PWMU.CO – Generasi Rebahan Lahir di Rezim Behavioristik. Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN Zainuddin Maliki menyampaikannya dalam Bincang Pendidikan, Kamis (19/8/21).
Salah satu peserta Rafi Azzamy menyatakan, semenjak ada sekolah, pendidikan mengalami penyempitan makna semantik. Yang awalnya pendidikan bisa dilakukan di mana saja, sekarang seringkali menganggap pendidikan hanya berpondasi di sekolah.
Dengan adanya PJJ, dia merasa terlepas dari belenggu sekolah. Maka, dalam webinar bertema “Transformasi dan Digitalisasi Budaya Belajar Jarak Jauh” itu dia bertanya, “Apa relevansi sekolah formal pada era digital ini?”
Pembelajaran Berbasis Konten Vs Mendalam
Prof Dr Zainuddin Maliki MSi paham, Rafi Azzamy mengasumsikan pembelajaran itu tercapaianya pemahaman siswa terhadap konten yang guru sampaikan, sedangkan kalau belajar melalui media (virtual) berkurang efektivitasnya.
Asumsi itu menurut Zainuddin tepat, kalau pembelajarannya menggunakan paradigma content based learning (pembelajaran berbasis konten). Itulah model pembelajaran tatap muka yang sekadar menyampaikan konten materi. Masih berada pada tataran surface learning atau mempelajari kulit-kulitnya saja.
“Siswa hanya diajari supaya tahu, padahal pembelajaran itu mengubah kepribadian manusia menjadi manusia yang sempurna,” terangnya pada Webinar yang digelar Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A Malik Fadjar.
Bukan sekadar memberi informasi, lalu informasi diserap. Tapi ingin membentuk manusia yang berintegritas, berkepribadian, dan tentunya berpengetahuan. Sehingga, dia menekankan agar pembelajarannya mencakup tiga dimensi: kognitif, afektif, dan motorik.
Untuk itu, Zainuddin meluruskan, pembelajaran tidak bisa hanya surface learning, tapi harus deep learning atau mempelajari secara mendalam. Ini meliputi learning to know, to do, to be, and to live together. Maksudnya, setelah mengetahui, siswa bisa melakukan atau mempraktikkan, lalu menjadikannya kepribadian dan bekal hidup di tengah kehidupan bersama.
Zainuddin menekankan, perlu pendekatan berbeda jika pembelajarannya ingin mengubah kepribadian, afektif, kognitif, dan motorik. “Bukan hanya transfer of knowledge (menyalurkan pengetahuan/ilmu), tapi juga mendidik,” ujarnya.
Pendekatan Behavioristik
Zainuddin menjelaskan, selama ini, guru-guru mengembangkan paradigma atau pendekatan yang sangat behavioristik. “Guru merasa lebih tahu, menguasai konten, dan siswa dianggap tidak tahu,” terangnya.
Karena itu, tambahnya, dengan pendekatan ini, siswa harus mendengarkan ajaran guru. Artinya, siswa dipaksa memahami pengetahuan tertentu. “Sekolah-sekolah kita selama ini berparadigma behavioristik, sekolah kita mengambil alih pendidikan,” ungkapnya.
Dampaknya, siswa seolah tidak belajar kalau belajar di rumah atau komunitas, karena dianggap belajar kalau sekolah yang memberikan ilmunya. Jika paradigmanya seperti itu, dia memprediksi akan ada gerakan dischooling society.
“Sekolah merasa yang paling berhak memberikan ilmu dan ilmu itu dikemas sedemikian rupa dalam susunan kurikulum yang ditentukan pemerintah,” kata dia.
Dengan begitu, menurutnya, hak anak diambil alih oleh pemerintah melalui sekolah.
Pendekatan Konstruktifistik
Zainuddin menegaskan pendekatan behavioristik berbeda dengan konstruktifistik, di mana guru tidak merasa lebih tahu dari siswa. Menurut dia, paradigma ini lebih baik. Guru mengasumsikan siswa juga punya bekal pengetahuan dan pengalaman. Inisiatif siswa dihargai.
Selain itu, pembelajaran dimulai dari minat dan bakat. “Guru harus memahami sebenarnya minat siswa itu apa! Watak bawaan siswa itu seperti apa, dari situlah guru mendidik,” tuturnya.
Dia mencontohkan, guru perlu menerima jika ada siswa yang belajarnya perlu dengan suara keras, tidak bisa membaca dalam hati. Sebab, proses belajar tidak akan berhasil kalau siswa tersebut dipaksa membaca dalam hati.
Begitu pula untuk tipe siswa yang belajarnya dengan bergerak. Jika guru memaksanya belajar dengan duduk manis di meja mendengarkan ceramah, maka dia menegaskan guru itu sesungguhnya tidak mengajar. “Seolah-olah mengajar, sehingga siswanya belajarnya juga seolah-olah,” ungkapnya.
Seolah-olah berarti siswa belajar tapi sesungguhnya tidak mengalami proses belajar. Inilah yang dia sebut pembelajaran seolah-olah atau palsu, tidak akan efektif. Maka, guru yang baik harus mengenal watak dan minat siswa, kemudian mengembangkannya.
Pendekatan Baru saat PJJ
Dengan paradigma behavioristik, guru mengontrol penuh. Akibatnya, di masa PJJ ini—di mana siswa harus belajar sendiri di rumah—guru merasa kesulitan karena tidak bisa mengontrol siswa dari dekat.
Zainuddin pun menegaskan agar pembelajaran di era PJJ harus diubah menggunakan paradigma konstruktifistik. Pembelajaran ini dia nilai tepat karena memberi ruang untuk siswa berinisiatif, belajar mandiri atau self direction learning. Sedangkan guru dan orangtua hanya sebagai fasilitator.
Menurutnya, inilah kesempatan untuk menggunakan paradigma baru. “Beri kesempatan anak didik kita berinisiatif (dan) bertanggung jawab!” imbaunya.
Zainuddin menyimpulkan, “Sayangnya selama ini pembelajaran kita didominasi rezim behavioristik, sehingga ketika anak didik kita harus belajar sendiri, tidak terjadi proses pembelajaran, yang terjadi adalah siswa generasi rebahan!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni