Satu Abad Muhammadiyah Surabaya, Berkah Wali Rongpuluh oleh Andi Hariyadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO– Hari ini, 1 November 2021, tepat 100 tahun berdirinya Muhammadiyah Surabaya. Genap satu abad.
Pada 1 November 1921 KH Ahmad Dahlan melantik Mas Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya. Tempat pelantikan di Masjid Taqwa di kampung Kalimas Udik IC.
Tokoh-tokoh lain yang membantu Mas Mansur menghidupkan Muhammadiyah Cabang Surabaya antara lain KH Ali, H Ashari Rawy, H Ali Ismail dan Kiai Utsman. Usai pelantikan Kiai Dahlan menginap di rumah Mas Mansur yang berada di depan masjid.
Pembentukan Muhammadiyah Cabang Surabaya berawal dari perkenalan Mas Mansur dengan KH Ahmad Dahlan terjadi tahun 1915. Saat pulang dari Al-Azhar, Kairo, Mas Mansur mampir ke rumah Kiai Dahlan di Kauman Yogyakarta lebih dulu. Berdiskusi tentang keislaman.
Sun’an Miskan, alumnus Al Azhar Kairo, sekarang menjadi Ketua PWM DKI Jakarta, yang pernah menjadi Wakil Sekretaris PDM Surabaya tahun 1974, bercerita, Mas Mansur belajar selama 7 tahun di luar negeri. Mulai di Mekkah, Arab Saudi maupun di Kairo, Mesir antara tahun 1908–1915.
Menurut dia, selama belajar itu juga mengikuti perkembangan gerakan pembaharuan di Mesir. Mas Mansur pun mendengar perjuangan sosok KH Ahmad Dahlan yang pernah belajar di Mekkah dan mengembangkan dakwah pembaharuan di Jawa.
”Karena itu saat kembali ke tanah air, Mas Mansur tidak pulang ke rumahnya dulu, tetapi bersilaturrahim ke rumah KH Ahmad Dahlan yang ternyata teman dekat ayahnya KH Mas Achmad Marzoeqi,” tutur Sun’an Miskan.
Sapukawat Jawa Timur
Keduanya mendiskusikan ide-ide pembaharuan. Setahun kemudian, 1916, Mas Mansur datang lagi ke Kauman. Kali ini lebih serius bicara tentang pengembangan dakwah Muhammadiyah di Surabaya.
KH Ahmad Dahlan berbahagia sekali ketika Mas Mansur bersedia bergabung dengan Muhammadiyah. Kiai Dahlan langsung menyatakan kepada santri-santrinya, ”Nah, sekarang telah kita pegang sapukawat Jawa Timur.”
Ungkapan sapukawat itu bermakna orang kuat yang berhasil dalam gerakan pembersihan. Gerakan pembaharuan untuk menyapu kebodohan, keterbelakangan umat, dari tahayul, bid’ah dan churafat (TBC) menjadi berkemajuan.
Setelah pertemuan tahun 1916 itu, Kiai Dahlan sering berkunjung ke Surabaya. Atas undangan Mas Mansur dan Sarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto. Kiai Dahlan juga duduk menjadi penasihat SI.
Di Surabaya Kiai Dahlan mengisi pengajian di Markas SI Jl. Peneleh VII. Juga pengajian di Masjid Plampitan VIII depan rumah Roeslan Abdulgani yang dihadiri banyak tokoh pergerakan. Dalam pengajian ini juga hadir Sukarno muda yang saat itu sekolah di HBS (Hoogere Burger School) dan indekos di rumah Tjokro.
Dalam buku Makin Lama Makin Cinta, Sukarno menyebut dirinya sebagai santri nginthil Kiai Dahlan ke mana pun mengisi pengajian di Surabaya. Menurut Sukarno, ceramah Kiai Dahlan membuat dirinya paham Islam secara terang benderang.
Membangun Masjid dan PKO
Selepas pelantikan Muhammadiyah Cabang Surabaya, Mas Mansur terus bergerak dengan dakwah-dakwah yang mencerahkan dengan keteladanan.
Setahun kemudian, tahun 1922, membangun Masjid Sholeh di Kaliasin VIII/9. Peresmian masjid ini dihadiri Kiai Sudja’ sebagai utusan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah. Masjid itu dibangun di atas tanah wakaf keluarga Bajubair yang diserahkan kepada Kiai Utsman, Wakil Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya.
Pada tahun 1922 itu juga berdiri kepanduan Hizbul Wathan untuk merekrut generasi muda. Perintisnya Mat Yasin Wisatmo, menantu Kiai Utsman. Lalu mendirikan HIS Muhammadiyah di Peneleh dan Sekolah Rakyat di Masjid Sholeh Kaliasin.
Kemudian tahun 1924 membangun Balai Kesehatan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) Muhammadiyah. Bertempat di Sidodadi 57. Pendirian Balai Kesehatan ini didukung oleh dr Sutomo, pendiri Budi Utomo, dan teman dekat Mas Mansur di Studie Club Surabaya sejak 1923.
Balai Kesehatan PKO ini lalu pindah ke Karang Tembok Pegirian. Poliklinik ini kemudian berkembang menjadi RS PKU Muhammadiyah Surabaya yang sekarang berlokasi di Jl KH Mas Mansyur 180-182.
Wali Rongpuluh
Tahun 1927 terjadi krisis ekonomi. Banyak pekerja di-PHK. Perekonomian rakyat melemah. Kondisi ini memengaruhi biaya operasional berbagai amal usaha Muhammadiyah Surabaya. Kas kosong sehingga gaji tenaga pengajar dan kesehatan sempat tidak dibayar.
Para pimpinan juga merasakan beratnya keterpurukan ekonomi ini. Untuk mencukupi kebutuhan pribadi saja berat, apalagi harus menjaga eksistensi rintisan amal usaha Muhammadiyah.
Krisis ekonomi ini juga menjadi krisis organisasi. Keberadaan beberapa Ranting Muhammadiyah tidak membawa kemajuan bagi organisasi, tapi sebaliknya membawa kemunduran.
Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya Mas Mansur segera tanggap. Kondisi ini harus ada solusi agar perintisan berbagai amal usaha tetap jalan. Jangan sampai tutup karena rakyat miskin butuh layanan amal usaha tersebut.
Mas Mansur segera mengundang pimpinan yang waktu itu disebut Pamong Muhammadiyah Surabaya. Satu kampung atau ranting diwakili satu orang. Catatan S. Edy dalam buku Suka Duka Muhammadijah Tjabang Surabaja (1952) mengungkap, rapat itu terjadi pada hari Ahad dini hari pukul 01.00, tanggal 1 Muharram 1346, bertepatan dengan 1 Juli 1927.
Rapat koordinasi untuk mencari solusi itu berlangsung hingga tengah malam tapi belum ada keputusan. Beberapa peserta rapat ada yang minta izin pulang karena ada keperluan besok pagi.
Rapat terus dilanjut, Mas Mansur memberikan motivasi untuk penguatan dalam perjuangan di tengah krisis ekonomi. Peserta rapat tinggal 20 orang. Di akhir rapat mereka berbaiat tetap berjuang di Muhammadiyah meski dalam kondisi berat.
Peserta rapat yang berbaiat ini kemudian dikenal dengan sebutan Wali Rongpuluh. Mereka berjanji menginfakkan harta, tenaga, waktu, bahkan jiwa untuk kelangsungan dakwah Islam di tengah keterpurukan ekonomi.
Mereka adalah Mas Mansur, Mat Yasin Wisatmo, Kiai Utsman (Kaliasin), Wondowidjojo (Plampitan, saudara Menteri Dalam Negeri 1947 Wondoamiseno), Tjiptoredjo (Genteng), Mas Gentong (Pandean), Hardjodipuro (Bubutan), M. Saleh Ibrahim (Kedung Sroko), Mas Idris, Soemoredjo (Kedung Rukem), Abd. Barry (Kaliasin), HA Rachman Utsman (Ketapang Ardiguna), M. Saleh Tjilik (Bibis), HM Orip Temenggungan, Jaminah (Genteng), Sariman (Genteng), Andjarsunjoto (Sidotopo), M. Badjuri, Soeroatmodjo (Kedung Rukem), dan Martodjojo (Wonorejo).
Catatan almarhum Nurhasan Zain, Sekretaris PWM Jatim 1972-1985 menjelaskan, Wali Rongpuluh menggalakkan silaturahim untuk menjaga ghirah berorganisasi dan mengadakan tabligh di lingkungan masing-masing.
Media tabligh meningkatkan jalinan silaturahim antar anggota. Kegiatan organisasi semakin semarak. Solidaritas Wali Rongpuluh ini mendorong perjalanan organisasi Muhammadiyah Cabang Surabaya menjadi hidup kembali.
Ranting Muhammadiyah, dulu disebut grup atau gerombolan, yang dinilai tidak membawa kebaikan organisasi dibubarkan.
Majalah Soeara Moehammadijah No 24 Tahun XI Edisi 14 Mei 1930 melaporkan, Muhammadiyah Surabaya membubarkan enam ranting. ”Leden vergadering (rapat anggota) tanggal 5 malam 6 April 1930, telah memutuskan: Grup-grup Muhammadiyah, yang ada di dalam kota Surabaya, yaitu Genteng, Praban, Penelih, Pandean, Ampel, dan Kaliasin: dibubarkan.”
Alasannya: Oleh sebab telah nyata sekali yang adanya grup-grup tahadi membawa kemundurannya Muhammadiyah cabang Surabaya.
Peran Wali Rongpoloh membangkitkan semangat berorganisasi dan berderma. Roda dakwah pun terus bergerak dari generasi ke generasi. Sekarang gerakan Wali Rongpuluh bisa menginspirasi kita sebagai generasi penerus perjuangan Muhammadiyah Surabaya.
Semangat memberi, tidak ingin dipuji, apalagi minta ganti untuk diberi hadiah. Keikhlasan inilah yang menurunkan berkah sebagai balasan yang lebih baik dari langit. Seperti disebut surat ar-Rahman: 60.
Selamat Milad Satu Abad Muhammadiyah Surabaya. Semoga mampu melahirkan generasi Mas Mansur baru sebagai kader yang mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto