PWMU.CO– Hari terakhir hidup Rasulullah suasana tegang. Ketika jenazah Rasulullah dibaringkan, terjadi keributan di Saqifah Bani Saidah. Di Pendapa Bani Saidah, yang berjarak 500 meter dari rumah Nabi itu, telah berkumpul orang-orang anshar.
Dalam kitab Sirah Nabawi Ibnu Hisyam diceritakan, warga asli Madinah itu mengunggulkan Saad bin Ubadah, pemimpin mereka, sebagai pemegang kekuasaan yang ditinggalkan Nabi.
Melihat suasana itu, seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia melapor. ”Kaum anshar memilih Saad bin Ubadah di Saqifah Bani Saidah. Segeralah pergi ke tempat mereka, sebelum perkara ini tak bisa dibendung,” katanya.
Saat itu jenazah Rasulullah saw belum diurus. Pintu rumah Aisyah ditutup oleh keluarganya. Sementara keluarga Nabi lainnya seperti Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidilah, berduka di rumah Fathimah.
Umar bin Khaththab berkata kepada Abu Bakar, ”Mari kita datangi saudara-saudara kita kaum anshar di sana.” Keduanya berangkat. Di perjalanan bertemu dengan dua orang anshar, Uwaim bin Saidah dan Ma’nu bin Adi, yang menceritakan sudah terjadi baiat kaum anshar kepada Saad bin Ubadah.
Dua orang itu mencegah Umar dan Abu Bakar ke kaum anshar menghindari konflik. ”Demi Allah, aku tetap akan pergi kepada mereka,” tegas Umar.
Tiba di Saqifah Bani Saidah, di tengah orang-orang anshar terdapat seseorang berselimut. Umar bertanya,”Siapakah orang ini?”
Kaum anshar menjawab,”Dia Saad bin Ubadah.”
”Kenapa ia mengenakan selimut?” tanya Umar.
Kaum anshar menjawab,”Karena ia sedang sakit.”
Umar, Bakar diikuti beberapa kaum muhajirin duduk. Mendengarkan seorang anshar berpidato. ”Kami kaum anshar dan pasukan Islam, sedang kalian, kaum muhajirin adalah bagian dari kami. Sungguh, beberapa orang dari kalian berjalan pelan-pelan, ternyata mereka ingin memutus kami dari asal-usul kami dan merampas perkara pengganti Nabi ini sendirian tanpa keikutsertaan kami.”
Saat orang itu diam, Umar ingin angkat bicara. Tapi dicegah Abu Bakar. ”Tahan dirimu, Umar.” Ternyata Abu Bakar sendiri yang berbicara dengan tenang dan paham situasi.
”Kebaikan memang berada pada kalian sebagaimana yang kalian katakan, dan kalian memang berhak memilikinya. Tapi orang-orang Arab hanya tahu bahwa perkara (memilih pengganti Nabi) ini adalah hak orang-orang Quraisy, karena mereka orang-orang Arab yang paling baik nasab dan negerinya. Sungguh aku menerima dengan hati terbuka dan lapang dada untuk menjadi pemimpin kalian salah seorang dari dua orang ini, Umar dan Abu Ubaidah. Maka baiatlah di antara keduanya yang mana yang kalian sukai,” seru Abu Bakar.
Abu Bakar memegang tangan Umar dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Seorang laki-laki anshar berkata,”Akulah orang yang diambil pendapatnya oleh kaum anshar, tempat pohon kurma yang menjadi tempat berlindung kaum anshar dan tokoh terpenting mereka.”
”Wahai orang-orang Quraisy, hendaknya ada satu pemimpin yang harus berasal dari kami dan satu peminpin dari kalian,” tandas dia lagi.
Maka terjadilah kericuhan gara-gara ucapannya itu. Suara-suara semakin meninggi. Umar khawatir terjadi konflik. Umar segera berseru,”Wahai Abu Bakar, ulurkan tanganmu.”
Abu Bakar spontan mengulurkan tangannya. Langsung Umar membaiatnya menjadi pemimpin. Spontan langkah Umar itu ternyata diikuti seluruh kaum muhajirin dan anshar. Maka selamatlah umat dari perpecahan pada hari terakhir hidup Rasulullah.
Pidato Abu Bakar
Keesokan hari usai baiat, Abu Bakar duduk di atas mimbar. Umar memberi sambutan pengantar. Kemudian Abu Bakar maju berpidato sebagai khalifah.
”Wahai manusia, kalianlah yang telah memutuskan untuk memilihku menjadi pemimpin kalian, namun aku bukanlah orang terbaik di tengah kalian semua. Oleh karena itu jika aku berbuat yang benar maka tak ada alasan bagi kalian kecuali mendukungku. Jika aku berbuat salah maka segera luruskanlah aku.”
”Berbicara yang benar adalah amanah dan bicara dusta adalah khianat. Orang yang lemah di tengah kalian bagiku dia adalah orang yang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya insya Allah dan orang kuat di tengah kalian bagiku dia hanyalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil hak darinya insyaallah.”
”Bila sampai ada suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Begitu pula seandainya perbuatan zina merebak di sebuah kaum, maka Allah akan menimpakan prahara dan bencana di tengah mereka. Sepanjang aku taat kepada Allah dan RasulNya maka taatlah kalian kepadaku. Dan tidak ada kewajiban bagi kalian taat kepadaku jika kalian menemukan aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya. Tegakkanlah shalat, mudah-mudahan Allah memberi rahmat pada kalian.”
Penulis/Editor Sugeng Purwanto