi kebutuhan laki-laki.
Siti Moendjijah mulai membahasnya dari hal perbedaan potensi jasmani laki-laki dan perempuan. Kemudian, dia juga menegaskan untuk mengurangi potensi beban berlebih kaum perempuan.
“Secara jasmani, perempuan melanjutkan reproduksi dengan hamil, melahirkan, menyusui. Laki-laki dengan pencarian nafkah. Menurutnya ini bisa mengurangi beban berlebih,” jelasnya.
Meskipun, sambungnya, beliau juga tidak mengatakan harus seperti itu. “Tapi kenyataannya sekarang, ketika perempuan juga melakukan pekerjaan reproduktif dan produktif, sedangkan mindset laki-laki tidak ada perubahan, maka terjadi beban berlebih pada perempuan,” ucap dia.
Siti Syamsiyatun mengatakan, bapak-bapak berpikir seolah pekerjaan reproduktif dan kelanjutannya, mendidik anak dan mengurus rumah tangga adalah kodrat perempuan.
Padahal, banyak contoh dari Nabi Muhammad, beliau juga membuat makanannya sendiri, menjahit, membersihkan rumah, dan ngemong cucunya. “Saya kira kedekatan bapak dengan anak itu sekarang harus diperbanyak!” tegasnya.
Tidak hanya kedekatan ibu-anak, lanjutnya, tapi dengan bapak-ibu.
Poligami Melindungi Perempuan
Dia mengungkap pemikiran Siti Moendjijah, dalam al-Quran ada ayat yang tidak melarang poligami secara tegas. Siti lantas menginterpretasi, poligami untuk melindungi perempuan agar tidak menjadi permainan laki-laki.
Sebab, dari berita yang Siti Moendjijah kutip, ada banyak laki-laki yang mempermainkan wanita. Menggunakan wanita sebagai pembuatnya saja, tapi wanita itu tidak mendapat status apa-apa. “Laki-laki mendapat kenikmatan yang tanpa ada tanggung jawab, sementara perempuan dari ‘permainan’ itu hamil,” jelasnya.
Mendapat beragam respon, maka Siti Moendjijah menantang dengan mengatakan, “Apakah ada kebajikan dan penghargaan terhadap perempuan ketika dijadikan permainan oleh laki-laki dibanding mengawini perempuan itu?”
Dalam pidatonya itu, Siti menekankan, tidak ada sama sekali argumen Siti Moendjijah untuk memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Siti berpendapat, ada konsistensi argumen bahwa pernikahan tidak sekadar melegalkan hasrat seksual, melainkan terkandung banyak nilai di dalamnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni