PWMU.CO – Tulisan Kang Rizal Mewakili Jeritan Hati Rakyat. Pernyataan ini Letjen (Purn) Yayat Sudrajat sampaikan saat membedah buku Lepaskan Borgol Demokrasi, Sabtu (7/8/21).
Dia berpendapat, bangsa Indonesia belum merdeka. Sebab, rakyat masih banyak yang susah, miskin, dan takut karena ditakut-takuti atau diteror.
Kemudian, dia ungkap fakta saat ini. “Banyak orang takut menyampaikan hal-hal yang mengkritisi atau mengingatkan pemerintah supaya berada pada jalur seharusnya,” ujarnya.
Bahkan, tambahnya, sekarang banyak yang frustasi kepada rezim sekarang, terutama kepada kebijakan yang tidak prorakyat. “Saya mohon maaf kalau ada yang tersinggung, tapi faktanya demikian,” ucap alumnus Akademi Militer tahun 1982 itu.
Selalu Perhatikan Situasi Kebangsaan
Yayat Sudrajat mengapresiasi buku Rizal Fadillah. Dia menyoroti bagaimana Rizal aktif menulis 100 artikel setiap hari. Di mana hanya lima hari saja yang Rizal absen menulis, tetapi ada enam hari yang dia memproduksi dua tulisan dalam sehari.
“Kalau saya mungkin angkat tangan Pak Rizal!” kata Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) itu.
Dari kearifan Rizal menulis itu, dia menyimpulkan Rizal selalu memperhatikan fenomena yang terjadi setiap hari. Khususnya, situasi kebangsaan di NKRI ini.
Kritikan Membangun
Yang Rizal tulis, menurut Yayat Sudrajat, kritikan kepada pemerintahan yang bersifat membangun. Yaitu demi berjalannya pemerintahan dalam rel yang seharusnya. “Berbuat yang terbaik untuk kepentingan rakyat, khususnya rakyat kecil,” terang Pria kelahiran Cimahi, 15 Juni 1959 itu.
Di sekitar tempat tinggalnya—di tengah Kota Bandung—tiap hari masih berseliweran orang-orang yang mengais makanan dari tempat sampah. Ada yang sambil membawa anaknya. Mereka ini, kata dia, tidak pernah menikmati sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
“Perih saya rasanya melihat itu,” ucapnya. Dia menyampaikan keperihannya dengan harapan bisa mengetuk hati nurani para pejabat maupun penguasa sekarang yang sebenarnya diberikan mandat kekuasaan oleh rakyat.
Mengingat, negara Indonesia berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan partai. “Aturannya, kedaulatan di tangan rakyat dan sebenarnya seharusnya dilakukan oleh MPR. Tapi partai sekarang sudah berbeda,” jelas Ketua Dewan Harian Daerah (DHD) 45 itu.
Representasi Jeritan Hati Rakyat
Yayat Sudrajat berpendapat, M Rizal Fadillah dalam bukunya juga mengkritik fenomena-fenomena sosial yang berjalan tidak benar di masyarakat. “Tulisan Kang Rizal representasi atau mewakili hati nurani, jeritan hati rakyat,” ungkapnya.
Perasaan rakyat ini menurutnya meliputi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, merasa didzalimi, ditekan, diteror, dan dibuat susah. Selain itu, tambahnya, muncul frustasi dan tidak ada harapan dalam menyongsong kehidupan ke depan lebih baik selama rezim ini berkuasa.
Tapi dia menduga, tulisan Rizal bertolak belakang dengan suara hati orang-orang yang sedang manggung di pemerintahan. “Karena harus ‘yes man‘, tidak boleh bertolak-belakang atau misalnya mengkritisi kebijakan yang dibuat pemerintah,” jelas Penasihat KAMI Jabar itu.
Tulisan Rizal, menurutnya, bisa dijadikan bahan evaluasi, “Benarkah kebijakan yang saya terapkan? Benarkah yang dilakukan aparat-aparat di lapangan terhadap masyarakat?”
Pesan Songsong Kemerdekaan Ke-76
Pria yang aktif 22 tahun di Kopassus ini menekankan, negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ibu Pertiwi sedang sakit. Maka, dalam menyongsong 17 Agustus, Kemerdekaan RI ke-76, dia menyampaikan dua pesan.
Pertama, sadarlah wahai rakyat Indonesia, dengan diamandemennya UD 1945 menjadi UUD 2020, maka NKRI pelan tapi pasti bisa dikuasai kembali oleh asing.
“Karena itu, kita harus bersatu-padu rapatkan barisan untuk berjuang kembali mengembalikan UUD 1945 kepada aslinya. Dan membuat penyempurnaannya supaya bisa lebih baik untuk kepentingan seluruh rakyat, khususnya bumi putra nusantara,” imbaunya.
Kedua, tetap pertahankan ideologi Pancasila yang sudah final. Pancasila yang merupakan konsensus nasional para founding father Indonesia saat memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Yaitu Pancasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
“Tidak ada lagi versi 1 Juni 1945, Ketuhanan ditempatkan di sila ke-5, yang bunyinya ‘Ketuhanan yang berkebudayaan dan bisa diperas menjadi trisila dan ekasila atau gotong royong!” tegasnya.
Kalau ini terjadi, imbuhnya, Ketuhanan yang Maha Esa tidak ada lagi. Selain itu, menurutnya, komunis bisa bercokol kembali di NKRI, amit-amit. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni