Selanjutnya Rasulullah diyakini memberikan berkah kepada para peserta Barzanji dan menghantarkan doa mereka kepada Allah swt. Bahkan dalam banyak kasus, pada saat srokol ini ada sebagian yang memintal benang untuk dikalungkan atau dibuat gelang pada anak yang berusia kurang dua tahun dengan kepercayaan si bayi tidak akan menderita panas selama 2 tahun. “Sudah barang tentu kepercayaan ini bukan yang dituntunkan oleh Rasulullah maupun yang diperintahkan oleh Allah swt,” tambah Danusiri.
Sementara unsur bid’ah yang termuat dalam maulid Nabi adalah adanya adalah kewajiban melakukan Barzanji, dan orang yang tidak melakukannya dianggap tidak cinta kepada Rasul. Tidak cinta kepadanya berarti tidak akan mendapat syafaat di hari kiamat.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah? dan Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban?)
“Sementara unsur syiriknya antara lain meyakini bahwa Rasulullah menghapus dosa seseorang. Padahal pengakuan beliau yang sebenarnya adalah mahiyal kufr (menghapus kekufuran), bukan mahiyadz-dzunub (menghapus dosa),” jelas dosen Universitas Muhammadiyah Semarang tersebut.
Lalu bagimana sebenarnya cinta pada Rasulullah saw? Merujuk pada berbagai ayat al-Quran dan hadits Nabi, mencintai Nabi seharusnya dilakukan dengan menuruti permintaan Rasulullah sendiri sebagai orang yang dicintai.
Diantaranya, pertama, mengikuti Nabi Muhammad saw, mengerjakan sunahnya, mengikuti perkataannya, menjalankan perintahnya, dan menjauhi larangannya. “Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” begitu terjemah dari QS Ali Imran ayat 31.
(Baca juga: Berapa Lama Nifas bagi Wanita yang Lahirkan Anak Lewat Bedah Caesar? dan Hukum Pre Wedding Menurut Islam)
Kedua, lebih mendahulukan apa yang disyariatkan dan diperintahkan Rasulullah daripada mendahulukan hawa nafsu dan keinginannya sendiri (QS al-Hasyr: 9). Sementara langkah ketiga adalah banyak mengingat Rasulullah, karena orang yang mencintai sesuatu tentu akan banyak mengingatnya.
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” begitu bunyi terjemahan ayat 56 dari QS al-Ahzab.
Argumen kritis tentang maulid Nabi juga dikemukakan oleh Guru Besar Ilmu Hadits UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Zainul Arifin MA. Memang mereka yang memperingat maulid ber¬alasan agar umat Islam mengingat akan sejarah dan kisah perjuangan Rasulullah sehingga dinilai bisa menambah tingkat keimanan kepada Nabi. “Tetapi dalam kenyataan masyarakat keseharian tidaklah demikian. Apalagi, keyakinan ini didasarkan pada hadits-hadits maudhu’ atau palsu,” tegasnya.
(Baca juga: Hukum Keluar Rumah di Masa Iddah dan Bagaimana Cara KB yang Islami?)
Kata Zainul, jika seremonial itu didasarkan pada hadits misalnya man adhoma maulidi kaanna fii jannati ma’i, artinya, ‘barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, ia akan masuk surga bersamaku’ justru malah salah tafsir. “Pasalnya, mendasarkan langkahnya pada hadits palsu,” katanya.
Karena itu, lanjut Zainul, jangan sekali-kali perayaan itu disandarkan pada hadist, hingga menjadi ritus sebuah amalan ibadah. “Padahal jika ditakhrij, hadits di atas tidak didapatkan di kitab-kitab hadits standart seperti Kutub al-Sittah, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Ibn Majah, dan kitab-kitab lainnya. Hal ini menunjukkan kepalsuan hadits.”
Menurut Zainul, perayaan maulid Nabi tidak harus dilakukan sedemikian rupa sebagaimana. Menurutnya, masih banyak bentuk atau model lain dalam memperingati maulid Nabi. Sebab, esensi peringatan maulid adalah mengamalkan apa-apa yang dilakukan Rasulullah dan meninggalkan apa-apa yang ditinggalkan dan dijauhi olehnya.
(Baca juga: Hukum Oral Seks dan Bolehkah Masturbasi Menurut Islam?)
Menurutnya, momen Maulid Nabi adalah adalah untuk dijadikan menyadarkan akan solidaritas kepada sesama. Sekaligus sebagai wahana pengetahuan bagi umat Islam. Yang jelas, kebudayaan yang dianggap sebagai sistem nilai agama atau menjadi ritus nilai keagamaan, itu yang tidak tepat. (kholid)