PWMU.CO– Identitas NA (Nasyiatul Aisyiyah) dalam tataran ideologi dan praksis perjuangannya melekat dengan: Islam, perempuan muda, dan nasionalisme Indonesia.
Hal itu dikemukakan Siti Syamsiatun, penulis buku Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005 (2016). Buku ini diterjemahkan oleh Aditya Pratama dari disertasi di Monash University dengan judul Serving Young Islamic Indonesian Women: the Development of Gender Discourse in Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005.
Bedah buku sejarah Muhammadiyah ini diselenggarakan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah secara online, Senin (12/7/2021) malam.
Syamsiatun menjelaskan, tulisannya berada dalam ranah kajian epistemologi feminis yang mengkritisi sejarah yang terlalu berpusat pada laki-laki. ”Sejarah seolah diposisikan selalu membicarakan aktor laki-laki,” katanya.
Fakta ini, misalnya, terlihat dalam The Religion of Java, yang menurut Syamsiatun, Clifford Geertz banyak mendeskripsikan tentang aktivitas laki-laki.
Dia menempuh beberapa langkah kerja akademik untuk penelitiannya. Pertama, membuat empirisisme feminis, membuat apa yang dibuat perempuan tampak nyata, bermanfaat, dan punya makna.
Kedua, dengan empirisme feminis, sumber pengetahuan tidak hanya laki-laki dan tidak selalu harus objektif, tetapi juga perasaan-perasaan perempuan juga dapat menjadi soft of knowlegde. Ilmu itu sangat tergantung dengan konteks. Pemaknaan terhadap fakta bisa sangat subjektif.
Ketiga, ketika melakukan penelitian sekaligus juga edukasi. Tidak sepenuhnya positivistik yang memisahkan antara peneliti dengan objek penelitian.
Otonom 1965
Menurut dia, ketika didirikan pada 1931, Nasyiatul Aisyiyah merupakan bagian dari Aisyiyah sebagai organisasi sayap perempuan Muhammadiyah. ”Tahun 1965, Nasyiatul Aisyiyah terpisah dari Aisyiyah, mulai ada otonomi, dan mulai mandiri,” tutur Syamsiatun.
Secara nasional, tahun itu penuh turbulensi politik dan organisasi perempuan. Respons Orde Baru terhadap perempuan juga cukup represif. ”Orde Baru membentuk PKK. NA mendapat tantangan pertama dari rezim Orde Baru,” ujarnya.
Saat itu ada kesan, sambung dia, perempuan hampir tidak bisa melakukan pergerakan atau mobilitas tanpa disandingkan dengan laki-laki.
Syamsiatun melihat perubahan kedudukan perempuan sejak 1970-an berlangsung cepat dan dinamis. Hal ini memengaruhi dalam meredifinisikan identitas NA dan perannya sebagai perempuan muda Islam yang nasionalis.
”Tahun 1985-1990-an, ide-ide feminis sekuler yang berasal dari PBB mulai masuk ke Indonesia melalui Orde Baru. Merespons itu, NA mulai meningkatkan wilayah akademik atau intelektualisasi. Saat itu muncul juga semacam arus balik konservatisme,” tuturnya.
Di era ini, kata dia, mulai banyak anggota Nasyiatul Aisyiyah yang lulus dari pendidikannya di universitas. Mereka lalu merumuskan jawaban-jawaban dan menjadi elite inteligensia yang berhadapan dengan gagasan dari para feminis sekuler.
”Para feminis sekuler, semua rujukannya adalah sains, sama sekali meninggalkan agama. Tetapi para intelektual NA, menggabungkan antara agama, sains, dan kultur, sehingga tidak memunculkan ekstremitas,” urai Syamsiatun.
Dikatakan, karakter itulah yang membedakan Nasyiatul Aisyiyah dengan organisasi perempuan lain pada masa itu. NA menanamkan nilai-nilai dari tradisi Islam seperti keimanan yang kuat kepada Allah, keikhlasan, kebijaksanaan, kesabaran, kegigihan, kedisiplinan, pengetahuan, dan ketaatan pada kepentingan Islam. ”Ini membedakan NA dengan gerakan feminis sekuler dan perempuan Islam salafiyah,” ulasnya.
Moderat
Identitas NA, kata Syamsiatun, dapat mengambil posisi moderat karena anggota NA memiliki berbagai macam latar belakang keilmuan, pendidikan, dan keahlian. Kombinasi ini tidak ditemukan pada kelompok perempuan feminis sekuler. ”Nasyiah itu anaknya Aisyiyah, representasi dari Aisyah yang cerdas, berpengetahuan luas, mandiri, punya ingatan kuat, loving, punya kepercayaan diri,” tandasnya.
Dari sumber inspirasinya itu, Nasyiatul Aisyiyah memiliki agenda-agenda yang sesuai dengan cita-cita untuk pemberdayaan perempuan muda. Kegiatan Nasyiatul Aisyiyah antara lain berupa upaya meluaskan ilmu pengetahuan, berolahraga, dan keterampilan seperti menjahit atau memasak.
”Keterampilan ini bukan sekadar kodrat, tetapi keterampilan yang berkesadaran,” katanya. Hal itu dilakukan demi mencapai hidup yang mandiri, bukan karena tuntutan budaya patriarkhi semata.
Setelah era reformasi, ungkap Syamsiatun, ada diversitas pemikiran dalam organisasi Nasyiatul Aisyiyah. ”Ini menjadi wajar dalam konteks organisasi yang sudah besar,” ujarnya.
Di sisi lain, keberagaman ekspresi dalam tubuh Nasyiatul Aisyiyah juga dipengaruhi oleh sumber pengetahuan yang beragam. ”Tetapi ekspresinya cenderung moderat,” tuturnya.
Syamsiatun memberi contoh ketika dalam sebuah forum, anggota Nasyiatul Aisyiyah dari Jawa dan dari Sumatera Barat berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk dari pakaian perempuan yang Islami
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto