RPP = Rencana Pembelajaran Palsu? oleh Syaifulloh, penikmat pendidikan.
PWMU.CO – Setiap tahun ajaran baru, para guru harus menyiapkan peluru yang sangat penting demi tercapainya indikator pembelajaran dengan maksimal, sesuai dengan kompetensi dasar di kurikulum.
Peluru kendali yang dinamakan dengan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) ini sangat penting dibuat oleh guru pada setiap satuan pendidikan dengan memakai analisis sesuai kebutuhan.
RPP merupakan kebutuhan individu guur dalam merancang pembelajaran. RPP ini diturunkan dari silabus masing-masing mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan komponen penyusunan RPP pada Pedoman Penyusunan RPP sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah.
Peraturan ini dibuat dalam rangka implementasi kurikulum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 77O ayat (2) huruf c dan Pasal 77P ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sedangkan untuk penyusunan RPP sederhana menggunakan versi Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tentang Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran itu memuat empat poin yang dianggap memberikan kemudahan bagi guru di dalam menyusun RPP.
Seperti kita ketahui, RPP yang di-print oleh guru sebelum penyederhanaan ini, membutuhkan kertas yang sangat banyak. Bahkan guru pun mungkin malas membacanya saking tebalnya.
Penyedehanaan RPP model baru tentunya memberi angin segar kepada guru untuk berkreasi menyusunnya sesuai kebutuhan karakter siswa dan ketersedian media-sumber belajar yang dimiliki oleh satuan pendidikan sehingga memilik keunikan sendiri-sendiri.
Peluang penyederhanaan RPP ini mestinya diangkap dengan baik oleh seluruh guru untuk mengkreasi RPP yang super agar memudahkan pencapaian kompetensi setiap proses belajar mengajar via daring maupun luring.
ATM dalam Penyusunan RPP
Alkisah ada beberapa sekolah yang dikunjungi secara bergantian oleh visitor dalam beberapa hari ini untuk melihat dan mengevaluasi berbagai komponen. Baik manajemen maupun perangkat mengajar dengan menggunakan delapan standar nasional sebagai acuannya. Instrumen yang ada digunakan untuk bertanya jawab dengan kepala sekolah serta tenaga pendidik dan kependidikan.
Tibalah saatnya menanyakan masalah RPP yang ditelaah oleh visitor kepada guru yang membuatnya. Terjadilah tanya jawab yang cukup menggembirakan antara visitor dengan sejumlah guru di sekolah itu.
Bertanyalah visitor kepada guru, nama sekolahnya apa? Dengan semangatnya mereka menjawab kompak dan serempak nama sekolahnya. Lalu visitor menunjukkan beberapa mata pelajaran sesuai RPP-nya dengan nama sekolah lain yang berbeda dengan nama sekolahnya.
Mereka tidak sadar kalau nama sekolah di RPP berbeda dengan nama sekolahnya. Ironisnya RPP- itu sudah ditandatangan oleh guru dan kepala sekolah, bahkan di stempel sebagai bukti RPP sudah disahkan menjadi dokumen resmi sekolah yang dibanggakan.
Akhirnya mereka mengakui bahwa sekolahnya tidak membuat RPP, mereka hanya melakukan ATM (amati, tiru, modifikasi). Lalu mereka ngeprint bersama-sama tanpa mengoreksi lebih dalam karena buru-buru dalam memenuhi administrasi yang sangat banyak dalam waktu singkat sebelum dikunjungi.
Akibatnya dengan kecerobohan dalam RPP itu menunjukkan kalau para pendidik tidak memperlihatkan substansi dan kompetensi dalam menyusun RPP.
Ada kepala sekolah dan waka kurikulum seperti pengemis menagih kepada para pendidiknya agar segera mengumpulkan perangkat mengajarnya sebelum ajaran baru. Bahkan waka kurikulum yang bertanggung jawab pada pemenuhan standar ini harus mendatangi rumah guru yang sangat senior agar mengumpulkan perangkat mengajarnya secepat mungkin.
Tapi hasilnya nihil. sampai saatnya akan divisitasi mereka baru sibuk serentak ngeprint RPP di pasaran yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah, memang suatu ironi tiada henti merenungi masalah ini.
ATM dalam penyusunan RPP masih menggema dengan kuat di berbagai satuan pendidikan dan itu memang dibutuhkan oleh semua pendidik ketika menyongsong ajaran baru. Seluruh komponen sekolah akan mencari perangkat mengajar terbaru untuk dijadikan acuan ATM dalam menyusun RPP.
Akibatnya pemahaman guru dalam melihat RPP hanya sebatas pemenuhan administrasi bukan sebagai senjata mencapai indikator dan kompetensi dari setiap keberhasilan proses belajar mengajar secara utuh untuk meningkatkan kompetensi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan spiritual.
Sungguh ironis sekali jika sekolah atau madrasah masih mengandalkan ATM secara masif dan terstrukrur tanpa ditelaah dengan baik dan benar dalam menyusun RPP secara sempurna dan berkemajuan dengan melihat esensi yang mudah dalam menaati prosedur belajar yang meaningfull.
Agar siswa memiliki bekal menguatkan hati, pikiran, dan perilaku dari guru yang menyiapkan RPP-nya dengan sungguh-sungguh demi meraih berkah dan ridha Allah SWT. Jadi, jangan sampai RPP yang sebenarnya adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran menjadi Rencana Pembelajaran Palsu! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni