22 Juni Teringat Piagam Jakarta dan Ki Bagus Hadikusumo oleh Ainur Rafiq Sophiaan, Wakil Ketua LHKP PWM Jatim.
PWMU.CO– Tanggal 22 Juni 1945 merupakan hari bersejarah di awal kelahiran Republik Indonesia. Hari itu tercapai kesepakatan tentang rumusan dasar negara dan teks naskah proklamasi. Kesepakatan itu disebut Piagam Jakarta.
Sebenarnya 22 Juni ini sangat layak dijadikan hari lahir Pancasila daripada 1 Juni. Tapi kekuatan politik telah membelokkan sejarah. Bung Karno sendiri menyatakan Piagam Jakarta adalah satu kesatuan dan ruh dari Pancasila itu sendiri.
Dalam proses kelahiran Piagam Jakarta, peran Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo sangat besar menengahi perbedaan kelompok Islam dan sekuler.
Pada sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo juga berpidato. Bukan hanya tiga orang, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno.
Dalam pidatonya Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Muhammadiyah menyampaikan, ”Jika tuan-tuan bersungguh-sungguh menghendaki negara Indonesia mempunyai rakyat yang kuat bersatu padu berdasar persaudaraan yang erat dan kekeluargaan serta gotong royong, didirikanlah negara kita ini di atas petunjuk-petunjuk al-Quran dan al-hadits seperti yang sudah saya terangkan tadi.”
Ki Bagus menekankan lagi, ”Bangunlah negara kita ini dengan bersendi agama Islam yang mengandung hikmah dan kebenaran”. (Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI): 1998).
Alasan Ki Bagus, Islam merupakan agama bagi mayoritas bangsa Indonesia, bahkan hukum Islam sudah hidup dan berlaku di Indonesia sebelum Belanda datang. Sehingga banyak sekali hukum Islam yang kemudian menjadi adat istiadat bangsa Indonesia.
Karena itu, menurut Ki Bagus, untuk menyesuaikan dasar negara Indonesia dengan jiwa rakyatnya, maka para perumus dasar negara harus mengetahui betul-betul adanya jiwa ke-Islaman rakyat. ”Selamilah jiwa rakyat sedalam-dalamnya untuk menjadi dasarnya tata negara kita. Supaya negara kita dapat menjadi negara yang kuat dan sentosa.”
Hasil Konsensus
BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan dasar negara. Pada 22 Juni 1945 disepakatilah rumusan dasar negara itu yang disebut Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).
Dasar negara yang tertuang dalam Piagam Jakarta disebutkan
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yang mencirikhaskan Piagam Jakarta terletak pada kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kalimat inilah yang kemudian menjadi polemik dan ditolak oleh kalangan Kristen. Mereka menyebut hal itu adalah bentuk diskriminasi terhadap mereka yang minoritas. Padahal dalam laporannya di sidang BPUPKI Sukarno mengatakan, hal itu merupakan hasil kompromis antara dua pihak (nasionalis-sekuler dan nasionalis-religius) yang didasarkan atas memberi dan mengambil.
Melanggar Konsensus
Tanggal 22 Juni itu Piagam Jakarta disepakati sebagai dasar negara Indonesia. Seluruh anggota Panitia Sembilan menandatangani piagam itu. Namun pada tanggal 18 Agustus 1945, sebelum digelar sidang PPKI terjadi perubahan mendasar pada bagian pertama Piagam Jakarta.
Tujuh kata yang ada telah hilang dan berubah menjadi Ketuhanan Yang Mahaesa. Apa yang terjadi?
Berdasarkan informasi yang diterima Mohammad Hatta, ia mendapat berita dari opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia yang dikuasai Angkatan Laut Jepang keberatan terhadap kalimat tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Mereka (wakil-wakil Kristen dan Katolik) mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tapi jika kalimat yang diskriminatif itu tetap ada dalam Piagam Jakarta, dikatakan bahwa mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia (Mohammad Hatta, Sekitar Peroklamasi: 1969).
Karena hal itu sangat serius, maka sebelum sidang dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan membahas hal itu.
Semula lobi itu gagal. Karena Ki Bagus menolak keras usul perubahan itu. Melihat kemacetan itu Kasman yang sesama orang Muhammadiyah menemui Ki Bagus dan meminta agar bersedia berunding.
Kasman menjelaskan, situasi gawat. Perlu segera disahkan Undang-Undang Dasar untuk berdirinya negara Republik Indonesia merdeka.
Dijelaskan, setelah enam bulan nanti Majelis Permusyawaratan Rakyat akan bersidang membentuk Undang-Undang Dasar yang baru, sebagaimana yang dikatakan Sukarno dalam sidang BPUPKI.
Pada akhirnya Ki Bagus melunak. Bersedia menerima penghapusan kalimat sila pertama dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Hatta dan Teuku Muhammad Hasan juga bersedia memenuhi usul Ki Bagus, yaitu Ketuhanan ditambah dengan Yang Mahaesa. Waktu itu Ki Bagus menyatakan bahwa arti Ketuhanan Yang Mahaesa adalah tauhid. (Suhatno, Ki Bagus Hadikusumo, Hasil Karya dan Pengabdiannya: 1982/1983)
Ternyata janji politik tinggal janji. Sepuluh tahun kemudian baru terbentuk Konstituante untuk menyusun UUD baru. Ketika Kasman dan tokoh Islam lainnya menagih janji Bung Karno agar mengembalikan tujuh kata yang dihapus menjadi sia-sia.
Di akhir masa hidupnya Kasman mengatakan, sangat menyesal memengaruhi Ki Bagus agar bersedia menerima perubahan sila pertama itu yang ternyata hasilnya sangat merugikan umat Islam. (*)
Editor Sugeng Purwanto