PWMU.CO – Negara Ini Harusnya Diurus oleh Agen-Agen Agama. Indonesia juga perlu Ahlul Halli wal Aqdi, yakni orang-orang dari kalangan agama yang bertugas memilih pemimpin melalui jalan musyawarah.
Demikian sambutan iftitah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr KH Saad Ibrahim MA dalam Silaturahim bersama Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur, Jumat (22/10/21). Selain digelar secara terbatas di Aula Mas Mansyur PWM Jatim, kegiatan tersebut juga disiarkan melalui platform Zoom Meeting.
Dalam sambutannya, Saad menyoal hubungan antarumat beragama, yang menurutnya sudah sangat jelas. “Dalam pandangan agama kami, kita semuanya ini berasal dari individu yang sama, yang disebut Bani Adam, anak keturunan Nabi Adam dan Hawa atau Eva,” ujarnya.
Dan kita, lanjutnya, diperintahkan oleh Tuhan untuk memakmurkan bumi untuk tidak mengadakan permusuhan satu sama lain. Untuk saling taaruf. “Ya ayyuhannasu inna khalaqnakum min zakarin wa unsa waja alnakum syu ubawwaqaba ila lita arafu, inna akramakum indallahi atqokum. Wahai sekalian para manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian semua dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian semua itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal satu sama lain,” ungkap Saad menyitir surat al-Hujurat ayat 13.
Maknanya, kata dia, manusia itu dilihat dari optimistik sebagai makhluk yang baik. Apapapun, suku dan bangsanya, baik laki-laki maupun perempuan. Karena kalau pandangan sebaliknya, yakni pesimis atau tidak baik, maka untuk apa taaruf, untuk apa saling kenal.
“Saling kenal mengenal, dalam konteks, oh ada yang kurang dari kami, maka yang lain memiliki kelebihan, ada yang kurang dari yang lain, moga-moga kami juga ada kelebihan. Dari situlah kemudian kita saling meyempurnakan. Garisnya, inna akramakum indallahi atqokum. Yakni siapa yang paling dekat, siapa paling melaksanakan ajaran Tuhan, maka itulah yang paling baik menurut Tuhan,” paparnya.
Soal Toleransi Sudah Selesai
Maka, seperti yang kami sampaikan, beberapa waktu yang lalu tentang ini. Kami di Muhammadiyah itu misalnya punya universitas Muhammadiyah di Sorong. Dari 10 ribu mahasiswanya, sekitar 7 ribunya nonmuslim, dan kami tidak ada masalah.
“Bahkan ada bupati di sana yang bangga menjadi alumni sekolah-sekolah Muhammadiyah. Jadi untuk soal ini Muhammadiyah nuwun sewu sudah selesai. Lagi pula masa kita ini kalau ada orang kecelakaan kita tanya agamanya apa, ya kita tolong,” jelasnya.
Kedua, kata Saad, sudah berabad-abad lamanya tidak ada persoalan relasi antar umat beragama. Kalau toh tahun 1825-1830 Pangeran Diponegoro melakukan perjuangan melawan Belanda, maka itu bukan dimaksudkan dalam konteks relasi Pangeran Diponegoro sebagai muslim dengan pihak Belanda sebagai nonmuslim. “Tetapi semata-mata karena Belanda itu menjajah Indonesia,” tuturnya.
Qith’atun Minal Jannah Wudhi’at ala Wajhil Ardhi
Ketika belakangan lalu ada masalah, maka dalam konteks ini kita harus pandai-pandai membaca bahwa Indonesia itu besar. Kalau diibaratkan, seperti dari Ankara, Turki sampai London, Inggris, yang di antaranya terdapat banyak negara. Jadi sangat besar. Belum lagi dari kekayaan yang dimilikinya.
Jadi kalau bangsa-bangsa lain melihat, sejak Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang, ya karena kita adalah bangsa yang besar dan diberikan oleh Allah kekayaan yang sangat luar biasa. Dulu Syekh Mahmud Syaltut datang tahun 1960-an dan menyatakan Indonesia itu adalah qith’atun minal jannah wudhi’at ala wajhil ardhi. “Artinya, Indonesia itu satu potongan dari potongan atau cuilan surga, yang dinukilkan atau diletakkan di bumi ini. Jadi inilah kita, kita ini besar,” jlentrehnya.
Nah, ketika konteks penjajahan sudah dianggap selesai, maka ada upaya-upaya untuk mengambil Indonesia ini, ada yang disebut dengan proxy war, tidak perlu datang ke sini tapi mengadu satu sama lain, termasuk antar umat beragama. Maka inilah yang harus kita lihat bersama-sama, ini adalah bagian dari gerak kita dalam konteks keindonesiaan kita.
“Jadi saya sangat welcome njenengan rawuh ke sini, kita senang, kita omong-omong dan lain sebagainya. Dan insyaalah kita punya maksud yang sama menjadikan bangsa ini bangsa yang besar. Kita ingin membangun peradaban yang lebih tinggi lagi. Untuk bangsa ini,” ujar Saad.
Akhlak Bermedia Sosial
Maka kondisi-kondisi terakhir ini sesungguhnya sekali lagi, kita sangat prihatin. Bagaimana kemudian bahasa-bahasa yang muncul di media sosial, tidak ada lagi yang namanya al-akhlakul karimah, tidak ada kemudian yang namanya etika-etika yang bagus dan sebagainya. Ini yang kemudian menjadi gerakan yang masif sekali, menghancurkan satu sama lain. Apa tidak sadar, kalau energi yang kita gunakan untuk yang gitu-gitu, saya kira kita ini justru menjadi bangsa yang akan lemah.
“Saya setuju dengan pandangan-pandangan yang tadi disampaikan , termasuk bagaimana kami di dalam membangun relasi-relasi dengan teman-teman di NU, LDII, dsb. Saya akhirnya kemudian di UIN Malang, itu saya hormat dengan Pak Hamzawi, KH Marzuki, karena sekali lagi, kalau energi itu kita gunakan untuk bertengkar termasuk juga bertengkar dengan agama lain, maka bangsa ini akan jauh untuk membangun lebih baik dan lebih baik,” terangnya.
Tugas Besar FKUB
Berikutnya, sambung Saad, FKUB itu bukan sekadar Forum Komunikasi Umat Beragama untuk bisa menjadi jembatan membangun kesepahaman, toleransi, dan sebagainya, bukan sekadar itu. Ada proyeksi yang lebih besar, bagaimana umat beragama ini, agen-agen beragama ini, Muhammadiyah, NU, dari Islam. Kemudian ada Dewan Gereja, Katholik, maka sebenarnya merekalah yang telah berbuat riil untuk bangsa ini.
“Muhammadiyah Jawa Timur itu, nuwun sewu, punya 83 rumah sakit dan klinik, 8 Universitas, punya sekolah tinggi/institut sebanyak 15-20, panti asuhan sejumlah 139, ponpes ada 69, kemudian punya sekolah-sekolah itu seribu lebih. Sekali lagi ini kan konkrit yang telah dilakukan oleh umat beragama. Termasuk yang telah dilakukan oleh dewan gereja membangun sekolah dsb, di katholik, termasuk di konghucu, budha dsb. Kita telah berbuat riil,” kata Saad.
Secara yuridis pun, Pancasila itu Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama. Tidak boleh sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima, apalagi undang-undang dasar (UUD), UU, apalagi peraturan pengganti UU, Peraturan Pemerintah Pusat atau daerah, yang berlawanan dengan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Apa Ketuhanan Yang Mahaesa itu? Tidak lain tidak bukan itu agama. Mohammad Hatta, wakil presiden, termasuk Prof Sahetapy dari Unair menyebut, apa itu Ketuhanan Yang Mahaesa, ya itu agama. Maknanya adalah agen-agen agama ini menempati posisi pertama. “Mestinya urusan negara ini diurus oleh agen-agen agama ini. Ada yang dari Muhammadiyah, NU, LDII, Dewan Gereja, Budha, Hindu, Konghucu,” paparnya.
Indonesia Perlu Ahlul Halli wal Aqdi
Tapi sekarang kan kita tidak bisa menentukan hitam putihnya negara ini. Padahal kitalah yang telah berbuat riil seperti ini. “Maka hemat saya, jika ini terus-menerus untuk dibicarakan, terus menerus dijadikan proyeksi ke depan, maka kita-lah yang akan mengurus negara ini,” tambahnya.
Dan insyaallah, karena masing-masing representasi dari agamanya, akan berbuat hati-hati. Sebab jika muslim kemudian melakukan hal-hal yang tidak benar, maka yang dipertaruhkan adalah agamanya. Demikian pula dengan yang Konghucu, Hindu, Budha, sehingga ini kemudian menjadi bagian gerak kita ke depan harus seperti itu. Nah sekarang bagaimana caranya itu?
“Dalam konteks Islam, nyuwun sewu, ada Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), maka di tangan merekalah yang akan menentukan bagaimana sebuah negara itu ke depan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, AHWA itu ada Muslim, ada yang nonmuslim, sebagai bentuk representasi. “Maka insyaallah, bangsa ini akan lebih cepat menjadi baik-menjadi baik. Kalau kemudian kita korupsi, orang akan melihat, oh itu muslim. Demikian pula yang lain, dalam konteks ini,” kata Saad.
Nah, sehingga ini yang menjadi hemat saya menjadi pikiran besar yang harus terus menerus untuk diperjuangkan, dan saya percaya insyaallah, tidak usah menunggu yang lain, dari Jawa Timur di bawah kepemimpinan KH Hamid Syarif ini, insyaallah FKUB kalau menyuarakan-menyuarakan, maka suatu hari hal itu akan terwujud.
“Pikiran-pikiran besar itu harus disuarakan, harus disuarakan. Dan soal terwujudnya itu soal nunggu waktu. Karena sesungguhya kita berkeyakinan, ucapan manusia itu punya power. Karena manusia ini adalah makhluk terbaik yang dibuat oleh Allah, maka ucapannya punya power. Kalau kita ucapkan-ucapkan, dan ucapkan, maka suatu hari akan terwujud. Maka sudah waktunya di FKUB ini, insyaallah dengan Muhammadiyah, NU, dan lain-lain ini, kalau kita suarakan secara masif, maka akan lebih besar kekuatannya, dan agama ini yang akan mengurus bangsa ini, saya kira ini bagian dari gerak kita,” paparnya.
Titik Temu
Di dalam agama kami itu, lanjut Saad, ada rasul-rasul yang diceritakan oleh Allah dalam kitab sucinya, tapi ada juga banyak yang tidak diceritakan. Maka dalam konteks itulah mungkin kalau semua tokoh-tokoh yang menjadi tokoh agamanya masing-masing itu menjadi bagian dari itu.
“Dan kami ini hormat dengan nabi Isa, itu bagian dari keyakinan kami, demikian juga dengan injil, taurat, dan zabur. Adapun yang lain Weda, karena hanya sebagian yang disebutkan oleh Allah mengenai rasul dan nabi itu, jadi dengan kata lain, insyaallah dengan kerangka pandangan seperti itu kita akan bertemu satu sama lain,” ujarnya.
Soal pendirian rumah ibadah, sambung Saad, maka kita pakai aturan yang sudah ada. Jika aturan itu belum bisa menampung kepentingan-kepentingan dari umat beragama secara umum, keseluruhan, maka harus diperbaiki dan diperbaiki.
“Tapi kami welcome, kami diajari oleh Nabi Muhammad, ketika Nabi menguasai Yatsrib, menguasai Madinah, maka yang punya keyakinan-keyakinan itu dilindungi oleh negara. Dan itulah yang kami lakukan,” ungkap Kiai Saad.
Kisah Umar di Palestina
Kami cerita ke Pendeta kapan hari itu, tahun 635 M ke atas, Palestina jatuh ke tangan kekuasaan Islam, di bawah Umar ibnu Khattab. Maka gubernur dari Romawi yang menguasai Palestina mengatakan supaya Umar datang ke Palestina untuk menerima penyerahan kota atau kawasan itu.
Maka Umar tanya di mana Solomon Temple itu, yakni tempat Yahudi beribadah. Lalu dijawab jika tempat tersebut sudah menjadi tempat pembuangan sampah. Maka Umar marah besar, minta supaya dibersihkan dan berhari-hari dibersihkan.
“Ketika sudah bersih, maka Umar berpidato yang dikenal dengan pidato Elia Umar. Dia mengatakan bahwa tempat ini sudah saya kembalikan ke tempat beribadahnya orang Yahudi, dan silakan beribadah di sini. Yang nasrani silakan ke gereja, dan muslim silakan ke Baitul Maqdis,” cerita Saad.
Maka inilah yang mengajarkan kepada kita untuk memberikan ruang kepada semuanya itu. Soal pertanggungjawabannya kepada Tuhan, itu tentu masing-masing. “Jadi insyaallah, dengan cara pemahaman seperti ini, kita welcome, bisa makan bersama, ini bagian dari kita,” tandas Saad. (*)
Negara Ini Harusnya Diurus oleh Agen-Agen Agama: Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.