PWMU.CO – Menulis Opini Tak Perlu Bingung Teori. Pemred PWMU.CO membocorkan rahasia itu pada Seminar Literasi bertema “Membentuk Generasi Milenial Kreatif Menulis”, yang digelar SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya, Kamis (15/7/2021) pagi.
Melalui materinya yang berjudul “Menulis Opini tanpa Teori”, Mohammad Nurfatoni mengatakan kepada siswa-siswi Smamda Surabaya bahwa menulis itu gampang.
“Tidak perlu teori-teori yang membuat kita belum-belum terbebani teori itu,” jelas Fatoni yang menjadi nara sumber tunggal pada seminar daring tersebut.
Kalau mau menulis, sarannya, menulislah! “(Menulis) sekali merasa kurang enak, menulis lagi!” tutur Direktur penerbit Kanzun itu.
Individu Unik, Punya Kekhasan Menulis
Pria yang sudah ‘murtad’ dari profesi guru Biologi sejak tahun 1996 itu mengaku tidak berhenti menulis sejak tahun 1984 hingga kini. “Tentu berbeda tulisan saya sekarang dengan tulisan yang lampau, karena saya selalu membaca,” ujarnya.
Termasuk, membaca tulisan orang lain. Dia membaca tulisan Dahlan Iskan untuk mengetahui bagaimana membuat tulisan yang pendek-pendek kalimatnya. Dia juga membaca tulisan Nur Cholis Huda untuk mengetahuinya bagaimana tulisan yang renyah.
Kata Fatoni, tidak masalah jika ada sedikit kesamaan gaya penulisan dengan referensinya. “Asal tidak ambil (menulis) persis tidak masalah,” ungkap alumnus SMP Muhammadiyah 4 Pangkatrejo, Maduran, Lamongan itu.
Sebab, dia yakin setiap individu pasti punya keunikan, sehingga tulisannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Seperti halnya ketika dia melatih para kontributor PWMU.CO. “Meskipun saya latih, mereka punya kekhasan yang berbeda dengan tulisan saya,” ujarnya.
“Saya yakin adik-adik punya keunikan sendiri. Meskipun terpengaruh orang lain, tapi nanti lahir tulisan yang unik,” sambungnya.
Unek-Unek, Orisinalitas Opini
Fatoni menerangkan, opini harus orisinil. Artinya, membawa perspektif kita sendiri. Meskipun sama-sama non-fiksi, opini berbeda dengan berita. “Kalau berita lebih ke fakta—tidak boleh ada opininya—kalau opini itu subjektifitas pemikiran kita,” terangnya.
Opini bisa berupa pendapat pribadi yang berasal dari unek-unek, curahan hati, dan gagasan. Pada seminar itu, dia bercerita bagaimana unek-uneknya bisa menjadi sebuah tulisan.
Yaitu berawal ketika salah satu admin grup mengeluarkan dirinya usai membagikan berita kematian. “Seorang penulis tidak kehilangan akal bagaimana menyalurkan unek-unek supaya tidak mengganggunya selamanya,” ungkap Fatoni.
Maka, kejadian tersebut dia tulis secara kreatif, sehingga tidak langsung membahas masalah itu. Di salah satu kolom bahasanya berjudul Mati, wafat, meninggal … Kita Pilih yang Mana dia mengungkapkan unek-uneknya.
Dengan menulis, Fatoni terbebas dari pikiran-pikiran negatif yang ketika belum dia tulis itu dia simpan sendiri dalam hatinya. “Saya tulis, sudah, lepas!” ungkapnya.
Pernyataan Sikap
Fatoni mencontohkan, misal dia tidak setuju dengan teori konspirasi Covid-19 saat ini. Maka, dia menuliskan sikapnya untuk melawan teori konspirasi tersebut.
“Orang yang punya unek-unek, curahan hati, ekspresi, pendirian itu akan melahirkan banyak tulisan,” ungkapnya.
Dia pernah menulis Masjid dan Objektivitas Covid. Mengingat, dulu ada fenomena Covid-19 dianggap sebagai konspirasi yang menyebabkan penutupan masjid, tempat ibadah yang suci. “Saya tulis itu, virus itu seperti alam semesta, cirinya objektif,” tuturnya.
Dia memberi contoh, ada masjid dan gereja yang sama tingginya. Kalau ada petir, gerejanya ada penangkal petir, sedangkan masjidnya tidak punya penangkal petir. “Kira-kira yang terkena sambaran petir itu masjid apa gereja?” tanya Fatoni.
Menurutnya, dalam perspektif sains, alam sesuai sunnatullah sehingga bersifat objektif. “Tidak mengenal masjid atau gereja. Orang Islam atau tidak, kalau berkerumun dan tidak memakai masker, ya bisa terkena Covid-19 di mana pun dia berada. Itulah objektivitas alam semesta!” tegasnya.
Fatoni lantas memotivasi para siswa Smamda, sebagai generasi milenial juga bisa mengekspresikan sikapnya melalui opini.
Ilmiah dan Populer
Opini berbeda dengan jurnal akademik, di mana membacanya agak berat. Dia menegaskan tulisan opini ringan dibaca.
Fatoni menekankan, jika menulis opini kemudian mengirimkannya ke majalah atau surat kabar, maka perlu menuliskannya secara ilmiah dan populer.
Penulisannya ilmiah. Maksudnya, menulis opini menggunakan alur logika yang jernih. Selain itu, mengutip rujukan, jika ada. Opini juga ditulis secara populer sehingga mudah dibaca orang.
Lima Ciri Opini yang Bagus
Fatoni memaparkan lima ciri opini yang baik. Pertama, gagasan kita yang orisinil. “Ini menjauhkan kita dari plagiarisme,” ungkapnya. Ini bisa muncul dari hasil bacaan di alam bawah sadar yang bergabung dengan keunikan kita.
Kedua, aktual. Tulisan ini biasanya ditemui di surat kabar atau koran yang terbit pekanan. Jika di majalah yang terbit setiap semester, maka menurutnya susah aktual, sehingga lebih memuat tulisan softnews.
Bahkan jika portal berita online, aktualitas berita bisa dihitung berdasarkan harian, bahkan dalam hitungan detik. Saat Fatoni menanyakan tren aktual bagi remaja sekarang, dia menyetujui jawaban yang muncul di kolom komentar, “Nongkrong di kafe dibubarkan karena Covid.”
Fatoni juga memberi contoh aktualitas salah satu opininya berjudul Haji dan Meluasnya Tanggung Jawab Sosial. “Siang saya tulis, sore saya kirim, besoknya terbit,” ungkapnya. Tulisan tahun 2017, saat itu aktual, karena hari itu pemberangkatan pertama kloter haji Indonesia.
Ketiga, perspektif baru. “Anda setuju atau tidak tergantung perspektif Anda!” tegasnya.
Cara pandang terhadap fenomena itu bagaimana? Menurut Fatoni, opini yang bagus adalah yang menawarkan perspektif baru, tidak klasik, dan tidak mengulang pendapat orang lain. “Ini yang dicari redaktur opini atau Google!” ungkapnya.
Google itu, lanjutnya, pencariannya lebih mudah untuk tulisan yang orisinil, punya gagasan baru, dan tidak copas tulisan orang lain.
Keempat, enak dibaca. Maksudnya, tulisan itu bahasanya mengalir dari satu alinea ke alinea lainnya. “Tidak putus-putus, tidak loncat-loncat,” tuturnya.
Kelima, solutif. Setidaknya memberikan alternatif baru, meski solusi yang tidak praktis. “Diusahakan ada solusinya,” ujar Fatoni.
Cara Mulai Menulis Opini
Fatoni menganjurkan, apapun yang ada di benak kita, kita tulis dengan perspektif (cara pikir) kita.
Selanjutnya, dia menyarankan untuk mengelaborasi gagasan itu dengan merujuk pada data, teori ilmiah, atau pendapat orang lain yang kita bisa rujuk. “Menurut ini, ini, ini ….” dia mencontohkan.
Tulisan ilmiah, lanjutnya, harus didasarkan pada teori ilmiah. Tapi karena menulis opini secara populer, maka menulisnya tidak terlalu teknis seperti ketika menulis jurnal.
“Kutip teori yang mendukung gagasan kita atau bahkan kita kutip gagasan yang akan kita lawan dalam tulisan itu!” tuturnya.
Terakhir, menawarkan solusi. Seperti yang dia contohkan pada opininya yang dimuat Jawa Pos, tulisannya solutif. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah