Cerita relawan MCCC Sidoarjo Moh Ernam, yang terlibat dalam prosesi pemakaman jenazah, dari memakai APD hingga lubang makam yang tak muat.
PWMU.CO – Belum pernah membayangkan bahwa saya akan menggunakan alat pelindung diri (APD), baju hazmat. Selama pandemi berlangsung, saya hanya melihat tenaga medis di TV sedang menggunakan baju ini. Ataupun lewat video WhatsApp (WA) yang dikirim sahabat di grup. Tapi memakai, saya belum terbayangkan.
Awal terjadi pandemi tahun 2020, saya direkrut masuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Kabupaten Sidoarjo. Sebagai Sekretaris Kwarda Hizbul Wathan (HW) Sidoarjo, saya diharuskan masuk sebagai anggota yang justru bertugas di lapangan.
Banyak bantuan masyarakat, mulai dari sembako, disinfektan, dan alat semprot sudah kami terima. Termasuk bantuan APD dari salah seorang anggota DPR RI. Kami sudah melakukan penyemprotan rumah warga, mushala, dan sekolah. Tapi semua itu tidak menggunakan APD. Karena hanya menyemprot, jadi bisa pakai baju biasa. Cukup masker dan kaca mata, lalu topi, serta sepatu bot.
Merebaknya pandemi di bulan Juni dan Juli tahun 2021 justru memberikan pengalaman berbeda. Saya terpaksa menggunakan baju ini.
Pakai APD, Cerita Relawan MCCC
Ini kejadian yang tidak disangka-sangka. Saat Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang juga diamanahi Ketua MCCC Sidoarjo Ir Mahfudz meninggal karena Covid-19, pada 1 Juli 2021, kami yang menjadi pelaksana lapangan harus memakamkannya.
Tak ada Satgas Covid-19 dari kabupaten maupun desa yang bertugas. Jadi harus kami yang memakamkannya. Belum ada pengalaman sebelumnya. Bagaimana dan seperti apa cara memakamkan jenazah Covid-19.
Berkat bimbingan dokter Tjatur Prijambodo–direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah, Tulangan, Sidoarjo–kami mempersiapkan tim. Seluruh perlengkapan disiapkan. APD, disinfektan, alat semprot, dan sarung tangan. Kami tinggal menunggu jenazah dari rumah sakit. Proses memandikan, mengafani, dan memasukkan peti jenazah sudah dilakukan oleh RS Siti Khodijah, Sepanjang. Tugas kami hanya menyhalati dan memakamkan.
Maka begitu ambulance datang di halaman SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (Smamda), segera dishalatkan oleh para jamaah. Selesai shalat, saat masih ada sambutan penghormatan, saya mulai memasang APD. Memasang baju, kaos kaki, sarung tangan, dan sepatu bot. Dikira saya lagi guyon, peristiwa saya pakai APD diabadikan oleh seorang teman.
Ambulans bergerak keluar Smamda. Belok kanan ke perempatan Celep, langsung belok kanan ke jalan Sultan Hasanuddin menuju pemakaman Desa Sekardangan. Ambulans terpaksa melawan arus karena jarak ke makam dekat, tapi kalau mengikuti jalur biasa harus mengitari Sidoarjo. Jadi sangat jauh. Maka karena kondisi jalan sepi, kendaraan yang lewat hanya satu dua, tim pemandu memutuskan bergerak melawan arus agar cepat sampai di makam.
Lubang Makam Tak Muat
Begitu tiba di makam, kami siap menurunkan peti jenazah. Hanya empat orang. Ditambah sopir ambulans dan asistennya, maka kami berenam. Tatkala penggalian kuburan dicek, ternyata panjang dan lebarnya kurang untuk peti jenazah. Terpaksa petugas penggali kubur menambah lebar dan memanjangkan hingga cukup untuk peti mati.
Begitu kami angkat peti mati hingga mendekati lubang kubur ternyata tanah sangat gembur. Hasil dari galian tanah bercampur air. Kaki jadi sulit bergerak. Akhirnya peti mati bisa ditaruh di atas balok kayu. Pas di atas lubang kubur.
Proses menurunkan dengan tali terasa sulit karena peti mati sangat mepet dengan dinding tanah kuburan. Harus pelan-pelan sehingga berlangsung lama. Begitu peti mati sudah sampai di dasar kuburan, muncul masalah kedua. Kami harus menimbun, memasukkan kembali tanah yang sudah digali. Oleh kami, karena sopir ambulance sudah harus pulang. Sementara para penggali kubur menjauh, takut tertular Covid-19. Tak ayal kami harus menimbun sendiri.
Mengenakan baju hazmat saja sudah panas. Masker dua lapis sudah tersengal-sengal. Kini kami harus macul.
Keringat seperti sungai membasahi baju dan tubuh kami. Napas tersengal-sengal. Tiap dua menit kami berhenti, menghirup napas beberapa menit, kemudian macul lagi. Terlihat semua tim sama, macul beberapa saat, berhenti tarik nafas beberapa saat, kemudian macul lagi. Begitu terus. Mata berkunang-kunang, nafas ngos-ngosan, harus kami lawan. Tugas harus diselesaikan. Sampai paripurna.
Semangat tim MCCC Sidoarjo, bergeraklah. Walau tak ada orang yang bertepuk saat engkau lewat. Tak ada yang menyaksikan keberanianmu. Jam 12 malam semua baru selesai.
Kini tim MCCC Sidoarjo sudah banyak membantu masyarakat dalam pemulasaraan jenazah, dari semua kalangan. Dengan keikhlasan, kesabaran, dan semangat mengharapkan ridha Allah. Jazakumullah MCCC Sidoarjo. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.