Hooligans Vs Tifosi Ultras di Euro oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Pemain ke-12 adalah sebutan untuk suporter sepak bola. Di setiap pertandingan penting, pemain ke-12 ini bisa menjadi faktor penentu. Dalam pertandingan final Euro 2020 antara Inggris melawan Italia nanti bukan hanya 11 pemain yang bertempur, tetapi pemain ke-12 juga akan ikut memainkan peran penting.
Inggris dan Italia punya sejarah sepak bola yang panjang. Dua negara itu sangat bangga dengan sejarah mereka. Demikian pula para suporter di kedua negara. Mereka punya sejarah panjang dan bangga dengan kontribusinya mereka terhadap perkembangan sepak bola di negaranya.
Tentu, suporter tidak selalu membawa cerita sukses. Mereka bisa menjadi sumber motivasi, tetapi bisa juga menjadi sumber bencana. Inggris punya sejarah buruk dengan suporter Hooligans. Demikian halnya Italia yang punya memori kelam dengan Tifosi Ultras.
Hooligans dan Tifosi Ultras adalah kumpulan suporter fanatik yang lebih mirip sebagai kelompok kriminal terorganisasi (organized crime), daripada kelompok pendukung sepak bola. Membuat onar, berkelahi, merusak fasilitas umum, termasuk melakukan pembunuhan adalah hal-hal yang biasa dilakukan kelompok suporter garis keras itu.
Inggris dan Italia berhasil mengatasi kebrutalan para suporter itu melalui undang-undang dan aturan yang keras dan ketat. Sampai sekarang, insiden masih sering terjadi, tapi insiden itu bersifat minor atau kecil-kecilan. Tidak ada lagi insiden besar sepertui tawuran massal, pengrusakan sarana umum dan stadion yang menimbulkan kerusakan parah dan korban jiwa.
Di Inggris, istilah Hooligans sudah dikenal sejak awal abad ke-19. Sekelompok suporter sepak bola klub tertentu mempunyai asosiasi dengan kelompok kriminal atau geng yang terorganisasi. Mereka tidak melakukan aksi brutal secara random, tetapi direncanakan dengan rapi dan ada organisasi yang terstruktur.
Awalnya mereka adalah pendukung klub sepak bola di level kecil. Sejak abad ke-13 sepak bola sudah dikenal di Inggris. Pertandingan biasanya dilakukan antar-kampung di hari-hari besar keagamaan. Ketika itu sepak bola belum punya aturan permainan seperti sekarang, sehingga sering terjadi tindakan kasar dan mencelakakan lawan.
Sepak bola di masa itu bukan semata-mata olahraga mencari keringat, tapi menjadi sarana penyelesaian masalah kesukuan atau perebutan lahan. Sejak kelahirannya, sepak bola memang dilabeli olahraga yang manly (kelelakian).
Ritual kerusuhan yang dilakukan suporter terjadi karena mereka sengaja menenggak minuman keras sampai mabuk, lalu kemudian berbuat rusuh.
Kekerasan Suporter
Kerusuhan antarsuporter ini tak hanya terjadi ketika suporter tidak puas terhadap pertandingan. Aksi ini dilakukan karena memang direncanakan. Pada 1960-an aksi ini menyebar luas di Inggris terutama oleh generasi pemuda pasca-Perang Dunia Kedua.
Sejak itu, Inggris dianggap bukan sekadar melahirkan sepak bola, tapi sekaligus menjadi negara yang melahirkan budaya kekerasan suporter sepak bola. Kerusuhan oleh suporter sepak bola di Italia, misalnya, baru marak pada awal 1970-an.
Banyak yang menduga hal itu mendapat inspirasi dari hooliganisme Inggris. Aksi hooligans menjadi tersebar di seluruh dunia seiring dengan modernisasi media. Bersamaan dengan modernitas dan perkembangan media, Hooligans pun tumbuh dengan aksi yang lebih sistematis dengan memanfaatkan media.
Mereka paham untuk menghindari polisi maka penyamaran tertentu harus dilakukan. Mereka tak selalu datang ke pertandingan dengan seragam klub kesayangan. Bahkan kerusuhan sengaja dilakukan jauh dari stadion dan justru menyasar fasilitas umum di luar stadion.
Aksi kekerasan Hooligans dengan cepat menjalar dan ditiru di seluruh dunia. Pada Juni 1969 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia antara El Savador melawan Honduras terjadi kekerasan yang memicu peperangan antara kedua negara selama empat hari dengan jumlah korban tewas ribuan orang.
Sejak 1980-an hingga 2012 aksi kekerasan suporter meluas sampai ke Asia. Indonesia tercatat punya sejarah kerusuhan suporter yang buruk, mulai dari pengrusakan sampai tawuran terbuka yang membawa korban nyawa.
Inggris bisa mengatasi kasus ini dengan efektif melalui berbagai undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Surveillance atau pengamatan yang ketat dilakukan terhadap suporter pengacau. Mereka ditangkap, dihukum, dan dilarang masuk ke stadion seumur hidup.
Lika-liku suporter di Eropa direkam oleh Ilhamzada dalam buku Pesta, Bola, dan Cerveja (Fandom, 2021). Ilham yang meliput beberapa kali penyelenggaraan Piala Eropa dan Piala Dunia merekam kilas balik sejarah suporter dan tingkah polah mereka dalam mengiringi perkembangan sepak bola modern.
Pertandingan sepak bola, adalah perpaduan antara pesta dan cerveja (bir). Ada pesta yang gegap gempita, dan ada juga tangis pilu yang menderita. Semua bersilang-sengkarut menjadi satu di setiap perhelatan sepak bola besar Eropa dan dunia.
Tifosi dan Ultras
Di Italia, virus suporter fanatik menular pada kelompok yang disebut sebagai Tifosi dan Ultras. Tifosi atau fans dalam Bahasa Inggris yang hanya mendukung kesebelasan yang mereka cintai.
Sedangkan Ultras jauh lebih rumit, mereka bukan hanya mendukung kesebelasan namun memakai organisasi itu untuk menjalankan kegiatan kriminal yang terorganisasi, termasuk perdagangan narkoba.
Sejarah mengenai Ultras sangat simpang siur. Ada versi yang menyatakan bermula di Brasil dengan nama Torcida Organizada, kemudian di adaptasi oleh suporter Hadjuk Split pada era 1950-an dengan nama Torcida Split. Namun Ultras masuk ke Italia bersamaan dengan revolusi sepakbola yang dibawa oleh pelatih Helenio Herrera.
Helenio Herrera mungkin mencatatkan dirinya sebagai salah satu manajer sepakbola terbaik sepanjang masa. Il Grande Inter era 60-an adalah bukti pengaruhnya di sepakbola Italia dan Eropa. Namun ia juga membawa tradisi dari Argentina, sebuah tradisi serupa dari yang diadaptasi oleh suporter klub Argentina.
Dari situ bermunculan kelompok Ultras seperti The Boys dari suporter Inter Milan dan Fossa Dei Leoni oleh suporter AC Milan disusul kemudian oleh para supporter Torino, Sampdoria, dan Verona.
Ultras saat itu seringkali diinisiasi oleh dua kelompok berbeda pandangan: kelompok Sayap Kanan dan Sayap Kiri Italia. Sayap Kanan membawa pengaruh fasisme yang cukup kuat dalam kelompok suporter, sedangkan sayap kiri membawa skema gerakan separatis atau Guerrilla, biasanya kelompok ini berasal dari Italia Selatan yang disusupi oleh gerakan mafia.
Ultras kemudian meluas di era 70-an bersama dengan berkembangnya beberapa klub Italia. Tetapi, belakangan ini keberadaan mereka sudah semakin dipersempit karena Italia menerapkan aturan ketat dan sanksi keras kepada para perusuh sepak bola.
Inggris dan Italia sama-sama punya tradisi sepak bola yang besar dan sama-sama didukung oleh kekuatan suporter yang besar.
Final Euro 2020 tidak sekadar menjadi panggung sebelas pemain, tapi akan menjadi panggung pertunjukan akbar bagi para suporter sebagai pemain ke-12. (*)
Editor Sugeng Purwanto