Opini oleh Uzlifah, aktivis Aisyiyah Kota Malang, Sekretaris The HQ Center
PWMU.CO – Fenomena ‘Om Tololet Om’—yang lagi hangat dibicarakan orang, termasuk di medsos, dan bahkan sudah mendunia—ternyata penulis rasakan sendiri kejadiannya. Dalam perjalanan sepanjang Tuban-Banyuwangi, berjajar anak-anak di pinggir jalan. Mereka membeber poster berbunyi: ‘OM Telolet OM’,
Fenomena ini berawal dari aksi bocah-bocah remaja yang memburu bunyi klakson bus punya bunyi khas: ‘telolet’. Mereka kemudian merekamnya dengan telepon seluler. Kegiatan anak-anak tersebut murni hobi untuk mencari kepuasan batin.
(Baca: Jelang Pergantian Tahun Baru Masehi: Hantu Degradasi Moral dan Pola Hidup Boros)
Dalam memburu ‘telolet’, mereka bergerombol dan rela menunggu lama. Ketika bus tiba, bocah-bocah tersebut akan mengacungkan jempol sambil berteriak ‘Pak Telolet Pak’. Ada juga yang teriak: ‘Om Telolet Om’. Sebagian mereka juga ada yang sengaja menulis tulisan besar ‘Om Telolet OM’ agar dibaca oleh supir bus. Setelah mendapat suara ‘telolet’, mereka lalu memamerkan hasil buruan mereka dengan mengunggah rekamannya ke media sosial, mulai dari Facebook, atau YouTube.
Fenomena ini menjadi menarik karena menyentuh kebutuhan dasar manusia yaitu terkait budaya dan spiritualitas. Ada gaya hidup dan kepuasan batiniyah. Ada kerinduan dan rasa kehilangan. Fenomena ini menunjukkan adanya dua hal yang bermasalah dalam kehdupan sosial kita, yaitu gegar budaya dan kekeringan spritual.
Culture Shock
Pertama, culture shock–atau dalam bahasa Indonesia disebut “gegar budaya”–adalah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda. Istilah ini kali pertama dikenalkan oleh Kelvero Oberg pada tahun 1955. Pada awalnya definisi culture shock menekankan pada komunikasi. Oberg mendefinisikannya sebagai kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan simbol hubungan sosial yang familiar.
(Baca juga: Fenomena Ghazwul Fikr dan Ketidaksiapan Generasi Bangsa)
Orang-orang yang telah mengembangkan budaya adalah orang-orang yang telah hidup bersama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi lingusitik, pola berpikir, norma perilaku, dan gaya komunikasi. Di sisi lain, semuanya adalah cara yang dapat menjamin kelangsungan hidup masyarakat dalam lingkungan fisik dan lingkungan manusia tertentu (Pusch, 1979, dikutip oleh Wan, 1999).
Akibatnya, orang-orang yang terbiasa dengan budaya mereka sendiri, namun orang-orang akan butuh waktu untuk terbiasa dengan budaya yang baru atau budaya lain (Young, 2004). Fenomena ini menunjukkan masyarakat telah kehilangan cakra budaya yang mampu membawa pada hiburan dan candra alamiah manusia. Suara klakson seakan suara surgawi yang diburu dan direkam dengan penuh kebanggaan. Bukan lagi suara guru, ustadz, kyai, dan berbagai simbol kesucian bunyi-bunyi. Bersambung ke halaman 2 …
Discussion about this post