Gubernur Lemhanas Bikin Kejutan oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Diwawancarai Najwa Shihab menanggapi sikap Brigjen Junior Tumilaar terkait dengan sengketa tanah di Sulawesi Utara belum lama ini, Gubernur Lemhanas Jenderal Pur Agus Widjojo membenarkan pembebasan tugas Junior Tumilar oleh pimpinan TNI.
Menurut Agus Widjojo, Junior telah salah didik karena masih meyakini bahwa tentara seharusnya bersatu dengan rakyat sesuai slogan TNI Kuat Bersama Rakyat, sehingga Junior membantu Babinsa binaannya untuk membela kepentingan rakyat melawan pengembang besar dalam sebuah sengketa tanah.
Menurut Agus, sejak reformasi, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka rakyat pemilih sekarang adalah milik presiden. Karena rakyat tidak pernah memilih panglima TNI secara langsung, maka rakyat bukan milik TNI seperti dalam konsep Dwi Fungsi ABRI dahulu.
Pernyataan Gubernur Lemhanas yang terakhir ini tentu untuk mendukung sikap pimpinan TNI dalam perkara Junior Tumilaar. Sikap purnawirawan jenderal ini perlu dicermati. Lemhanas memang sebuah institusi untuk menyiapkan banyak calon pejabat publik negeri ini.
Apakah kini, sejak reformasi, Lemhanas menjadi instrumen untuk menjauhkan aparat sipil dan militer dari rakyat, terutama rakyat kecil?
Tentara dijadikan profesional seperti polisi dan guru berdasar kontrak dan dibayar oleh pemerintah? Lalu rakyat dijadikan sekadar konsumen pelayanan publik sejak pertanahan, pendidikan, kesehatan, keamanan sampai pertahanan sekalipun? Carut marut sengketa pertanahan, dan penguasaan tanah gila-gilaan sekarang ini adalah wajah buruk maladministrasi publik negeri ini.
Perkembangan mutakhir sejak reformasi ini perlu dicermati karena proses pengambilan keputusan dan kebijakan makin menjauh dari nilai-nilai luhur dalam dasar falsafah negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Bahkan setelah amandemen UUD 1945 falsafah itu dibongkar habis sehingga lepas dari jiwa Pembukaan UUD1945. Sejak itu hampir seluruh perundang-undangan dan regulasi bersifat liberal kapitalistik yang menjadi sumber krisis maladministrasi publik.
Hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik tapi untuk kepentingan elite penguasa. Pemilu semakin menjadi instrumen net transfer hak-hak politik publik pemilih ke partai-partai politik.
Pantaslah jika setelah Pemilu, kehidupan publik pemilih justru semakin memilukan. Apa yang bisa lebih memilukan jika tanah rakyat kecil dirampas oleh aparat untuk kepentingan pemodal besar?
Useful Idiots
Sejak bangsa ini hidup di atas UUD 2002 itulah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara makin menjadi-jadi. Hampir semua hubungan antara rakyat dengan negara telah disubkontrakkan ke pemerintah yang dipilih melalui Pemilu.
Tidak heran jika rakyat bukan lagi pemilik kedaulatan karena kedaulatan itu telah diserahkan sepenuhnya ke presiden yang dipilihnya secara langsung.
Begitu juga pendidikan, kesehatan, keamanan dan pertahanannya sudah diserahkannya ke organ-organ pemerintah. Atas alasan kedaruratan kesehatan, dan banyak alasan lain, vaksinasi massal paksa dilakukan.
Namun ada satu masalah serius : publik pemilih masih harus membayar pajak, cukai dan retribusi untuk membayar gaji aparat pemerintah itu, dan dibujuk untuk ikut Pemilu yang sering disebut sebagai pesta demokrasi. Suatu ketika, Pemilupun bisa dipaksakan secara massal untuk merekrut pemerintah sebagai necessary evil secara sah.
Mungkin rangkaian peristiwa yang menghina kecerdasan ini bisa diterima oleh warga negara. Seperti Lenin dulu pernah memelihara banyak useful idiots (idiot yang berguna). Bukan anggota Partai Komunis Uni Soviet namun bersedia pasang badan demi melindungi gerakan komunis untuk menggusur Tsar Nikolas.
Saya berharap Lemhanas tidak dijadikan lembaga penghasil useful idiots semacam itu. Sementara terdengar kabar bahwa di Lemhanas orang ini sangat tidak populer. Penting mengingat wejangan Sayidina Ali menantu Muhammad Rasulullah yang mengatakan jika kita tidak mau menanggung penderitaan dalam belajar kita harus siap menerima penderitaan akibat kedunguan kita. (*)
Rosyid College of Arts 10/10/2021.
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post